Lihat ke Halaman Asli

Daniel Mashudi

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Tiga Unsur Agama dan Budaya Berpadu di Keraton Kasepuhan

Diperbarui: 20 Juli 2015   23:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Satu jam lebih saya akhirnya tiba di Keraton Kasepuhan Cirebon. Pagi itu saya memang sengaja berjalan kaki dari tempat menginap di Jalan Ahmad Yani (by pass timur) menuju keraton terbesar di Cirebon tersebut. Selain karena udara yang belum begitu panas, saya bisa lebih leluasa menikmati suasana kota udang. Ada 4 keraton yang berada di Cirebon: Kasepuhan, Kanoman, Keprabonan dan Kacirebonan.

Berbekal peta wisata yang sudah saya simpan di gawai, saya berjalan ke arah barat dari Ahmad Yani menuju perempatan lampu merah. Kemudian saya berbelok ke utara menuju Kesambi Raya yang berangsur melengkung ke arah timur dan tersambung dengan Pulasaren. Banyak bangunan kuno berada di kiri-kanan kedua jalan tersebut, salah satunya adalah Keraton Kacirebonan. 

Jalan Pulasaren berujung pada sebuah perempatan yang menjadi pusat kota tua Cirebon. Di sisi kanan (arah selatan) perempatan itulah kompleks Keraton Kasepuhan berada. Seperti lazimnya keraton-keraton di Jawa (Yogya atau Solo), Keraton Kasepuhan menghadap ke arah utara. Di depan keraton terdapat alun-alun dengan pasar di sebelah timur dan masjid di sebelah barat. Empat unsur yakni kantor pemerintahan, alun-alun, masjid, dan pasar tersebut hingga saat ini banyak dijumpai pusat pemerintahan pada kota-kota di Jawa.

Bangunan paling depan keraton adalah Siti Hinggil (siti = tanah, hinggil = tinggi) yang memang posisinya lebih tinggi dari bangunan lainnya. Pengaruh Hindu Majapahit begitu kental seperti bentuk gapura yang khas. Siti Hinggil memiliki 5 bangunan semacam pendopo terbuka. Dari tempat inilah Raja melihat latihan keprajuritan diadakan di alun-alun setiap hari Sabtu yang disebut dengan Saptonan. Unsur Hindu lainnya di Siti Hinggil ini yaitu adanya yoni dan lingga sebagai simbol kesuburan.

Siti Hinggil yang dibangun pada tahun 1451 Saka atau 1529 Masehi ini dikelilingi oleh pagar tembok yang tersusun dari bata merah. Pagi itu saya melihat beberapa orang tengah membersihkan pagar tembok tersebut. Pewarnaannya tidak menggunakan cat yang sering dipakai sekarang. Campuran air dan tanah merah dipergunakan untuk 'mengecat' yang bertujuan mempertahankan warna pagar tembok.

Dari Siti Hinggil saya bergerak masuk ke bangunan inti keraton. Pengunjung hanya diperbolehkan masuk sampai beranda keraton yang berwarna putih ini. Jika dilihat dari segi budaya dimana unsur budaya Jawa terlihat di bangunan Siti Hinggil dengan pendopo-pendoponya, maka unsur budaya Eropa dan Tiongkok bisa ditemukan di bangunan inti. Keramik-keramik dengan gambar bercorak Eropa atau Tiongkok terdapat di beranda keraton ini. Unsur Eropa lainnya berupa dua meriam yang berada di halaman yang merupakan pemberian dari Thomas Stanford Raffles.

 

Di sebelah kiri bangunan inti terdapat Museum Kereta Singa Barong dan Dalem Agung Pakungwati. Beberapa benda yang disimpan di Museum Kereta Singa Barong adalah kereta kencana (Kereta Singa Barong), tandu, lukisan Prabu Siliwangi dan beberapa keris. Unsur tiga agama terlihat di kereta Singa Barong. Pada bagian depan kereta terdapat bentuk binatang yang merupakan gabungan dari gajah, garuda dan naga. Belalai gajah menjadi simbol agama Hindu, garuda bersayap burak menjadi simbol agama Islam dan naga menjadi simbol agama Budha.

Dalem Agung Pakungwati adalah bangunan tertua di Keraton Kasepuhan. Sebuah pedati kayu berukuran besar berjuluk Pedati Gede Pekalangan ditempatkan di halaman yang ditumbuhi pohon-pohon kapuk randu. Di keraton Pakungwati ini terdapat juga sumur kejayaan, petilasan Pangeran Cakrabuana dan petilasan Sunan Gunungjati. Sayang beberapa bagian keraton Pakungwati nampak kurang terawat.

Jika di kiri istana inti terdapat Museum Kereta dan Dalem (Keraton) Pakungwati, maka di sebelah kanan terdapat museum benda kuno. Benda-benda bersejarah yang disimpan di museum ini antara lain gamelan, senjata seperti keris dan meriam, pakaian putra-putri raja dan lainnya. Sebuah kurungan dari bambu terlihat unik berada di salah satu sisi ruangan. Perangkat ini dipakai dalam upacara tedak siti (turun ke tanah) bagi anak balita, yang biasanya juga dilakukan di Yogya atau Solo.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline