Lihat ke Halaman Asli

Daniel H.T.

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Kerusuhan di Tolikara, Bercermin pada Konsep "Satu Tungku Tiga Batu" di Fakfak

Diperbarui: 25 Juli 2015   17:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Koran Jawa Pos edisi Rabu, 15 Juli 2015 menurunkan sebuah artikel berjudul “Fakfak, Kota Tertua Sekaligus Paling Damai di Papua: Berkaca dari Konsep Satu Tungku Tiga Batu” oleh Kardono Setyorakhmadi, tentang konsep toleransi beragama yang sudah berusia ratusan tahun yang sangat unik bahkan terbilang radikal di Fakfak, Papua Barat.

Dua hari kemudian, Jumat, 17 Juli 2015, tepat di Hari Raya Idul Fitri, pecah kerusuhan sosial bernuansa agama di Kabupaten Tolikara, Papua. Akibat dari kesalapahaman antara umat dari Gereja Injili di Indonesia (GIDI) dengan umat Islam yang sedang menjalani sholat Ied, dan tindakan aparat yang represif, dan adanya provokator dari kalangan GIDI, meletuslah kerusuhan itu. Massa lalu membakar kios-kios yang ada di dekat itu, api langsung melalap enam puluhan kios merambat sampai membakar juga sebuah mushala. Isu kerusuhan bernuansa agama pun mulai merebak sampai ke seluruh Indonesia.

Pemerintah, TNI dan Polri bersama para pemuka agama di Tolikara, dan di Ibukota segera bereaksi cepat, dengan melakukan langkah-lagkah hukum dan persuasif untuk meredam isu tersebut. Polisi juga sudah maju dalam melakukan tindakan penyelidikan dengan hasil sementara berhasil menemukan dan menetapkan dua tersangka provokatornya yang berasal dari kalangan GIDI. Sehingga kerusuhan tersebut tidak berhasil dimanfaatkan oleh para provokator untuk meledakkan kerusuhan yang lebih luas dan besar lagi di wilayah Indonesia lainnya. Semoga memang demikian untuk selamanya, karena masyarakat kita kini semakin banyak yang berwawasan luas dan berpikiran maju.

Masyarakat yang berwawasan luas dan terbiasa hidup dalam alam demokrasi akan semakin terbiasa hidup dalam bertoleransi satu terhadap yang lainnya, termasuk di dalamnya menjalani kehidupan sehari-hari dengan sesamanya yang berbeda agama dan keyakinan.

Terjadinya kerusuhan sosial di Tolikara, yang diikuti dengan isu sentimen agama dan adanya indikasi mulai bergeraknya para provokator kerusuhan yang kemudian diredam oleh pemerintah, Polri, TNI, dan para pemuka agama itu, menjadikan semakin relevan untuk berbicara lagi tentang konsep toleransi beragama di Fakfak yang terkenal dengan sebutan “Satu Tungku Tiga Batu” sebagaimana dimuat di artikel di koran Jawa Pos tersebut di atas.

Konsep ini sudah cukup banyak kali ditulis di berbagai media, termasuk di Kompasiana. Koran Jawa Pos di edisi 15 Juli 2015 yang saya sebutkan di awal artikel ini kembali menurunkan artikel dengan thema yang sama, dua hari kemudian pecah kerusuhan sosial di Tolikara itu. Apabila kehidupan masyarakat di sana sudah lama seperti di Fakfak, mungkin saja kejadian buruk itu tidak bakal terjadi.

Umumnya yang paling dikhawatirkan itu adalah pendatang-pendatang dari luar, terutama dari Jawa yang berupaya meracuni dan merusak kehidupan sosial dan beragama dengan konsep “satu tungku tiga batu” itu. Apa yang dikhawatirkan itu bukan tidak pernah terjadi, tetapi syukurlah mereka selalu gagal, karena sudah sedemikin berakar dan tingginya kehidupan toleransi beragama di Fakfak itu.

Saya sendiri pernah mendengar di waktu kerusuhan berdarah di Maluku, ada sekelompok orang dari Laskar Jihad yang hendak masuk ke Fakfak dengan menggunakan kapal penumpang, tetapi aparat dan masyarakat Fakfak sudah menciumnya terlebih dahulu. Sehingga ketika kapal merapat di pelabuhan Fakfak, para Laskar Jihad itu dilarang turun, disuruh kembali ke tempat asalnya.

Kejadian inilah yang mungkin yang dimaksud oleh seorang wernemen (wakil kepala kampung) yang juga tokoh adat Fakfak yang beragama Islam, Achmad Hindom, saat diwawancarai Jawa Pos pasca kerusuhan di Tolikara dihubungkan dengan konsep “satu tungku tiga batu” di Fakfak .

Achmad Hindom mengatakan, prinsip “satu tungku tiga batu” di Fakfak adalah harga mati. “Pernah waktu zaman kerusuhan Maluku, ada yang coba-coba provokasi di sini. Tapi tidak berhasil,” katanya kepada Jawa Pos.

Kardono Setyorakhmadi, wartawan Jawa Pos yang secara khusus datang ke Fakfak mendalami kehidupan antaragama di Fakfak menulis di artikelnya bahwa Fakfak sungguh layak dikandidatkan sebagai kota terbaik se-Indonesia dalam kehidupan toleransi beragamanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline