[caption caption="(Sumber: Metrotvnews.com)"][/caption] Pada Januari 2015 lalu, DPRD DKI pernah dimarahi Ahok gara-gara mereka mengajukan anggaran abal-abal dengan jumlahyang sangat fantasis. Mata-mata anggaran itu dinamakan: “Peningkatan Pemahaman SK Gubernur 168 tentang RT dan RW Kecamatan ...” (ditulis nama kecamatannya). Tiap kecamatan biaya pemahamannya (sosialisasi) ditulis sebesar rata-rata Rp. 100 juta, totalnya Rp. 8,8 triliun!
Padahal apa sih yang mau disosialisasi dari sebuah SK Gubernur? Kan tinggal dikirim ke tiap-tiap kepala kecamatan untuk melaksanakan isi SK Gubernur itu, masa sih mereka tidak bisa baca dan mengerti sendiri? Anggaran untuk itu nyaris nol, tetapi di tangan DPRD DKI bisa bernilai Rp. 8,8 triliun! Apakah tidak luar biasa gila itu namanya?
Tapi itulah yang dinamanya sudah kebiasaan, sulit dihilangkan. Sebelum-sebelumnya itulah juga yang diduga sudah merupakan sesuatu yanglumrah dalam hubungan antara legislatif dengan eksekutif di Provinsi DKI Jakarta: DPRD-nya “berkreasi” menciptakan berbagai mata anggaran dan proyek abal-abal dengan nilai-nilai yang di-mark-up secara fantastis, yang untuk apa lagi, kalau bukan untuk dijadikan sumber korupsi?
Sedangkan gubernurnya biasanya tidak mau ambil pusing, dengan prinsip “tst” – “tau sama tau”, atau “pura-pura tidak tau”, saling mengerti, saling memahami, asalkan tidak saling mengganggu, agar semuanya bisa lancar, sama-sama bisa aman, selamat, kaya, dan sejahtera hidupnya, maka gubernurnya pun tinggal tanda tangan sebagai tanda persetujuannya, dan mengalirkan anggaran negara untuk proyek-proyek abal-abal seperti itu.
Waktu Jokowi menjadi Gubernur, hal tersebut belum sempat dijadikan salah satu fokus utama, karena masih terlalu sibuk untuk membenahi birokrat Pemprov DKI Jakarta yang rusak parah ditinggal si Foke, gubernur sebelum dia.
Namun, Jokowi pernah mengakui adanya modus DPRD DKI seperti itu dengan sebutan “pokir,” pokok pikiran anggota Dewan.”
"Coba ditanyakan, ada yang namanya pokir tidak? Saya juga dengar tapi belum sampai ke dalam karena kami saat itu (saat masih Gubernur DKI) kelibas kerja terus," tutur Presiden Jokowi, di Jakarta, 28 Februari 2015.
Jokowi lalu meninggalkan Balai Kota, pindah ke Istana Negara. Gubernur-nya pun diganti dengan Ahok.
Sejak itulah para anggota DPRD DKI menjadi “merana” hidupnya karena sumber korupsinya dari anggaran Pemprov DKI Jakarta itu, satu per satu ditutup pintunya oleh Ahok. Makan lobster pun semakin jarang sekali, atau tak pernah lagi, padahal itulah salah satu makanan favorit Mohammad Taufik, Wakil Ketua DPRD DKI, yang juga Ketua Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI.
Kalau gubernur-gubernur sebelumnya akan dengan mudah menulis disposisi untuk menyetujui anggaran seperti itu, tidak demikian dengan Ahok. Begitu melihat daftar pengajuan anggaran “pemahaman SK Gubernur” itu, Ahok pun langsung berang, diambilnya penanya menulis disposisi yang lain daripada yang lain, yang membuat wajah Taufik dan kawan-kawan merah seperti lobster rebus:
“Pemahaman nenek lu!”
[caption caption="(Sumber: detik.com)"]
[/caption]