Setiap daerah di Indonesia memiliki budaya yang khas, termasuk benda-benda tradisional. Salah satu benda tradisional bisa berupa kerajinan tangan yang dibuat oleh masyarakat lokal. Saat berkunjung ke daerah tersebut, belum lengkap jika kita tidak menyambangi tempat pembuatan kerajinan tradisional yang ada.
Berkunjung ke Pulau Rote, ada beberapa hasil kerajinan yang bisa dibeli sebagai buah tangan. Misalnya kain tenun Rote. Tak jauh dari tempat kami menginap di Desa Nemberala, Kecamatan Rote Barat, ada salah satu tempat pembuatan kerajinan tenun khas Rote.
Siang itu kami menyambangi sebuah tempat di tepi jalan Nemberala. Bangunannya semacam pendopo terbuka. Tiang-tiang dari kayu menopang rangka di atasnya, dan pada rangka tersebut diikatkan anyaman daun lontar sebagai penutup atau atap bangunan.
Dua orang wanita tengah mengerjakan sebuah kain tenun dengan bantuan alat tenun sederhana dari bilah-bilah kayu sedemikian rupa. Satu dari wanita tersebut duduk di tengah-tengah alat tenun sambil mengerjakan tenunan, sedangkan yang satu lagi membantu di sampingnya. Beberapa orang lain sedang beristirahat dan tidur siang. Ada pula anak-anak yang bermain.
Pada tali-tali yang diikatkan di tiang bangunan, dipajang kain-kain tenun yang sudah jadi. Warna hitam menjadi warna dasar dari kain tenun Rote tersebut, dengan motif atau corak berwarna merah, biru, putih, dan warna lainnya.
Kain-kain tenun tersebut memiliki ukuran yang beragam, yang pengerjaannya memakan waktu berbeda-beda. Kain berukuran paling kecil, seukuran selendang dengan lebar sekitar 50-60 cm dan panjang sekitar 2 meter, membutuhkan waktu 1 minggu pengerjaannya.
Kain seukuran ini dijual dengan harga 100 ribu rupiah. Sedangkan kain yang paling besar (lebar sekitar 1,5 meter) membutuhkan waktu pengerjaan selama 1 bulan dan dijual dengan harga 500 ribu rupiah.
Kain tenun ikat Rote telah ada sejak ratusan tahun silam. Keahlian menenun menjadi keahlian yang wajib dimiliki oleh seorang wanita di Rote. Untuk mengukur kedewasaan wanita Rote, tak hanya dilihat dari usia saja tetapi juga dari kemampuannya mengikat motif, mencelup dan menenun. Jika keahlian tersebut sudah dikuasai, maka wanita tersebut dianggap pantas untuk menikah.
Sebelum mengenal zat pewarna dari produk industri, masyarakat Rote menggunakan pewarna alami seperti mengkudu, tarum, kunyit, dan sebagainya. Saat ini, pengrajin tenun Rote lebih banyak menggunakan zat pewarna buatan dibanding pewarna alami.
Kain tenun Rote tidak hanya digunakan sebagai pakaian sehari-hari saja, tetapi juga dipakai dalam acara-acara adat seperti perkawinan dan kematian. Dalam upacara perkawinan adat Rote, kain tenun digunakan sebagai kelengkapan busana pengantin, barang hantaran, dan penutup tempat sirih saat meminang calon mempelai perempuan. Saat upacara kematian, kain tenun dipakai untuk menutup jenazah.