Pendemi covid-19 di Indonesia sudah 2 bulan merebak sejak diumumkan oleh Presiden. Seruan untuk memakai masker, cuci tangan, dan tinggal di rumah mu digemakan. Namun berbagai upaya yang dilakukan sepertinya mengalami hambatan untuk dapat membuat orang tinggal di rumah.
Bahkan seruan dari tim medis, pekerja di laboratorium covid-19, TNI dan Polri terasa sia sia. Mungkinkah ini menunjukkan sifat yang dari dulu dibanggakan sebagai orang yang tepo seliro, suka gotong royong, ramah tamah, dan peduli sesama kini hanya tinggal kenangan alias sirna? Benarkah ini disebabkan tekanan ekonomi yang semakin besar sehingga memaksa setiap orang untuk tetap beraktifitas di luar rumah?
Memang sangat dilema, sehingga pemerintah pun terlihat seolah olah tidak konsisten.
Semua penjelasan terhadap kondisi tersebut dapat dilihat dari sisi lain. Kalau kita lihat jumlah orang yang terinfeksi kian kemari terus mengalami peningkatan. Pada hari Kamis yang lalu, 21 Mei 2020 kenaikan mencapai lebih dari 900 orang bahkan bisa diperkirakan kenaikan orang terinfeksi bisa lebih besar lagi.
Lalu kenapa hal itu tidak membuat masyarakat menjadi surut untuk melakukan perjalanan ke luar kota, baik yang mereka sebut pulang kampung ataupun mudik?
Ya, hal itu terjadi bisa dikarenakan oleh angka harapan hidup orang yang terinfeksi lebih tinggi dibanding angka kematian yang disebabkannya. Data yang dipublikasikan oleh gugus penanggulangan covid-19 menyebutkan angka pasien yang sembuh mencapai 4.838 orangsedang yang meninggal hanya 1278 orang. Optimis inilah yang mungkin telah membuat masyarakat tetap bertahan untuk melakukan aktifitas di luar rumah.
Angka harapan hidup yang dipublikasikan ditambah kejenuhan serta tradisi yang kuat menjadi energi positif bagi masyarakat. Sebenarnya hal ini masih perlu waspadai masyarakat karena meskipun angka harapan hidup terlihat lebih tinggi dari kematian, sampai sekarang belum ditemukan serum atau obat yang bisa membunuh covid-19.
Apa yang harus dilakukan pemerintah sebaiknya melakukan pencatatan pola terhadap kasus kesembuhan yang telah terjadi dan menentukan makanan dan minuman apa yang perlu dikonsumsi masyarakat sebagai antisipasi.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah segera menentukan acuan pola perilaku yang perlu dipraktekkan oleh masyarakat pada masa pandemi bahkan untuk menghadapi perubahan akibat covid-19 di masa depan. Bukan sekedar himbauan untuk mencuci tangan dan tinggal di rumah tapi perilaku apa yang harus dilakukan ketika di luar rumah tidak hanya sekedar pakai masker atau jaga jarak.
Terakhir pemerintah harus sadar bahwa tidak bisa bergerak sendiri bahkan dengan tangan besi sekalipun. Sistem sosial dan budaya khususnya mayoritas masyarakat Indonesia begitu kuat memegang nilai nilai adat dan agama, terutama agama. Sehingga perlu ditekankan pemerintah harus berkolaborasi dengan tokoh adat dan tokoh agama untuk menggerakkan masyarakat melakukan norma dan perilaku baru yang perlu diterapkan.
Jika saja hal ini dilakukan maka saya yakin kita masih bisa keluar rumah melakukan semua aktifitas tanpa panik dan kuatir namun tetap waspada. Pertanyaannya, maukah semua kita punya komitmen yang sama terhadap norma dan perilaku yang baru nanti?