Lihat ke Halaman Asli

Daniel H.T.

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Keselamatan Penerbangan: Ketika Bandara Torea, Fakfak, Tanpa Mobil Pemadam Kebakaran

Diperbarui: 18 Agustus 2015   22:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Suami saya bekerja di Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pegunungan Bintang. Dalam perjalanan ke Oksibil, ia menggunakan tiket milik Ketua DPRD Petrus Tekege di kursi nomor 37. Sementara Petrus telah berangkat terlebih dahulu pada pagi hari."

Demikain penuturan dari Ona Mustamu sambil berlinang airmatanya tentang suaminya, John Baltasar Gasper yang menjadi salah satu korban tewas jatuhnya pesawat ATR 42 milik Trigana Air di Pegunungan Bintang, sekitar wilayah Oksibil, Papua, pada Minggu, 16 Agustus lalu. Ona mengungkapkan, sebenarnya John akan berangkat ke Oksibil Senin ini (17/08/2015). Namun, John berangkat lebih cepat sehari karena harus mengurus sejumlah persiapan perayaan 17 Agustus di Oksibil (Harian Kompas, Selasa, 18/08/2015).

Penuturan Ona Mustamu tersebut membuktikan kebenaran dari informasi bahwa ada beberapa nama korban jatuhnya pesawat Trigana Air rute Sentani, Jayapura – Oksibil itu yang tidak sesuai dengan manifes pesawat. Yang tercantum di manifes nama orang-orang yang berbeda dengan nama para penumpang yang sebenarnya yang menjadi korban jatuhnya pesawat tersebut.

Fakta tersebut sekaligus menunjukkan betapa diabaikan pentingnya data-data akurat dalam penerbangan di Papua. Hal yang sebenarnya banyak juga terjadi di wilayah Indonesia lain, terutama di bandara-bandara kecil, apalagi di daerah pedalaman, seperti di Papua.

Adalah hal biasa pula dalam penerbangan pesawat di bandara-bandara kecil di Papua, tidak ada pemeriksaan identitas para penumpang yang dicocokkan dengan nama yang tercantum di tiket, sebelum naik pesawat. Jadi, sangat mudah setiap orang bisa naik pesawat dengan tiket atas nama orang lain. Itulah yang juga terjadi pada penerbangan Trigana Air yang mengalami musibah tersebut. Salah satunya adalah John Baltasar Gasper yang naik pesawat itu dengan memakai tiket Petrus Tekege.

Perilaku ketidakdisplinan di sistem penerbangan ini membawa dampak serius pada pelaksanaan sistem keselamatan penerbangan di bandara-bandara di Papua, yang seolah-olah dianggap tidak terlalu penting.

Saya pernah menceritakan di Kompasiana (06/11/2011) kejadian di Bandara Torea, Fakfak, Papua Barat, tentang nyaris terjadi kecelakaan pesawat terbang jenis ATR 72-500 milik Wings Air, pada 5 November 2011. Kebetulan saat itu seorang saudara perempuan saya menjadi salah satu penumpangnya. Dia yang menceritakan kisah yang nyaris membuatnya lemas dan pingsan itu kepada saya.

Ketika itu pesawat ditumpanginya itu sudah mau mendarat, roda sudah keluar, jarak dengan lapangan sudah sangat dekat, tetapi tiba-tiba dengan terasa dipaksakan pesawat itu dinaikkan kembali pilotnya. Posisi pesawat yang tiba-tiba dinaikkan kembali dengan suara mesin yang menderu-deru berat dan getaran di dalam pesawat yang keras membuat wajah semua penumpang dan pramugari mendadak pucat. Pikiran bahwa pesawat akan jatuh pun hinggap di setiap penumpang dengan perasaan ngeri.

Untungnya pilot pesawat itu cukup piawai membuat posisi pesawat kembali ke ketinggian normal, sebelum akhirnya berhasil melakukan pendaratan kembali dengan sempurna.

Ternyata, yang membuat pesawat itu terpaksa dinaikkan kembali itu adalah karena saat pesawat sudah hampir menyentuh landasan, di depannya ada sebuah mobil dinas petugas bandara yang masuk dan melintas lapangan itu!

Para penjemput di bandara kecil itu melihat langsung pemandangan yang menakutkankan saat jarak badan pesawat yang begitu dekat dengan mobil itu, banyak yang sampai berteriak histeris, mengira kecelakaan segera terjadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline