Polemik yang menimbulkan kegaduhan dan berpotensi mengganggu tahapan Pemilu 2019 tentang boleh tidaknya mantan narapidana korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, khususnya antara KPU yang melarang dengan Bawaslu yang membolehkan merupakan suatu ironi.
Ironi karena terkesan kuat yang terjadi adalah pembelaan Bawaslu terhadap segelintir mantan napi itu dengan mengatasnamakan hak mereka untuk dipilih, tetapi mengabaikan hak 250 juta rakyat Indonesia untuk memperoleh wakilnya yang berintgeritas tinggi.
Sampai hari ini (Kamis, 6/9/2018), Bawaslu telah mengabulkan gugatan 16 orang mantan napi korupsi, mengubah status mereka dari tidak memenuhi syarat menurit KPU menjadi memenuhi syarat sebagai bakal calan legislatif.
Bawaslu Mengabaikan Pakta Integritas Parpol
Seharusnya polemik tersebut sudah berakhir dengan keputusan Menteri Hukum dan HAM Yasonnah Hamonangan Laoly yang juga semula menentang larangan KPU yang dituangkan di dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2018 itu dengan alasan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu (yang tidak ada ketentuan larangan tersebut), tapi akhirnya "mengalah" dengan alasan demi kelancaran Pemilu 2019, pada 4 Juli 2018 telah menandatangani PKPU tersebut sebagai tanda pengundangannya.
Kesediaan Menkumham menandatangani PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD itu setelah diambil jalan tengah berupa kesepakatan antara KPU, Menkumham, dan Bawaslu, disaksikan oleh beberapa pakar politik.
Kesepakatan itu adalah untuk mengrevisi ketentuan yang dianggap Menkumham bertentangan dengan Undang-Undang Pemilu, maka ketentuan tentang salah satu syarat bakal calon anggota legislatif yang tercantum di Pasal 7 huruf h PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tersebut, yang berbunyi:
h. bukan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi,
Dihapus, sebagai gantinya, ditambahkan ketentuan tentang kewajiban pimpinan parpol untuk menandatangani pakta integritas yang isinya suatu komitmen parpol untuk tidak akan mengajukan kadernya yang mantan napi bandar narkoba, kejahatan seksual pada anak, atau korupsi.
Ketentuan tentang pakta integritas tersebut ditambahkan pada Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 6 ayat 1 huruf e.
Semua parpol telah menandatangani dan menyerahkan kepada Bawaslu pakta integritas itu. Seharusnya dengan demikian Bawaslu berpedoman kepada pakta integritas tersebut ketika para mantan napi koruptor ramai-ramai menggugat KPU kepada mereka.