[caption id="attachment_301296" align="aligncenter" width="600" caption="Malioboro"][/caption]
Hari beranjak gelap di Malioboro yang tak pernah terlelap. Denyut kehidupan di jalan paling terkenal di kota Jogja ini memang terus berlangsung sepanjang hari, menjadi magnet kuat bagi setiap wisatawan yang berkunjung ke kota budaya ini. Para pedagang suvenir di sepanjang jalan sibuk melayani pembeli. Tawar-menawar antara penjual dan pembeli tersebut pun terjadi untuk memperoleh sebuah harga yang disepakati.
Di salah satu lokasi, tampak sekelompok angkringan yang terlihat ramai. Empat angkringan berjajar itu memang menjual menu makanan seperti lazimnya angkringan-angkringan lain yang tersebar di seluruh kota. Namun ada sesuatu yang menjadikannya berbeda, yaitu pengunjung dari mancanegara yang ikut makan dan menikmati suasana malam di empat angkringan yang bertuliskan nama “Putra Malaya” itu. Ya, pemiliknya berasal dari Malaysia dan semua penjual yang melayani keempat angkringan tersebut juga dari negeri jiran tersebut. Kemampuan mereka berbahasa Inggris, selain juga berbahasa Indonesia, tak heran menjadikan pembeli dari mancanegara tertarik untuk datang.
***
Tunggu dulu, paragraf di atas bukanlah sebuah kejadian nyata melainkan hanya imajinasi saya. Meskipun imajinasi, bukan berarti hal tersebut tidak akan terjadi suatu hari nanti. Semua sangat mungkin terjadi apalagi setahun mendatang, yaitu pada 2015 akan berlaku perdagangan bebas di Asia Tenggara atau yang dikenal dengan istilah ASEAN Free Trade Area (AFTA). Aliran barang dan jasa, termasuk tenaga kerja dari negara-negara Asia Tenggara akan bebas masuk ketika AFTA 2015 berlaku.
Banyak bidang yang terpangaruh saat berlakunya AFTA 2015 tersebut, namun saya akan membatasi bahasan kali ini pada bidang kepariwisataan saja. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tahun 2013 lalu, sebanyak 8,8 juta wisman datang ke Indonesia. Jumlah ini 2,5 juta lebih banyak dari jumlah kunjungan pada empat tahun sebelumnya.
[caption id="attachment_301294" align="aligncenter" width="600" caption="(diolah dari data BPS)"]
[/caption]
[caption id="attachment_301295" align="aligncenter" width="600" caption="(diolah dari data BPS)"]
[/caption]
Secara prosentase, wisatawan asal Singapura dan Malaysia menduduki peringkat teratas dari keseluruhan wisman yang berkunjung yaitu sebanyak 20% dan 17% setiap tahunnya. Artinya sekitar 3 jutaan warga Singapura dan Malaysia setiap tahun mengadakan plesiran ke Bali, Jogja, Jakarta dan daerah-daerah lainnya. Di satu sisi, kunjungan tersebut memberikan dampak positif yaitu dengan mendatangkan pendapatan di sektor pariwisata kita. Namun di sisi lain, sebuah ‘ancaman’ bisa saja terjadi terutama saat AFTA berlaku.
Perkembangan kepariwisataan Indonesia menunjukkan trend positif dari tahun ke tahun. Hal ini bisa membuat pelaku bisnis dari luar negeri semakin tertarik untuk ikut menikmati kue manis tersebut dengan menanamkan modal atau menjadi pelaku wisata secara langsung di Indonesia. AFTA sangat memungkinkan investor dan tenaga kerja ASEAN ikut bertarung dengan putra-putri Indonesia. Sungguh masuk akal jika nantinya kita menjumpai pemilik resort, hotel, restaurant sampai angkringan termasuk tenaga kerjanya adalah warga negara Singapura, Malaysia, dan negara ASEAN lain.
Saat ini saja dengan mudah kita jumpai resort dan hotel milik asing di Indonesia. Tak hanya di daerah-daerah wisata utama seperti Bali, resort asing bahkan sudah ada di tempat wisata yang ‘terpencil’. Saat kunjungan saya di Teluk Lampung tahun lalu, sebuah resort yang cukup bagus berada di Pulau Pahawang yang terkenal dengan wisata bawah lautnya. Saya dan rombongan tidak menginap di resort milik warga Perancis tersebut. Kami menginap di pondok yang sederhana di Pulau Kelagian, tak jauh dari Pulau Pahawang, yang dikelola oleh TNI AL.
[caption id="attachment_301297" align="aligncenter" width="600" caption="Pulau Pahawang: di belakang sana, resort milik warga Perancis"]
[/caption]
[caption id="attachment_301298" align="aligncenter" width="600" caption="Resort milik warga Malaysia di Pulau Maratua"]
[/caption]
Juga saat saya datang ke Pulau Maratua, salah satu pulau di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur. Tempat menginap untuk rombongan saat itu dipecah menjadi dua. Sebagian rombongan menginap di sebuah resort yang cukup bagus yang berdiri di tepi pantai, dimana resort ini milik warga Malaysia. Dan sebagian lagi menginap di rumah-rumah penduduk yang sederhana di Pulau Maratua tersebut.
Nah, siapkah kita menghadapi ‘invasi’modal dan tenaga kerja asing saat AFTA berlaku nanti? Setidaknya ada dua hal yang harus kita lakukan untuk menyambut AFTA. Pertama, dengan meningkatkan kemampuan tenaga kerja kita. Pemerintah perlu mengadakan program-program untuk menunjang hal tersebut, seperti kemampuan berbahasa Inggris yang sangat diperlukan di bidang pariwisata. Juga kesadaran dari warga untuk meng-upgrade kemampuannya agar bisa bersaing dengan tenaga kerja asing.
Kedua, memupuk semangat nasionalisme dengan lebih mencintai produk-produk dalam negeri. Membanjirnya unit usaha dan tenaga kerja asing suatu saat nanti perlu diimbangi dengan kesadaran kita untuk lebih memilih produk buatan sendiri. Hal-hal sederhana seperti lebih memilih berbelanja suvenir di supermarket atau toko milik warga Indonesia, menikmati kuliner yang dijual di warung atau restaurant Indonesia, atau menginap di homestay, penginapan dan hotel yang juga dimiliki orang Indonesia. Hal-hal tersebut sangat membantu agar rakyat Indonesia menjadi pelaku dan penikmat wisata di negerinya sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H