Hujan deras mengguyur Pantai Depok, Yogyakarta minggu dini hari itu. Aku duduk bersila di atas tikar, di antara ratusan peserta lomba lainnya yang menunggu jam 4 pagi untuk memulai lari sejauh 25 kilometer dan jam 5 pagi untuk 13 kilometer. Peserta untuk lomba 50 kilometer sudah berlari jam 1 tadi, dan tentunya saat ini harus berjuang di tengah hujan yang lebat.
Mata terasa berat karena memang kurang tidur, namun aku enggan untuk mencoba memejamkannya. Sambil menikmati suasana yang sejuk, aku mencoba bertanya kepada diriku sendiri. Beneran mau ikutan 25K? Ini adalah race pertamaku untuk jarak 25K trail running (lari lintas alam). Aku belum pernah berlari sejauh itu, apalagi untuk kategori lintas alam yang akan melewati medan yang tidak gampang. Aku terbiasa dengan jarak 5 atau 10 kilometer, itu pun di jalan raya.
Aku pandangi nomor BIB yang baru saja aku terima dari panitia beberapa saat lalu. Empat angka dan namaku tertulis di atas kertas itu, juga nama dan nomor telepon adikku yang aku tulis saat pendaftaran sebagai kontak bila terjadi keadaan darurat saat lomba. Aku lupa memberi tahu panitia lomba untuk mengganti kontak darurat, karena kontak tersebut tak mungkin untuk dihubungi.
Seperti mendapatkan kekuatan baru saat aku melihat nomor BIB itu. Ya, setidaknya aku akan berjuang sekuatnya dan menyelesaikan lomba untuk adikku. Bukan peringkat lomba yang aku cari, namun selesai di garis finish itu sudah cukup untukku. Lomba ini untukmu, adikku!
***
Hujan sudah reda beberapa menit sebelumnya. Aku dan peserta lain bersiap-siap di garis start. Sebuah headlamp terpasang di kepala karena kondisi yang masih gelap. Dan jas hujan sengaja aku pakai untuk antisipasi jika sewaktu-waktu hujan turun lagi. Lagu Indonesia Raya kami nyanyikan, disusul dengan berdoa sebelum memulai lomba.
Akhirnya lomba dimulai, dan para peserta bergerak meninggalkan garis start. Kami bergerak di sepanjang bibir pantai menuju arah timur, dari Depok ke Parangtritis. Aku sengaja berlari di rombongan depan agar tidak banyak kehilangan waktu selagi masih berada di jalur pasir yang relatif gampang ini. Aku sendiri sudah memerkirakan bakal melambat dan didahului peserta lain saat masuk jalur tanjakan nanti.
Selepas 5 kilometer pertama, rute berbelok ke kiri atau kearah utara. Dari jalur pasir berganti ke jalan tanah berbatu yang menanjak di bukit sebelah utara Parangtritis. Aku mencoba mengatur nafas, tarik nafas 1 kali dan buang nafas 2 kali, seperti yang pernah disarankan oleh Dhanang Dhave beberapa bulan lalu. Huuhh, hahh haahhh!!!. Benar saja, teknik ini cukup berhasil untuk tidak kehabisan tenaga saat berlari (meskipun aku lebih sering berjalan) di tanjakan. Dan beberapa peserta lain mulai mendahuluiku.