Lihat ke Halaman Asli

Guru yang Harusnya Bijak

Diperbarui: 1 September 2023   12:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

 Dunia pendidikan Indonesia rasanya masih jauh dari kata habis untuk menimbulkan berita yang terkadang membuat kesal, miris dan sebagainya. Beberapa hari yang lalu, terdapat berita bahwa seorang guru menghukum 19 siswi dengan cara menggunduli bagian depan rambut mereka dikarenakan siswi tersebut tidak menggunakan ciput atau dalaman jilbab. Sebenarnya niat dari guru tersebut sudah cukup baik, yaitu mungkin agar para siswi menggunakan kerudung dengan lebih nyaman, tetapi yang jadi masalah disini adalah cara guru tersebut menghukum para siswi yang sudah cukup kelewatan.

Hukuman merupakan salah satu bagian yang sudah sangat melekat di dalam dunia pendidikan. Hukuman menjadi salah satu cara untuk mendisiplinkan siswa agar berperilaku sesuai dengan aturan dan hal ini juga demi kebaikan para muridnya. Dengan berperilaku sesuai aturan, para murid dapat terlatih untuk menjadi lebih disiplin baik dalam hal waktu, berpakaian dan berpenampilan, dan sebagainya. Kedisiplinan ini dibutuhkan murid dalam kehidupannya sehari-hari baik untuk sekarang maupun masa depan. 

Disiplin waktu melatih murid untuk menghargai waktu, tidak tergerus oleh makin cepatnya laju manusia dalam beraktivitas, dan membuat murid bisa mengorganisasi waktunya dengan baik agar tujuannya bisa tercapai. Disiplin dalam menaati aturan dapat membuat murid bisa dengan kesadarannya sendiri untuk menaati aturan masyarakat yang lebih luas dan sadar bahwa dengan menaati peraturan akan membawa kebaikan bersama.

 Waktu ke waktu, cara sekolah untuk mendisiplinkan muridnya melalui hukuman mengalami perubahan dan memang seharusnya begitu. Perbedaan keadaan zaman membuat manusia bisa terbagi ke dalam beberapa generasi dan tiap generasinya memiliki pola pikir dan sifat yang khas. Perbedaan perlakuan orang tua dari tahun ke tahun juga berpengaruh kepada perilaku murid-murid di sekolah. Terkhusus di Indonesia, pada zaman sebelum kemerdekaan sampai sekitar tahun 1990 an, orang tua di rumah memiliki kekuasaan yang cukup "otoriter". Anak-anak tidak bisa melawan orang tuanya. 

Anak-anak hanya bisa menurut kepada orang tuanya dan bila melawan, pukulan menjadi hal yang bisa diterima oleh anak. Belum ada peraturan bahwa cara kekerasan kepada anak dianggap sebagai sebuah kejahatan. Hal ini juga terjadi di sekolah. Guru dan murid berada pada tingkat yang berbeda. Murid harus menurut pada guru dalam keadaan apapun. Murid tidak bisa melawan. Bentuk-bentuk kekerasan seperti pukulan, jeweran dan sebagainya masih diterima sebagai bagian dari pendisplinan murid.

Pada waktu itu, watak dari muridnya juga kebanyakan masih menurut dan dengan rela menerima kekerasan tersebut. Kalaupun ia melapor kepada orang tuanya, malah bisa saja orang tuanya menambah pukulan atau jeweran tersebut karena anaknya nakal di sekolah.

Zaman berganti, sifat dari generasi sekarang cukup berbeda. Generasi sekarang lebih demokratis, ingin mendapatkan alasan yang logis saat menerima sesuatu, dan berani untuk melawan jika memang perlakuan kepadanya itu salah, termasuk perlakuan salah itu diberikan oleh gurunya. Hal ini merupakan suatu keniscayaan karena sifat, watak, dan pola pikir sebuah generasi ditentukan oleh keadaan sosial yang terjadi pada zamannya tumbuh dan berkembang. Keadaan sosial ini sangat hamper tidak mungkin untuk dihindari. 

Murid-murid sekarang, kebanyakan merupakan generasi Z yang lahir antara tahun 1995-2010 dan generasi Alpha yang mulai lahir pada tahun 2011. Perbedaan sifat dan pola pikir pada generasi Z dan Alpha ini harus menjadi landasan bagi perbedaan pemberian hukuman yang efektif untuk mendisiplinkan mereka. Perbedaan sifat dan pola pikir antar generasi ini harusnya diketahui oleh guru-guru dan semua pihak di sekolah yang kebanyakan merupakan generasi X dengan sifat dan pola pikir yang berbeda.

Pemberian hukuman yang terbilang kelewatan ini sangat tidak mencerminkan sifat memahami generasi sekarang. Ditambah hukuman tersebut mungkin saja melanggar peraturan atau undang-undang yang berlaku dan akan meninggalkan luka psikologis pada siswi yang dihukum. Esensi dari hukuman adalah agar yang dihukum menjadi lebih disiplin ke depannya dan membawa pelajaran baik dari hukuman yang diberikan. Saya rasa, kalau hanya soal tidak menggunakan ciput, teguran dan penyadaran ditambah dengan sedikit hukuman yang bijak, misalnya apabila keesokan harinya masih tidak menggunakan ciput maka siswi harus meresensi buku atau artikel dari internet. 

Guru juga harus memahami keadaan sebenarnya dari siswinya karena bisa saja mereka tidak menggunakan ciput karena tidak memilikinya dan tidak memiliki uang untuk membelinya, atau bisa saja karena mereka lupa menggunakannya karena terlambat ke sekolah. Dari kasus ini, guru harus bijak dalam semua hal berkaitan dengan tugasnya sebagai guru yang menjadi panutan bagi orang lain khususnya muridnya, termasuk dalam hal pemberian hukuman bagi murid-muridnya. 

Hukuman harus membawa kesadaran bagi murid bahwa menaati peraturan adalah untuk kebaikan bersama, menimbulkan perubahan baik bagi murid bahwa ia harus disiplin dalam berbagai hal, dan menimbulkan relasi yang lebih baik antara guru dengan murid dengan cara guru memancarkan kasih sayangnya yang tulus kepada muridnya sampai murid merasa bahwa di sekolah tersebut ia merasa diterima, disayangi dan dikasihi apa adanya. Dengan itu akan terus ada saling memahami antara guru dengan murid sehingga proses pembelajaran bisa berjalan baik dan ada rasa kerukunan antara guru dan murid.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline