"Kalau tidak ada keterangan Richard yang hari ini terdengar, maka, sidang yang saat ini kita saksikan adalah sidang dalam skenario FS (Ferdy Sambo)," kata Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi dalam acara Gaspo Kompas.com yang ditayangkan pada Rabu malam, 8/2/2023.
Ya, seandainya Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu (Bharada E) tidak berani dan tidak membongkar rekayasa skenario Inspektur Jenderal Ferdy Sambo, maka sidang pengadilan yang kita saksikan sekarang adalah persidangan yang hanya mengadili satu terdakwa, yaitu Richard Eliezer sebagai penembak Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J), dalam aksi tembak-menembak di antara keduanya. Sesuai dengan skenario palsu Ferdy Sambo. Bila terjadi, itu adalah peradilan tang teramat sangat ironis dan konyol karena menyidangkan kasus fiktif yang menyembunyikan kejahatan besar di baliknya.
Andai Richard tidak membongkar peristiwa yang sebenarnya itu. Bukan tidak mungkin bahkan tak ada sidang pengadilan. Mengikuti skenario Ferdy Sambo; yang terjadi adalah dari hasil penyelidikan polisi tidak ditemukan unsur pidana dalam peristiwa "tembak-menembak" itu. Karena pelakunya (Richard) hanya membela diri. Kasus ditutup (SP3). Selesai.
Kalau tetap ada sidang pengadilan, maka yang terjadi adalah skenario plan B. Yang menjadi terdakwa hanya Richard. Yang lainya; Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'aruf hanya sebagai saksi. Saksi-saksi yang membenarkan telah terjadi tembak-menembak antara Richard dengan Yosua. Dalam pembelaan dirinya, Richard berhasil menembak mati Yosua. Maka vonis majelis hakim adalah membebaskan Richard. Kasus selesai. Kejahatan besar berhasil disembunyikan.
Tidak ada sidang obstruction of justtice. Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, dan lainnya tak tersentuh hukum. Ferdy Sambo akan meneruskan kariernya sampai ke puncak tertingginya, yang bukan tak mungkin menjadi Kapolri! Betapa mengerikan membayangkan seorang otak pembunuh berencana menjadi Kapolri!
Seperti diketahui atas perannya membongkar skenario jahat Ferdy Sambo, sejak sebelum persidangan kasus pembunuhan berencana terhadap Yosua itu dimulai Richard sudah ditetapkan sebagai justice collaborator (pelaku yang bekerjasama membongkar suatu tindak pidana) oleh LPSK. Berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dengan statusnya itu Richard seharusnya mendapat vonis yang lebih ringan daripada terdakwa lainnya. Dengan statusnya itu Richard Eliezer diadili di PN Jakarta Selatan sebagai pelaku pembunuhan Yosua Hutabarat.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada PN Jakarta Selatan dalam pembacaan tuntutannya mengakui peran Richard sebagai justice collaborator (JC) tersebut. "Terdakwa merupakan saksi pelaku yang bekerja sama untuk membongkar kejahatan ini. ...". Demikian yang dibaca JPU dalam tuntutannya itu.
Tetapi JPU inkonsistensi dengan pengakuannya itu, sebab malah menuntut Richard dengan hukuman yang berat, yaitu 12 tahun penjara. Lebih berat daripada para terdakwa Putri Candrawathi, Ricky Rizal, dan Kuat Ma'aruf.
Bahkan jauh lebih berat daripada Putri Candrawathi yang di dalam tuntutan kepadanya JPU justru menyebut dia ikut berperan bersama suaminya, Ferdy Sambo, merancang pembunuhan tersebut, yang berarti juga bagian dari otak dari pembunuhan berencana tersebut. Tetapi hanya dituntut 8 tahun penjara. Tuntutan terhadap Richard hanya lebih ringan daripada tuntutan terhadap Ferdy Sambo, yang dituntut dengan hukuman penjara seumur hidup.
JPU berdalih tuntutan itu sudah mempertimbangkan peran Richard sebagai saksi pelaku yang membongkar kasus tersebut. Dengan pertimbangan itu, katanya, Richard dituntut lebih ringan daripada seharusnya. Ancaman pembunuhan terhadap pembunuhan berencana adalah maksimal 20 tahun penjara, penjara seumur hidup, atau hukuman mati.