Lihat ke Halaman Asli

Daniel Mashudi

TERVERIFIKASI

Kompasianer

Anak-anak Tim-Tim di Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14135760301957656961

Saya ingin pulang … pulang ke rumah. Saya memang orang Indonesia, tapi saya juga orang Timor Leste. Orangtua saya bukanlah berasal dari tempat yang tak dikenal, mereka berasal dari Timor Leste. Saya ingin ke sana, meski bukan berarti saya akan meninggalkan keluarga saya. Sama sekali tidak. Saya hanya ingin pulang ke rumah… dan, kalau Anda bertanya kenapa, yang saya tahu adalah saya harus pulang. Akan sangat menakutkan jika saya meninggal dan saya belum sempat bertemu lagi dengan ibu dan keluarga saya.

[caption id="attachment_329720" align="aligncenter" width="600" caption="Dok. Pribadi"][/caption]

Paragraf tersebut adalah sepenggal cerita yang dikisahkan oleh Biliki yang saya baca pada halaman xxii dari buku “Anak-anak Tim-Tim di Indonesia, Sebuah Cermin Masa Kelam” terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), cetakan januari 2014. Biliki adalah satu dari 4.000 anak kecil Timor-Leste yang dipindahkan ke Indonesia pada masa pendudukan Indonesia antara 1975 – 1999. Banyak anak yang dibawa oleh tentara untuk diadopsi, atau dikirimkan ke panti-panti asuhandi Indonesia oleh pemerintah dan organisasi-organisasi keagamaan.

Buku ini bagi saya setidaknya memberikan potongan yang hilang dari sejarah integrasi Timor-Timur yang belum pernah saya dengar atau baca sebelumnya. Juga sudut pandang kemanusiaan dalam hal ini adalah perlindungan terhadap anak-anak, menjadi sisi lain dari masa 1975-1999 tersebut yang perlu untuk diketahui sebagai fakta sejarah yang tidak boleh diabaikan.

Helene van Klinken, sang Penulis Buku

Semasa kecil, Helene (seorang peneliti sosial berkewarganegaraan Australia) sering mendengar cerita tentang anak-anak keturunan Aborigin yang secara paksa diambil dari keluarganya. Anak-anak ini dibawa oleh pemerintah federal, pemerintah pusat, atau misi gereja, yang terjadi pada 1909 – 1969. Bayangan penderitaan anak-anak Aborigin tersebut muncul kembali saat Helene bertugas di Timor Leste tahun 2003 sebagai relawan CAVR yang berada di bawah naungan PBB. Banyak laporan yang ia terima bahwa anak-anak Timor Leste (atu Timor-Timur saat menjadi bagian Indonesia) dimasukkan ke peti dan selanjutnya dibawa oleh tentara yang akan pulang dengan kapal menuju Indonesia.

Berangkat dari hal tersebut, Helene kemudian menyusun sebuah laporan untuk disertasinya di Brisbane, Australia. Helene meraih gelar doctor tahun 2009 dan disertasinya dipubilkasikan oleh Penerbit Universitas Monash pada 2012 menjadi sebuah buku berjudul ‘Making Them Indonesians, Child Transfer Out ofEast Timor’. KPG Gramedia selanjutnya menerbitkan buku ini pada Januari 2014 lalu dengan judul yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Ribuan Anak Dibawa ke Indonesia

Indonesia berhasil menjadikan Timor-Timur sebagai provinsi ke-27 pada tahun 1975, dan mulai saat itu banyak anak-anak Tim-Tim yang dibawa ke daerah-daerah lain di Indonesia. Sebagian besar anak ini diambil antara tahun 1975 sampai awal 1980-an ketika terjadi perang antara tentara Fretilin dan tentara Indonesia. Banyak anak terpisah dari keluarga mereka dan terlantar akibat perang. Tentara dan pegawai negeri sipil Indonesia membawa anak-anak itu pulang ke Indonesia pada akhir masa jabatan mereka di Tim-Tim, untuk mereka adopsi sendiri atau diberikan kepada keluarga lain.

Presiden Soeharto pada akhir 1970-an mengirim beberapa anak yatim Tim-Tim ke berbagai institusi pendidikan di Jawa. Tahun 1977, ia mengundang 20 anak ke rumahnya di Cendana. Pak Harto dan Ibu Tien menyisihkan waktu dari kesibukannya untuk menyambut anak-anak tersebut. Ibu Tien membantu anak-anak tersebut mencuci tangan mereka, lalu memberi mereka makan. Ia merasakan kesedihan anak-anak yang jauh dari kampung halaman mereka seperti seorang ibu yang merasakan kesedihan anaknya. Sementara Pak Harto memberikan nasihat seperti seorang ayah kepada anak-anak.

Turut hadir dalam acara tersebut Menteri Negara Sudharmono, Gubernur Jawa Tengah Supardjo Rustam, dan Gubernur Tim-Tim Arnando dos Reis Araujo. Gubernur Tim-Tim akan menyerahkan anak-anak tersebut kepada Gubernur Jawa Tengah, tempat di mana anak-anak tersebut akan tinggal. Koran-koran memberitakan bahwa anak-anak tersebut menjadi yatim-piatu karena orangtua mereka dibunuh oleh Fretilin. Oleh karenanya, anak-anak tersebut menjadi simbol kesedihan dari rakyat Tim-Tim untuk bergabung dengan Indonesia. Pemerintahan Soeharto menjadikan anak-anak tersebut sebagai bagian dari propaganda untuk meraih dukungan.

[caption id="attachment_329721" align="aligncenter" width="500" caption="Ibu Tien Menyajikan Minuman kepada Anak-anak TimTim (hal 47)"]

14135762742002456198

[/caption]

Anak-anak yang dibawa ke Indonesia biasanya untuk diadopsi, dan dididik oleh orang tua asuh mereka. Mereka dididik untuk menjadi orang Indonesia. Banyak orang tua asuh yang melarang mereka berbicara tentang Timor-Timur, sehingga dengan demikian mereka mulai kehilangan bahasa dan budaya asli mereka. Mereka bahkan diberi nama baru, dan dalam banyak kasus dibesarkan dalam agama yang berbeda dari orang tua mereka (Katholik).Keinginan untuk bertemu dengan orang tua atau keluarga asli mereka tentunya ada. Namun selama masa Orde Baru, mereka tidak berani mencarinya.

Timor-Timur Berpisah dari Indonesia

Mundurnya Presiden Soeharto pada Mei 1998 menimbulkan banyak perubahan. Setahun kemudian dalam masa pemerintahan Habibie, melalui sebuah referendum atau jajak pendapat rakyat Tim-Tim memilih untuk berpisah dari Indonesia. Banyak rakyat Indonesia yang kecewa dengan penolakan rakyat Tim-Tim ini. Mereka merasa telah bermurah hati kepada Timor-Timur.

Di sisi lain, anak-anak Tim-Tim di Indonesia akhirnya mempunyai kesempatan untuk kembali kepada keluarganya. Namun ini bukanlah hal yang mudah. Selain karena terlalu lama mereka berpisah dengan keluarga naturalnya di Tim-Tim, ikatan yang telah terjalin dengan keluarga di Indonesia tentunya juga tidak gampang untuk dilupakan.

Sebuah Refleksi

Banyak hal yang tak pernah saya –juga sebagian besar rakyat Indonesia- ketahui tentang integrasi Timor-Timur. Khususnya mengenai pemindahan anak-anak tersebut yang membuat mereka terputus dengan identitas asalnya, sebelumnya tak ada satu pun informasi atau buku sejarah yang menulisnya, sampai akhirnya saya membaca buku dari Helene van Klinken. Sebuah renungan, bahwa tak seharusnya anak-anak dipisahkan dari orang tua mereka meski dengan alasan apapun. Banyak kisah menyentuh dari Biliki dan anak-anak lain yang ditulis dalam buku ini.

Buku ini layak untuk dibaca. Informasi-informasi di dalamnya memberikan informasi dan sudut pandang lain dari sebuah sejarah, yang belum pernah saya peroleh. Buku yang akan membawa kita untuk melihat sebuah dunia dalam perspektif yang lebih luas lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline