Lihat ke Halaman Asli

Daniel Mashudi

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Suatu Pagi di Ratatotok

Diperbarui: 3 April 2016   19:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penunjuk waktu di telepon seluler menunjukkan jam lima lewat ketika aku meninggalkan kamar. Setelah melakukan stretching beberapa menit, aku segera mengayunkan kedua kaki untuk berlari pagi. Sedikit warna merah masih tergurat pada langit di bagian timur, dan tak lama lagi hari akan berangsur-angsur terang.

[caption caption="Jalan di tepi pantai"][/caption]Jalan aspal selebar sekira lima - enam meter meliuk-liuk mengikuti lengkungan garis pantai. Pohon-pohon kelapa berderet di sisi kiri, memberi batas antara jalan aspal yang aku lalui dengan hamparan pasir pantai dan laut. Bukit-bukit hijau menjadi latar belakangnya. Elok juga damai, begitulah yang aku nikmati dari Pantai Lakban, Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara pagi itu.

[caption caption="Pantai Lakban"]

[/caption]Aku tak lagi peduli dengan laju melebihi delapan menit per kilometer yang ditunjukkan oleh aplikasi lari pada gawai yang aku nyalakan sejak awal berlari. Keelokan pagi itu membuatku beberapa kali berhenti berlari untuk memotretnya. Bahkan kadang aku keluar dari jalan aspal dan berlari di atas pasir pantai agar bisa lebih menikmati suasana. Para nelayan mulai merapatkan perahunya ke pantai setelah semalaman melaut.

Di satu lokasi, aku akhirnya memutuskan untuk benar-benar berhenti berlari. Aku pun mematikan aplikasi di gawai. Tiga puluhan menit berlari dengan capaian jarak hanya tiga kilometer. Sebuah catatan yang berada jauh di bawah capaian yang biasanya aku tempuh. 

 

[caption caption="Harmoni dalam satu halaman"]

[/caption]Aku begitu takjub berada di lokasi yang sungguh tak biasa, bahkan boleh ku sebut luar biasa. Sebuah masjid dan sebuah gereja berdiri berdampingan. Masjid An Namira dan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) berada dalam satu pagar, dan berbagi satu halaman yang sama. Kubah masjid dan menara gereja menjulang dalam jarak yang begitu dekat.

Mendirikan dua bangunan ibadah yang digunakan secara rutin dalam satu halaman tentu bukan merupakan perkara mudah. Namun apa yang aku saksikan ini menjadi sebuah simbol toleransi dua umat beragama yang sangat kuat dan paling nyata. Ketika di beberapa tempat lain terjadi konflik horizontal yang dilatarbelakangi perbedaan keyakinan, masyarakat Ratatotok justru mengambil sikap yang patut untuk diteladani.

[caption caption="Kitorang semua basudara"]

[/caption]

Aku teringat perkataan Pak Kedy Malonda yang turut menjadi pendamping rombongan kami kemarin. Masyarakat Minahasa dengan dua agama terbesar yakni Islam dan Kristen memang hidup rukun berdampingan satu dengan yang lain. Saat umat Kristen sedang beribadah merayakan hari besar keagamaan, maka umat Islam turut berjaga-jaga di sekitar lingkungan gereja. Begitu juga sebaliknya saat umat Islam merayakan hari besar keagamaannya.

Bangunan masjid dan gereja di Ratatotok tersebut dibangun sejak tahun 2004. Dana yang digunakan berasal dari partisipasi masyarakat setempat dan dibantu oleh PT Newmont Minahasa Raya, perusahaan tambang emas yang dulu beroperasi di Ratatotok.

Selain masjid dan gereja, Ratatotok juga memiliki ikon toleransi umat beragama. Tak jauh dari tempat tersebut, ada sebuah bukit di tepi pantai yang di atasnya berdiri sebuah salib besar dan menara yang pada bagian puncaknya bersimbol bulan-bintang. Bukit Harapan, demikianlah ia diberi nama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline