Sesuai dengan apa yang sebelumnya di janjikan oleh presiden terpilih Jokowidodo, sebelum dia terpilih dalam pemilihan presiden lalu, ia membuat jargon-jargon yang menafsirkan dirinya bahwa dia tidak membagi-bagi kursi dan tidak ada penetapan menteri dalam pemerintahan nya nanti. Dalam penerapan ekonomi yang berbicara mengenai ‘there’s no free lunch’ tidak ada makanan siang yang gratis, itu sama saja seperti koalisi yang mengusung Jokowi, tidak ada yang gratis dalam mengusung Jokowi. Entah mengapa semua yang ia katakana itu hanya omong kosong atau ia mempunyai maksud dibalik apa yang dia ingin rencanakan, dia tidak lain dan tidak bukan sama seperti seorang politisi yang hanya bisa mengungkapkan sebuah janji dan tanpa ada bukti yang otentik untuk meyakinkan rakyat yang terdahulu mendukungnya. Mungkin ini yang rakyat tidak inginkan dari sosok seorang Jokowidodo, bahwa ia sebelumnya akan merampingkan kabinet sebanyak 20 saja berbeda dengan kebinet SBY-BOEDIONO yang memiliki kabinet berjumlah 34. Entah apa yang membuat Jokowi merubah dan membuat suatu tafsiran bahwa ia akan sama seperti kabinet SBY-BOEDIONO yang berjumlah 34. Kita sebagai rakyat Indonesia juga jangan asal mengkritisi suatu tanggapan atau argumentasi yang mereka-reka, bahwa dia ingkar janji atau sama seperti politisi. Mungkin menurut argumentasi seorang Daniel Pandowo dari mahasiswa Universitas Bakrie, beranggapan bahwa hal yang di lakukan Jokowi dan JK itu merupakan hal yang biasa-biasa saja,mungkin ada desakan dari masing-masing ketua parpol pengusung pada saat ia kampanye dan mungkin juga ada maksud dibalik itu entah itu untuk meningkatkan jauh lebih baik masyarakat dalam kesejahteraan ataupun dalam aspek anggaran ekonomi, karena Indonesia apalagi ikut serta dalam konfrensi APEC di tahun 2015 yang akan datang untuk meningkatkan daya saing dan investasi di Indonesia. Dalam hal ini juga kalo kita melihat pemikiran barat khususnya pemikiran dari Athena, Arsitoteles menganalogikan bahwa Negara yang ideal adalah negara yang memiliki pemimpin yang arif, bijaksana, dan filsuf pada zaman itu. Oleh karenanya tidak salah yang dilakukan oleh seorang Jokowi dalam menerapkan decision making terhadap publik, yang menjadi pokok permasalahan orang jahat tidak diperbolehkan mempimpin negara, orang yang menuju kebaikan lah yang mampu meningkatkan semangat dalam segala hal, entah
itu pendidikan, pengetahuan, dan juga kesejahteraan. Jadi jangan dulu mengkritik kalo tidak mau dikritik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H