Lihat ke Halaman Asli

Daniel Mashudi

TERVERIFIKASI

Kompasianer

What Every Girl Should Know

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1412885941647583201

Sumber: http://archive.lib.msu.edu/DMC/AmRad/whateverygirl1922.pdf

The sexual impulse is the strongest force in all living creatures. It is this that animates the struggle for existence; it is this that attracts and unites two beings, that they may reproduce their kind; it is this that inspires man to the highest and noblest thoughts; it is this that also inspires man to all endeavors and achievements, to all art and poetry; this impulse is the creative instinct which dominates all living things and without which life must die.

Itulah sepenggal paragraph yang saya baca pada arsip digital berjudul “What Every Girl Should Know” karya Margaret Higgins Sanger, seorang pelopor KB modern. Tulisan tersebut ini berisi materi sex education seperti organ seksual, pubertas, kehamilan, penyakit kelamin dan sebagainya, seperti yang pernah saya pelajari dalam pelajaran Biologi sewaktu di SMU. Namun pada masanya, Margaret harus menghadapi banyak tantangan untuk memberikan pemahaman sex education tersebut.

Tentang Margaret Higgins Sanger
Ia lahir pada 14 September 1879 di Corning, New York dengan nama lahir Margaret Higgins. Ibunya, Anne Purcell Higgins adalah seorang pemeluk Katholik Roma yang taat yang mengalami 18 kehamilan (11 di antaranya lahir hidup). Anne Higgins meninggal pada usia 40 tahun akibat tuberkolusis dan kanker mulut rahim. Margaret belajar di Claverack College and Hudson River Institute pada tahun 1896. Kemudian pada tahun 1900 ia belajar kebidanan di White Plains Hospital. Pada tahun 1902, Margaret menkah dengan William Sanger, seorang arsitek. Pernikahan mereka dikaruniai 3 anak.

Tahun 1912, Margaret mulai berkampanye untuk mengedukasi wanita tentang seks dengan menulis sebuah kolom surat kabar dengan judul “What Every Girl Should Know”. Margaret juga bekerja sebagai perawat di Lower East Side. Dalam pekerjaannya, Margaret menangani wanita yang harus menjalani aborsi karena hubungan gelap, dan yang berusaha bunuh diri karena kehamilan. Margaret tidak bisa menerima penderitaan yang dialami oleh wanita-wanita tersebut dan berusaha memberikan informasi mengenai pengendalian kelahiran dan kontrasepsi. “Tak satu pun wanita bisa menyebut dirinya bebas sampai ia bisa memilih dengan sadar apakah ia akan menjadi ibu atau tidak,” begitu kata Margaret.

Tahun 1914, Margaret meluncurkan sebuah majalah bulanan The Women Rebel (Wanita Pemberontak) yang menganjurkan hak-hak wanita untuk membuat pengendalian kelahiran dan kontrasepsi. Namun Margaret diangap melanggar The Comstock Act of 1873 yang melarang penjualan dan peredaran hal-hal yang berbau porno. Untuk menghindari hukuman penjara, Margaret akhirnya melarikan diri ke Inggris.

Tahun 1915 Margaret kembali ke AS dan mulai mengenalkan istilah “pengendalian kelahiran” dan setahun kemudian membuka sebuah klinik keluarga berencana, ini adalah klinik yang pertama di AS. Namun 9 hari setelah buka, klinik tersebut diserbu polisi dan Margaret dipenjara selama 30 hari karena dianggap melanggar The Comstock Law. Dalam bandingnya, Margaret akhirnya menang. Pengadilan memang tidak membatalkan putusan sebelumnya, namun memberikan pengecualian pada hukum yang ada, yang mengijinkan para dokter memberikan resep kontrasepsi kepada pasien wanita karena alasan medis. Dalam masa ini, Margaret mempubilkasikan The Birth Control Review.

Tahun 1921 Margaret mendirikan American Birth Control League, lembaga pendahulu untuk Planned Parenthod Federation of America (lembaga KB di Amerika Serikat) yang ada saat ini. Ia menjadi presiden sampai tahun 1928. Tahun 1948 Margareth Sanger turut aktif di dalam pembentukan International  Committee on Planned Parenthood yang dalam konferensinya di New Delhi pada tahun  1952 meresmikan berdirinya International Planned Parenthood Federation (IPPF). Federasi  ini memilih Margareth Sanger dan Lady Rama Ran dari India sebagai pimpinannya. Sejak  saat itu berdirilah perkumpulan-perkumpulan keluarga berencana di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, yang merupakan cabang-cabang IPPF tersebut.

Keluarga Berencana di Indonesia

Tahun 1950-an para ahli kandungan berusaha mengurangi angka kematian bayi dan ibu melahirkan yang tinggi dengan merintis Bagian Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA). Tahun 1957 didirikan Perkumpulan Keluarga Berencana yang dalam perkembangannya kemudian menjadi Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), dan pada tahun 1967 PKBI diakui sebagai badan hukum.

Pemerintah selanjutnya mulai terlibat dalam program KB nasional. Presiden Soeharto menandatangani Deklarasi Kependudukan Dunia tahun 1967, yang berisi betapa pentingnya menentukan jumlah anak dan menjarangkan jarak kelahiran dalam keluarga sebagai sebuah hak asasi manusia. Tahun 1968, Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1968 kepada Menteri Kesejahteraan Rakyat yang isinya:

-Membimbing, mengkoordinir serta mengawasi segala aspirasi yang ada di dalam masyarakat di bidang Keluarga Berencana.

-Mengusahakan segala terbentuknya suatu Badan atau Lembaga yang dapat menghimpun segala kegiatan di bidang Keluarga Berencana, serta terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat.

Tanggal 17 Oktober 1968, dibentuklah Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) dengan surat No. 36/KPTS/Kesra/X/1968. Lembaga ini statusnya adalah sebagai lembaga semi pemerintah.

Periode Pelita I sampai Reformasi

Kelembagaan Keluarga Berencana di Indonesia terus mengalami perkembangan dari periode Pelita I hingga Reformasi. Tahun 1970 dibentuk Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan dr. Suwardjo Suryaningrat menjadi kepalanya. Pada tahun 1972, BKKBN berstatus sebagai lembaga pemerintah non departemen.

Pada Pelita I (1969-1974), program keluarga berencana dikenalkan kepada masyarakat melalui berbagai pendekatan yang disesuaikan dengan kebutuhan program dan situasi serta kondisi masyarakat.

Periode Pelita II (1974-1979) adalah periode pembinaan dan pendekatan program yang semula berorientasi pada kesehatan ini mulai dipadukan dengan sector-sektor pembangunan lainnya, yang dikenal dengan Pendekatan Integratif (Beyond Family Planning).

Pada Pelita III (1979-1984), dilakukan pendekatan kemasyarakatan (partisipatif) yang didorong peranan dan tanggung jawab masyarakat melalui organisasi/institusi masyarakat dan pemuka masyarakat, yang bertujuan untuk membina dan mempertahankan peserta KB yang sudah ada serta meningkatkan jumlah peserta KB baru.

Pada Pelita IV (1984-1989), dilakukan pendekatan baru antara lain melalui pendekatan koordinasi aktif. Penyelenggaraan KB oleh pemerintah dan masyarakat lebih disinkronkan pelaksanaannya melalui koordinasi aktif tersebut ditingkatkan menjadi koordinasi aktif dengan peran ganda, yaitu selain sebagai dinamisator juga sebagai fasilitator.

Pelita V (1989-1994), ditetapkan UU No. 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera, dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993 khususnya sub sektor Keluarga Sejahtera dan Kependudukan. Kebijaksanaan dan strategi gerakan KB nasional diadakan untuk mewujudkan keluarga Kecil yang sejahtera melalui penundaan usia perkawinan, penjarangan kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga dan peningkatan kesejahteraan keluarga.

Pelita VI (1994-1998), BKKBN dijadikan lembaga setingkat kementerian. Fokus kegiatan diarahkan pada pelayanan keluarga berencana dan pembangunan keluarga sejahtera, yang dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat dan kelaurga untuk meningkatkan kualitas keluarga agar dapat melaksanakan fungsinya secara optimal.

Pada masa reformasi, BKKBN berubah nama dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional menjadi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (tahun 2009).

BKKBN menjadi Kementerian
Presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo dan Jusuf Kalla berencana menjadikan BKKBN sebagai kementerian. Ini adalah sebuah langkah yang baik mengingat keberadaan BKKBN akan menjadi lebih efektif jika berada di bawah lembaga kementerian sehingga mampu bersinergi dengan lintas sektoral.

Sejak era desentralisasi tahun 1999 dengan adanya UU Otonomi Daerah, program KB dan kependudukan tidak lagi menjadi perhatian pemerintah pusat. Sementara itu pemerintah daerah dinilai tidak serius dalam menangani masalah kependudukan. Hingga 2009, bentuk kelembagaan KB bervariasi di daerah. Terdapat 81,95% kelembagaan KB di kabupaten/kota yang berbentuk badan, 16,08% berbentuk kantor dan 1,96% berbentuk dinas baru.

Untuk mengantisipasi dan mengatasi permasalahan kependudukan tersebut, lembaga kependudukan perlu ditempatkan setingkat menteri di tingkat pusat sehingga bisa mengurangi keterbatasan lembaga tersebut. Kementerian kependudukan nantinya akan bekerja lintas sektoral (lintas kementerian), sehingga menteri yang akan menjabat nantinya harus berasal dari profesional.

Dengan adanya menteri dari profesional yang akan bekerja lintas sektoral, diharapkan bahwa masalah kependudukan tidak hanya dilihat dari segi kuantitas saja. Yang terlebih penting adalah menjadikan penduduk Indonesia selain sebagai penduduk yang berjumlah besar, namun juga memiliki kualitas yang baik.

***

Sumber:

BKKBN
Biography.com
Archive.lib.msu.edu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline