Pernikahan di bawah umur sudah banyak terjadi pada masyarakat, seperti pada artikel yang menyatakan selama tahun 2019, Pengadilan Agama Tanjung Pinang telah menangani 39 kasus pernikahan di bawah umur. Berdasarkan keterangan Kepala Pengadilan Agama Tanjung Pinang, penyebab perkawinan didominasi karena perbuatan terlarang di luar nikah. Menurut saya hal ini bukan merupakan hal yang baik, mengingat pernikahan ini dijalankan tidak sesuai menurut aturan negara dan ajaran agama. Negara Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur tentang perkawinan yaitu UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo UU No. 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974. Definisi mengenai perkawinan terdapat pada Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 yaitu "ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".[1]
Definisi perkawinan menurut agama Islam juga diatur dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam yaitu "akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah."[2] Mengenai batas usia dilakukannya perkawinan juga diatur oleh negara dan agama. Menurut UU No. 16 Tahun 2019 2019 Tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974. Usia bahwa batas usia umur untuk laki -- laki dan perempuan adalah 19 tahun. Mengenai batas minimal usia perkawinan, menurut agama Islam pada Pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam bahwa batas minimal usia sama dengan UU No. 1 Tahun 1974 yakni calon suami 19 tahun dan calon isteri berumur 16 tahun. Pada Pasal (2) dijelaskan bahwa calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.
Maka dapat disimpulkan bahwa perbuatan yang terjadi di Tanjung Pinang jelas tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal ini juga melanggar aturan agama islam yang menilai bahwa kematangan mental juga menjadi faktor penting dalam perkawinan dalam menghadapi berbagai konflik yang terjadi dalam kehidupan berumah tangga. Menurut pandangan Imam Mazhab seperti Imam Syafi'i, Abu Hanifah, Maliki, dan Ahmad bin Hanbal memperbolehkan perempuan yang sedang perkawinan akibat perbuatan zina dengan ketetapan bahwa yang menikahinya ialah laki-laki yang telah menghamilinya, karena hamil akibat zina tidak menjadi haram untuk dinikahi.[3]
Pandangan menurut Imam Syafi'i menyatakan perkawinan perempuan saat sedang hamil adalah sah selama tidak melanggar dalil. Perempuan yang sedang hamil dapat melakukan perkawinan dengan laki-laki lain, jadi tidak harus melakukan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya.
Perkawinan ini dapat dilaksanakan dengan ketetapan bahwa perkawinan ini memenuhi syarat nikah dan adanya ijab qabul. Pandangan Imam Syafi'I menyatakan tidak ada massa iddah pada perempuan yang sedang hamil.[4]Hal ini juga dijelaskan pada Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan:[5]
- Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
- Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
- Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Menurut saya perkawinan di bawah umur tidak sesuai dengan peraturan negara dan agama, dan saya juga tidak mendukung adanya perkawinan di bawah umur, namun terdapat dispensasi jika memang sudah merupakan tradisi dari suatu kebudayaan. Jika memang harus dilakukan menurut sesuai dengan adat istiadat dari suatu suku, mungkin proses kehamilannya dapat ditunda, karena secara pertumbuhan organ reproduksi belum tumbuh secara maksimal pada perempuan sehingga risiko kematian akibat kehamilan sangat tinggi.
Usia perempuan yang dianggap aman untuk melahirkan ialah rentang usia 20-35 tahun karena pada usia kurang dari 20 tahun kondisi organ produksi dan mental dari calon ibu belum siap secara maksimal dalam menjalani masa kehamilan dan persalinan sedangkan jika lebih dari usia 35 tahun termasuk dalam kategori risiko tinggi terhadap kelainan bawaan serta akan mengalami kesulitan selama masa kehamilan dan proses persalinan.
[6]Menurut saya orang tua, lingkungan, dan pemerintah memegang peranan penting untuk mencegah terjadinya perkawinan di bawah umur. Pemerintah dalam hal ini dapat memberikan edukasi mengenai organ reproduksi mengenai cara membersihkan, proses reproduksi, dan hal-hal apa saja yang tidak dapat dilakukan sedari dini ketika sudah memasuki usia akil baligh.
Pemerintah juga dapat mengadakan program sosialisasi ke daerah daerah yang masih mayoritas masih kurang paham edukasi mengenai organ reproduksi, risiko bila mengalami kehamilan di usia muda, dan mungkin dapat membangun klinik bidan untuk membantu proses melahirkan untuk penduduk setempat. Pemerintah juga dapat mendirikan sekolah untuk meningkat kualitas penduduk setempat yang dapat memberikan wawasan-wawasan yang dapat menunjang pemahaman dan mempunyai prioritas baru seperti melanjutkan pendidikan.
Orang tua juga dapat memberitahukan juga mengenai dasar-dasar mengenai reproduksi kepada anak, dan mengawasi lingkungannya dimana anaknya berinteraksi. Jika lingkungan anak tersebut tidak mendukung perkembangan anak menuju arah yang lebih baik, orang tua harus menjauhkannya dari lingkungan tersebut.