Sejak awal apakah aku salah? Ada yang bisa menjelaskan dimana letak kesalahanku? Seharusnya bagaimana? Kini aku menjalani hari-hari bagaikan bernafas tanpa paru-paru dan terkadang bernyanyi tanpa nada. Sesak dimana-mana, penuh tanda tanya dan penuh praduga dalam tiap untai pikiran di kepala. Seandainya, ah klasik, toh berandai tidak merubah apapun. Namun jika boleh aku berandai, aku ingin kita tidak berjumpa, tidak saling mengenal, terlebih saling mencintai. Hidup seperti ini seperti memungut duri dari tumpukan duri, percuma dan sakit.
Kisah ini diawali dengan perjumpaan yang membosankan. Aku memulai hari dengan tergesa-gesa. "Sial, hari ini harus kesana" ucapku saat itu sambil merapikan rambut yang baru saja aku ubah menjadi kuning keemasan. Panggil saja aku Vana, teman-temanku kerap mengejekku karena namaku itu. "Vana pakai V bukan Fana pakai F" caraku menangkis tiap olokan teman-teman sebayaku. Lucunya terkadang aku termakan omongan mereka, apa benar aku fana? Sama seperti dunia ini? Ah lupakan! Ya begitulah kehidupanku, standar-standar saja seperti manusia pada umumnya. Hari itu aku harus kesana, ke tempat yang ternyata membawaku sampai sejauh ini.
Menghela nafas sejenak, aku duduk, terdiam, dan bingung. Semua orang di Flos Villa nampak bahagia seolah dunia ini baik-baik saja. Tempat ini padat dan sesak. Virus corona bukankah masih ada? Lantas mengapa disini begitu padat seperti ikan lele berebut pelet. Sambutan yang cukup buruk aku alami saat datang ke Flos Villa kala itu. Baru saja aku ingin mengamuk dan berteriak, tiba-tiba datang seorang pemuda duduk tepat di samping kananku. Tentu saja hadirnya mengurungkan niatku untuk berteriak. Aku mengambil ponsel dan menghabiskan beberapa menit untuk memotret apapun yang bisa ditangkap melalui lensa kamera ponselku.
Aku lupa bagaimana detail kejadian saat itu, yang jelas suasana mencair. Aku dan pemuda itu mulai berkenalan. Gatto nama pemuda itu. Dari namanya sih kelihatan gagah dan berani. Momen lama yang membuatku tergelitik jika diingat-ingat lagi. Perkenalan singkatku dengan Gatto membuat kami bertukar nomor whatsapp. Benar saja, ini hanya basa-basi untuk mempersingkat obrolan. "Nanti lanjut via WA ya!" kataku sok asik pada Gatto. Gatto hanya tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Pemuda ini sangat hemat kata, ucapku dalam hati saat itu. Toh apa pentingnya saling bertukar nomor whatsapp, dia juga akan melupakannya, begitu juga aku. Lagi dan lagi, dugaanku salah. Mengapa pertemuan itu begitu membayang-bayangi hingga detik ini. Apakah ada yang salah? Atau sesuatu telah dan akan terjadi?
Kurang lebih seperti itu yang terjadi dan hingga kini masih terasa jelas bagaimana rasanya. Nyata dan berbunga tiap hari dan tiap detiknya. Buah apa yang akan aku petik dari bunga yang berubah nantinya? Akankah masam atau manis rasanya? Hari-hari itu sangat panjang dan melelahkan. Malam itu aku menutup hari dengan secangkir red velvet di Cafe Sakursi bersama Narsa, temanku yang meributkan soal perayaan pernikahannya. Sudah kubilang sejak awal, cerita ini biasa saja, seperti manusia pada umumnya. Bedanya, ini hidup dan harus dihidupi. Mau tidak mau harus begitu, setuju?
Sedang memotret lukisan petani di Flos Villa, September 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H