[caption caption="Kompasiana pun menyambut Gerhana Matahari Total"][/caption]
Sungguh berbeda 180 derajat sambutan masyarakat dan pemerintah terhadap akan datangnya fenomena alam yang sangat luar biasa itu, Gerhana Matahari Total (GMT), Rabu besok , 9 Maret 2016, dengan ketika fenomena alam yang sama terjadi di 11 Juni 1983, 33 tahun lalu.
Menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN), GMT yang akan terjadi pada 9 Maret 2016, mulai pukul 6 pagi WIB itu, akan melintasi 11 wilayah Indonesia, yakni Palembang (Sumatera Selatan), Bangka Belitung, Sampit dan Palangkaraya (Kalimantan Tengah), Balikpapan (Kalimantan Timur), Palu, Poso, Luwuk (Sulawesi Tengah), Ternate dan Halmahera (Maluku Utara), Sulawesi Barat, Bengkulu, Jambi, Kalimantan Barat. Yang paling lama GMT-nya adalah di kota Maba, Halmahera Timur, durasinya 3 menit dan 17 detik.
Sambutan gegap gempita terhadap datangnya GMT kali ini benar-benar meriah, seratusan ribu turis asing berbaur dengan wisatawan lokal sudah datang ke daerah-daerah di lokasi-lokasi lintasan GMT itu, sejak sekitar 10 hari lalu. Hotel-hotel dan losmen-losmen sudah penuh di kota-kota di 11 wilayah itu. Sebagianturis asing yang tidak mendapat kamar hotel, atau memang sengaja, sudah membuka kemah-kemah untuk menginap di lokasi-lokasi di perbukitan yang dianggap paling strategis untuk melihat GMT. Semua peralatan untuk itu pun sudah dipersiapkan, teropong, kacamata khusus, dan lain-lain.
[caption caption="(Jawa Pos)"]
[/caption]
Media massa, baik cetak, elektronika, maupun media internet pun menyambutnya dengan menempatkan berbagai berita, cerita, dan ilmu pengetahuan populer tentang GMT ini di halaman utamanya, tak terkecuali dengan Kompasiana yang memilih thema GMT sebagai salah satu “Topik Utama”-nya.
Salah satu bahasan ringan seputar GMT yang dibahas juga adalah mitos-mitos dan takhayul-takhayul purba tentang GMT dari berbagai daerah di Indonesia. Pada intinya takhayul-takhayul itu percaya bahwa pada saat GMT terjadi ada makhluk raksasa, seperti seekor naga raksasa, yang menelan matahari, atau itu sebagai akibat dari pertempuran antara matahari dengan bulan. Agar matahari kembali, maka semua orang harus memukul apa saja untuk membuat suara gaduh, dengan demikian matahari akan dimuntahkan kembali sang naga, atau pertempuran matahari dengan bulan itu dihentikan, maka matahari pun muncul kembali.
Di beberapa daerah bahkan percaya saat GMT orang-orang tertentu tidak boleh keluar rumah. Misalnya di Banten, masyarakat yang masih percaya takhayul percaya, saat GMT, perempuan hamil harus bersembunyi di bawah kasur, sebab, cahaya jahat yang muncul bisa mengakibatkan kulit bayinya belang-belang.
Di Palembang, takhayaul mempercayai, nagalah yang memakan matahari. Biasanya, orang Tionghoa di sana akan membunyikan petasan atau membikin suara gaduh lain untuk mengusir naga itu. Demi keselamatannya, anak-anak dilarang keluar rumah.
Kepercayaan-kepercayaan takhyul dan mitos seperti itu tentu saja membuat kita yang mengetahuinya hanya tersenyum saja. Tetapi rupanya, tidak demikian dengan 33 tahun lalu, saat GMT juga melintasi sebagian wilayah di Indonesia. Ketika itu GMT melintasi wilayah di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Papua bagian Selatan.
Di saat itu, pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto lagi kuat-kuatnya, apapun perintah yang keluar dari mulutnya harus dipatuhi oleh rakyatnya, termasuk yang tidak masuk akal sekali pun, seperti di saat GMT 1983 itu.