Akhir September 2019 lalu saya berada di Juwana beberapa hari karena sebuah keperluan. Momen ini saya pergunakan pula untuk menyempatkan diri pulang ke rumah orang tua di Pati yang jaraknya cukup dekat dengan Juwana. Saat pulang ke Pati siang hari itu, saya menonton film lawas G 30 S/PKI yang ditayangkan di salah satu stasiun tv, bersama bapak dan keponakan.
Saya sempat berbincang dengan Bapak, lebih tepatnya bertanya tentang peristiwa kelam yang dialami warga desa kami di masa lampau, terkait dengan peristiwa tahun 1965.
Beberapa kisah pahit mungkin sudah banyak kita tahu, misalnya warga yang ditangkap aparat hanya karena pernah ikut kegiatan yang diduga terkait dengan organisasi tertentu. Siang itu Bapak cukup lancar menceritakan apa yang pernah ia ketahui di masa lampau, dan tentu akan berbeda jika Bapak menceritakan kisah tersebut bukan pada masa sekarang.
Obrolan kemudian belanjut ke peristiwa Kedung Ombo, yang lokasinya tidak jauh dari Pati. Peristiwa Kedung Ombo sendiri terjadi saat saya masih SD, sekitar akhir tahun 80-an. Di masa itu, informasi yang sampai ke saya adalah versi pemerintah, yang diberitakan di TVRI sebagai satu-satunya stasiun tv kala itu.
Ada kisah pahit warga setempat tidak terekspos. Warga yang tanahnya akan dipergunakan sebagai waduk, dipaksa melepaskannya dengan harga tidak manusiawi dan mereka kemudian ditransmigrasikan ke Bengkulu. Mereka yang menolak akan mendapat intimidasi, atau pada KTP-nya diberikan tanda khusus. Kisah Kedung Ombo inilah yang menjadi bagian dari novel Mangun yang akan saya ulas di bagian selanjutnya.
Novel Mangun ditulis oleh Sergius Sutanto, dan diterbitkan oleh PT Elex Media Komputindo pada tahun 2016. Buku setebal xxx + 412 halaman ini adalah novelisasi kisah hidup Y. B. Mangunwijaya sejak kecil, menempuh pendidikan, serta perjuangannya membantu warga di Kali Code, Yogyakarta serta Kedung Ombo.
Pada bagian prolog, pembaca disuguhkan adegan menegangkan di tahun 1989 saat Mangun berhadap-hadapan dengan tentara yang memaksa Mangun meninggalkan Sragen malam itu. Sang Romo bahkan diintimidasi akan dibedil kepalanya.
"Tolong dengar ini. Dengar dan sampaikan kepada komandanmu ... Mangunwijaya tidak akan tunduk di bawah kata-kata atau perintah Danramil, Dandim, atau Gubernur sekalipun. Saya hanya tunduk pada semangat kesetiakawanan sosial dan Pancasila!"
Lepas dari ketegangan pada bagian prolog, pembaca kemudian diajak mengikuti masa kecil Mangunwijaya di Magelang di tahun 1930-1940'an, beliau sendiri lahir tahun 1929 di Ambarawa. Mangun bersekolah di HIS Fransiscus Xaverius di Muntilan (1937-1943).
Selain gambaran Magelang masa lalu sebagai sebuah firdaus dengan sungai dan bukit-bukitnya serta kotanya yang tertata rapi, pembaca juga disuguhkan kisah masa lalu Mangun, orang tua, dan adik-adiknya di masa peralihan kependudukan Belanda menuju kependudukan Jepang.
Mangun kemudian melanjutkan pendidikan di STM Jetis, Yogyakarta (1943-1947). Di kota Yogyakarta ini ia bergaul dengan teman-teman dari banyak daerah, serta melihat kekejaman Jepang. Pada masa kemerdekaan tahun 1945, Mangun mendaftarkan diri dan diterima menjadi TKR Batalyon X divisi III dan bertugas di asrama militer di Vrederburg, lalu di asrama militer di Kotabaru, Yogyakarta.