Saya selalu meyakini bahwa ketika kita sedang melakukan suatu dialog/pembicaraan apapun, biasanya akan semakin seru ketika malam makin larut. Ini juga yang saya alami beberapa waktu yang lalu dengan salah satu rekan saya.
Saat itu, saya sedang menyaksikan opening ceremony dari Olimpiade Tokyo 2020, pesta olahraga terbesar di dunia. Lalu, saya iseng-iseng bertanya kepada rekan saya yang notabene adalah seorang mantan atlet. "Kamu pernah kepikiran masuk Olimpiade gak?" tanya saya waktu itu. Ia lalu menjawab, "Kepikiran sih enggak, tapi kalau pengen jelas iya".
Jawaban tersebut membuat kami kemudian berdebat tentang keinginan dan harapan. Apakah dua hal ini tidak saling terkait satu dengan yang lain? Apakah kita bisa memisahkan keinginan dan harapan? Tulisan setelah ini adalah hasil dari dialog yang kami lakukan dan permenungan saya selama beberapa waktu. Saya tidak bermaksud untuk menggurui atau menganggap ini sebagai yang paling benar. Saya membuka diri selebar-lebarnya untuk berdiskusi tentang topik ini. Mari kita mulai.
Keinginan Selalu Disertai Harapan
Setelah ia menjawab pertanyaan saya tentang Olimpiade, saya coba bertanya tentang apa sebenarnya yang ia maksud dengan "keinginan". Baginya, keinginan ya adalah sekadar "rasa ingin". Ia memberi contoh mengenai pengalamannya dulu ketika masih menjadi atlet Wushu. Saat itu, ia menjadi satu-satunya atlet wanita di tempatnya berlatih. Ia menjadi tumpuan banyak pihak untuk meraih prestasi, mengingat secara persaingan bisa dibilang lebih ringan dibandingkan dengan sektor pria. Maka dari itu, meski kadang di latihan ia sampai pucat atau muntah, ia tidak mau menyerah karena ia memang "ingin". Namun, ia tidak mengharapkan apa pun atas apa yang sudah ia perjuangkan tersebut.
Bagi saya, anggapan ini menimbulkan keganjilan tersendiri. Apakah bisa kita sekadar "ingin" tanpa ada "harapan" yang menyertai?
Saya lalu coba menanyai kembali dari mana dia bisa mendapatkan pemikiran seperti ini. Ternyata, hal ini berawal dari sesuatu yang ia alami dulu di masa kecil.
Ia bercerita bahwa pernah suatu waktu, dirinya ingin membeli boneka. Namun saat ia minta ke orang tuanya untuk dibelikan, mereka selalu bilang "nanti ya". Ketika tiba waktunya untuk dibelikan, boneka tersebut sudah habis. Berangkat dari peristiwa itu, ia memegang prinsip "mau boleh tapi jangan ngarep". Baginya, harapan adalah sesuatu yang harus dikabulkan. Dari jawaban ini, saya mulai menemukan titik terang.
Saya coba menganalogikan keinginan dan harapan dengan "makan". Ketika kita ingin makan, di satu sisi kita pasti berharap akan kenyang. Atau paling tidak kita berharap bisa tahu bagaimana rasa dari masakan yang kita makan. Rasanya sulit bagi kita untuk sekadar "makan" tanpa tujuan yang jelas.
Keinginan akan selalu memunculkan harapan. Mari kita ambil contoh konkret. Semisal kamu ingin mendaftar di suatu organisasi, katakanlah sekadar iseng-iseng. Namun, saya yakin bahwa di lubuk hatimu yang paling dalam pasti ada harapan untuk ingin diterima, sekecil apa pun itu. Inilah yang membuat kamu kemudian mengambil keputusan untuk tetap mendaftar. Jadi, keinginan tidak bisa dipisahkan dari harapan.