Lihat ke Halaman Asli

Daniel H.T.

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Lewat Verifikasi Faktual, Calon Perseorangan di Pilkada Akan Diganjal

Diperbarui: 4 Juni 2016   15:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ahok, yang telah memutuskan akan maju lewat jalur perseorangan di pilkada DKI Jakarta 2017 (sumber gambar: Okezone.com)

Setelah gagal mempersulit calon perseorangan dengan cara menaikkan batas minimal dukungan pasangan calon (karena kuatnya penolakan dari publik), ternyata “diam-diam” DPR mengggunakan cara lain yang luput dari perhatian publik, sehingga lolos menjadi bagian dari ketentuan RUU Pilkada 2016 yang telah disetujui DPR untuk diundangkan, pada 2 Juni 2016.

Cara tersebut adalah dengan menetapkan metode sensus pada tahapan verifikasi faktual pendukung pasangan calon: Panitia Pemungutan Suara (PPS) menemui satu per satu pendukung sesuai dengan data yang tercantum pada KTP dukungan yang sudah dikumpulkan sebelumnya. PPS wajib bertemu langsung dengan setiap pendukung  untuk dilakukan verifikasi faktual tersebut.

Jika saat mendatangi alamat pendukung, PPS tidak berhasil bertemu langsung dengan pendukung itu, maka pihak pasangan calon wajib menghadirkan pendukung bersangkutan dalam tempo 3 hari di kantor PPS. Apabila sampai lewat batas waktu tersebut, pendukung dimaksud belum hadir, maka secara otomatis dokumen dukungannya dinyatakan gugur (Pasal 48 UU Pilkada 2016).

Ketentuan tentang verfikasi faktual dengan metode sensus ini jelas sengaja dibuat untuk membuat pelaksanaan verifikasi tersebut menjadi njlimet, merepotkan, membuat kerja calon perseorangan dan tim suksesnya menjadi semakin berat, dengan harapan akhirnya bisa mengganjal calon persorangan tersebut.

Sebagai contoh, jika pasangan calon berhasil mengumpulkan 1 juta KTP dukungan – seperti pada pasangan Ahok-Heru, maka PPS harus melakukan verifikasi faktual itu dengan cara menemui secara langsung muka dengan muka satu per satu dari 1 juta pendukung tersebut di alamatnya masing-masing sesuai dengan data di KTP-nya.

Hal ini tentu akan memakan waktu yang relatif lama dan memakan biaya yang besar. Padahal KPU telah bertekad untuk meminimalkan biaya pilkada sekecil mungkin.

Padahal, sangat mungkin, saat PPS mendatangi tempat tinggalnya, si pendukung calon perseorangan itu sedang tidak berada di tempat tinggalnya,  karena sedang kerja, sekolah, atau kuliah.

Kemungkinan lain adalah tempat tinggal sebenarnya/terkini dari yang bersangkutan tidak sama dengan domisili yang tercantum di KTP, meskipun masih di dalam wilayah DKI Jakarta. Misalnya, karena pindah alamat (sedangkan KTP-nya masih alamat yang lama), atau memilih tempat tinggal di dekat tempat kerja, atau kuliah.

Hal-hal kecil pun bisa membuat saat PPS mendatangi tempat tinggal si pendukung, ia kebetulan sedang tak berada di rumahnya, misalnya, sedang pergi berbelanja, menjemput anaknya di sekolah, dan lain-lain.

Masa, iya, “hanya” demi bisa ditemui PPS di rumahnya, maka para pendukung calon perseorangan itu dianjurkan untuk minta izin tidak masuk kerja, sekolah, dan kuliah?

Bahkan bukan tak mungkin, ada saja petugas-petugas PPS yang dengan sengaja tidak menjalankan tugasnya dengan  baik, yaitu dengan sengaja tidak berusaha menemui para pemilik KTP dukungan itu, entah karena malas (tidak punya tanggung jawab), karena pertimbangan politiknya sendiri, atau karena dibayar oleh lawan-lawan pasangan calon perseorangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline