Momen gerhana matahari total pada hari Rabu kemarin mendapat perhatian yang sangat besar dari masyarakat. Beberapa wilayah di Indonesia bahkan sengaja membuat even khusus untuk menyambut peristiwa ini, mulai dari Palembang, Belitung, Palu hingga Ternate. Sementara di wilayah lainnya seperti Jakarta, Bandung, Mataram, hingga Papua yang hanya mendapatkan gerhana parsial, antusiasme masyarakat juga cukup besar.
Gerhana matahari tahun 1983 adalah gerhana matahari total pertama yang pernah saya alami saat tinggal di Pati, Jawa Tengah. Saya masih balita saat itu dan masih teringat bagaimana ketakutan yang dialami sebagian besar masyarakat yang memilih untuk berdiam diri di dalam rumah. Keterbatasan informasi dan teknologilah yang menjadikan masyarakat melewatkan begitu saja peristiwa langka itu.
Tahun 2016 ini, tepatnya Rabu kemarin, saya termasuk dari masyarakat yang hanya bisa menyaksikan gerhana parsial. Tidak ada persiapan khusus menyambut momen ini mengingat saya pernah melihat gerhana parsial melalui plastik negatif foto sekitar tahun '90-an dulu. Alih-alih berniat menyaksikan gerhana, saya justru memanfaatkan hari libur untuk berlari pagi.
Jam 6 lewat saya mulai meninggalkan rumah. Tidak ketinggalan saya hidupkan aplikasi di telepon seluler untuk mengukur waktu dan jarak tempuh berlari. Kondisi jalan di perumahan tempat saya tinggal di Tangerang tidak seramai biasanya karena hari libur. Langit cerah dan matahari bersinar dengan baik.
Satu dua orang terlihat menyaksikan gerhana dengan memakai kacamata khusus, sementara saya tetap berlari. Beberapa kali saya menyempatkan untuk memotret keadaan sekitar, seperti yang biasa saya lakukan saat berlari pagi. Ada beberapa jepretan yang sengaja saya lakukan dengan mengarahkan kamera langsung ke matahari, sekedar iseng menangkap proses terjadinya gerhana.
Hasil jepretan tentunya bisa ditebak. Karena tanpa filter khusus yang dipasang ke kamera seluer, yang terlihat adalah lingkaran putih dari matahari. Tidak nampak tanda-tanda 'gerogotan' bayangan bulan pada lingkaran putih tersebut.
Sampai di rumah, saya mencoba melihat kembali hasil jepretan tadi. Saya mulai memperbesar foto-foto tersebut. Ada hal yang cukup menarik bagi saya, pada masing-masing foto selalu terdapat satu orb berwarna kebiruan. Posisi orb tersebut berbeda-beda pada setiap foto. Di satu foto ada orb yang terletak di dekat matahari, di foto lainnya orb terletak di posisi yang jauh dari matahari.
Dalam fotografi, istilah teknis untuk kemunculan orb adalah “backscatter”, "orb backscatter", atau pantulan di dekat kamera. Orb terjadi ketika sinar atau flash dari kamera dipantulkan kembali oleh benda-benda renik yang ada di ruangan tersebut, misalnya adanya debu, titik air, spora tanaman atau benda asing yang lain. Dan ketika benda tersebut memantulkan cahaya, maka ia akan memantulkannya ke segala arah sehingga berbentuk bola atau lingkaran.
Jika orb pada umumnya berbentuk lingkaran berwarna putih, orb yang ada pada foto-foto hari Rabu memiliki keunikan. Selain warnanya yang kebiruan seperti yang saya sebut sebelumnya, orb tersebut tidak berbentuk lingkaran penuh. Bentuknya persis seperti lingkaran matahari yang tertutup sebagian oleh bayangan bulan.
Foto pada jam 06.34, posisi orb ada di bagian bawah foto yaitu pada bayangan orang yang sedang berjalan. Pada jam tersebut proses gerhana sedang dimulai. Jika dibandingkan dengan kondisi sesungguhnya saat proses mulainya gerhana di mana bayangan bulan mulai menutup pada bagian atas lingkaran matahari, pada orb justru sebaliknya. Yang terlihat pada orb adalah bagian bawahlah yang tertutup.