Lihat ke Halaman Asli

Daniel Mashudi

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Sambung Rasa Secangkir Kopi

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14324877732113502199

Merunut ke masa-masa silam, tidak banyak anggota keluarga kami yang menjadikan secangkir kopi sebagai sebuah minuman wajib di pagi hari. Almarhum nenek adalah satu-satunya orang yang menggemari kopi untuk memulai kegiatan pagi. Mungkin saat itu saya masih 6-7 tahun, ketika biasanya saya setiap pagi menyelinap masuk ke rumah nenek yang bersebelahan dengan rumah orang tua saya. Kopi hitam adalah kopi yang sering dinikmati beliau. Demi sehirup dua hirup kopi, sering kali saya berlaku ‘tidak sopan’ dengan mendahului meminum kopi yang masih secangkir utuh, masih mengepul uap-uap panasnya yang beraroma khas. Secangkir kopi di masa lalu itu menjadi media sambung rasa antara cucu dan sang nenek.

Beranjak besar, saya menyadari ketidaksopanan yang saya lakukan tersebut. Saya pun mulai berhenti menyelinap ke rumah nenek. Secara tak langsung kebiasaan minum kopi di pagi hari sempat terhapus dari kegiatan rutin saya di pagi hari. Di rumah, segelas teh atau susu lebih sering terhidang di meja makan untuk menemani sarapan pagi. Keduanya memiliki kenikmatan tersendiri, namun tidak akan pernah bisa seistimewa kopi yang dulu menali erat ikatan emosi antara saya dan nenek.

Merantau ke luar kota kelahiran, dimana saya melanjutkan pendidikan selulus SMU, perlahan kopi kembali hadir dalam lingkaran hidup saya. Setidaknya ketika saya harus begadang untuk menyelesaikan tugas menggambar teknik yang sudah mepet deadline, secangkir kopi adalah sesuatu yang wajib. Meski terkadang bencana kecil hadir manakala ketidaksengajaan menyenggol cangkir kopi yang membuat sebagian isinya berpindah ke atas kertas kalkir. Marah dan mengumpat pun terjadi.

Traveling menjadi hobi saya selanjutnya, yang memiliki hubungan dengan secangkir minuman berwarna hitam yang disebut kopi ini. Sempat beberapa kali berinteraksi dengan masyarakat lokal, kopi menjadi sebuah media sambung rasa antara sang tuan rumah dan sang pejalan. Setidaknya ada tiga tempat yakni di Maratua, Toraja dan Baduy Dalam yang akan selalu lekat dalam ingatan, dan secangkir kopi turut hadir dalam interaksi saya dengan penduduk lokal.

Suatu pagi yang baru saja diguyur hujan lebat, masyarakat di Pulau Maratua, Kalimantan Timur melakukan upacara memohon keselamatan kepada Sang Pencipta. Beberapa hari terakhir memang cuaca tak bersahabat, dan gelombang laut cukup tinggi. Seusai memanjatkan doa, warga Maratua pun menikmati beberapa panganan yang telah disiapkan. Tua, muda dan anak-anak turut dalam upacara di bulan Desember 2012 itu. Para pria setempat dengan senang hati mengajak saya dan beberapa pejalan yang kebetulan sedang ada di sana untuk menikmati hidangan. Sambil ngobrol, secangkir kopi menjadi minuman yang pas untuk pagi yang lumayan berangin itu.

Toraja adalah bagian selanjutnya dalam cerita saya, ketika suatu pagi di bulan Juli 2013 saya berkesempatan menyaksi upacara Rambu Solo, yakni upacara pemakaman jenazah, di kota Rantepao, Sulawesi Selatan. Sesaat sebelum acara dimulai, salah satu tetua adat mempersilakan saya dan teman dari Malaysia untuk duduk di salah satu rumah-rumah bamboo yang lazim dibangun untuk kegiatan Rambu Solo. Lagi-lagi, segelas kopi menjadi media sambung rasa antara tuan rumah dan tamunya dalam perbincangan yang hangat.

Agustus 2014, dalam sebuah kunjungan di Baduy Dalam, Banten. Malam hari ketika saya dan dua pemandu sedang berbincang di salah satu rumah penduduk, sebuah bumbung (batang bambu) menjadi wadah istimewa di mana di dalamnya berisi kopi panas yang menemani kami berbincang sepanjang malam. Keramah-tamahan penduduk Baduy Dalam memberikan kesan tersendiri bagi saya.

[caption id="attachment_367531" align="aligncenter" width="640" caption="Perkampungan Baduy (dok. pribadi)"][/caption]

Kopi tak lagi sekedar minuman. Ia turut hadir menjadi media sambung rasa yang telah menaut tali kasih antara nenek dan cucunya. Ia juga turut hadir menjadi media sambung rasa antara penduduk lokal dengan para pejalan yang sedang singgah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline