Lihat ke Halaman Asli

Bila Penantian (Tak) Tiba

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila Penantian (Tak) Tiba (sebuah renungan batin)

Aku seorang wanita yang membutuhkan belaian kasih sayang dari seorang laki-laki. Aku ingin mempersiapkan diri menyambut datangnya idaman hati. Meskipun belum tahu pasti kapan tibanya.

Aku sungguh-sungguh akan merawat diri dan melapangkan hati, menunggu pinangan sang pujaan hati. Bukan hanya kecantikan dan keindahan penampilan yang kutawarkan. Namun lebih dari itu, senyuman keramahan dan terutama pesona pertumbuhan karakter adalah modal yang paling penting. Selain itu aku memohon kepada Tuhan yang sanggup mempertemukan kami.

Apakah aku boleh mendahului menyatakan cinta kepada laki-laki yang kusukai? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, biarlah diriku menunggu.

Dalam penantian ini, aku selalu berpegang pada “bingkai’. Dan melaluinya aku selalu memasukkan setiap pria yang sempat “mampir’ di hadapanku. Baik yang aku suka atau pria-pria yang menghampiriku untuk menyatakan cintanya. Bila dia tidak cocok dengan “bingkai” itu, maka kurelakan dia pergi, meski kadang dengan berat hati bahkan tersayat-sayat. Tapi aku harus menegaskan diri, itulah yang harus kulakukan demi kebahagiaanku sendiri.

Namun seringkali hati ini bertanya dengan was-was, akankah datang sang pangeran cintaku? Kapankah?

Telah sekian waktu aku menunggu, tak jua tiba dambaan hatiku. Padahal usia tak bisa diminta sabar untuk menunggu. Seperti menghitung hari, aku menanti. Aku juga selalu membuka diri dengan pergaulan terutama dengan komunitas yang memungkinkan cocoknya dengan “bingkai” yang aku punya.

Sering aku dibuat iri ketika melihat teman-teman sebayaku bahkan usia di bawahku sudah memiliki pasangan. Apalagi dengan bangganya mereka memperkenalkan “jagoannya” kepadaku sambil mereka saling berpegangan tangan, mesranya. Sedangkan aku hanya bisa berpegangan pada bajuku sendiri. Ah betapa sedihnya…

Yang menambah kesedihanku adalah keinginan orang tuaku yang menyuruhku segera menikah. Sering aku dikatakan kuper, terlalu pilih-pilih, keras kepala dan sebagainya. Bukannya mendapat dorongan semangat namun justru makin terpuruk hatiku. Dan yang paling kutakutkan bila aku dikatakan perawan tua atau penilaian negatif lainnya dari orang lain.

Tiba-tiba terngiang pikiran-pikiran yang kalut, apakah aku kurang cantik? Kurang seksi? Mungkin kulitku terlalu hitam? Atau karena aku pakai kacamata? Atau karena jerawatan? Atau….

Kadangkala muncul godaan di hati untuk merusak “bingkai” ku itu sehingga aku bisa mendapatkan pria yang penting mau dengan aku tanpa mempedulikan lagi apakah dia cocok dengan “bingkai” itu atau tidak. Namun aku masih setengah hati, takut pada konsekuensi.

Saat ini biarlah aku menanti dan terus menanti. Bila tidak ada pernyataan jelas dari Tuhan kalau aku harus hidup sendiri tanpa menikah, maka aku akan terus berharap sampai kapanpun tibanya sang kekasih.

Aku memahami bahwa menikah bukanlah semata-mata untuk memiliki anak kandung, namun menjadi pasangan yang saling menolong dalam memenuhi panggilan Tuhan di dunia ini. Jadi tidak ada target kapan menikah,bila Tuhan menghendaki. Meskipun kalau boleh aku bisa menikah saat usia di bawah 30 tahun tapi kalau tidak, aku tetap tidak akan menurunkan standardku.

Bahkan bila penantianku TAK tiba. Aku belajar untuk setia dan memohon Tuhan untuk menopangku. Biarlah Tuhan yang menemaniku kelak bila aku sendiri sehingga aku tidak kesepian. Tentu banyak teman yang bisa dikirimNya untuk menemaniku juga dalam perjalanan yang sementara ini.

Tengah malam rintik hujan

Pwk, 5 Nov 2011




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline