Lihat ke Halaman Asli

Daniel H.T.

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

HMP kepada Ahok Hampir Pasti Gagal, Para BSH Semakin Sakit Hatinya

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14291204731678246759

[caption id="attachment_361032" align="aligncenter" width="546" caption="KOMPAS.com/SABRINA ASRIL Presiden Joko Widodo melakukan mediasi antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dan Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi di Istana Merdeka, Selasa (14/4/2015). (Kompas.com)"][/caption]

Para “anggota” Barisan Sakit Hati (BSH) terhadap Ahok, termasuk yang di Kompasiana ini, tentu bertambah sakit hatinya ketika mengetahui kabar bahwa fraksi terbesar di DPRD DKI Jakarta, PDIP, baru-baru ini telah memastikan tidak akan menggunakan hak menyatakan pendapat (HMP) kepada Gubernur DKI Jakarta itu. Lebih-lebih dari “anggota BSH” yang sekaligus paling membenci “dwi tunggal” Jokowi dan Ahok,  karena pemrakarsa agar PDIP tidak menggunakan HMP datang justru dari Jokowi dalam kedudukannya sebagai Presiden RI. Padahal sebelumnya, “anggota BSH” golongan ini sudah semakin sakit hatinya ketika Jokowi begitu dibencinya justru menjadi RI-1, dan Ahok yang juga tak kalah atau bahkan lebih dibencinya justru menjadi DKI-1.

Seperti yang sudah diketahui berkat mediasi dari Presiden Jokowi, yang pada Selasa, 14 April lalu telah memanggil Ahok dan Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi ke Istana Negara. Di sana mereka bertiga telah melakukan pembicaraan tertututp sekitar 1,5 jam. Setelah itu mereka bersama-sama mengadakan konferensi pers untuk mengumumkan hasil pembicaraan tersebut, yang pada intinya adalah telah terjadi semacam kesepakatan perdamaian antara Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan Prasetyo yang mewakili fraksi PDIP. Dan, yang lebih penting lagi Prasetio juga menyatakan Draksi PDIP tidak akan menggunakan HMP kepada Ahok, meskipun dengan harapan agar Ahok memperbaiki gaya komunikasinya dengan DPRD DKI. Ahok pun memberi isyarat untuk memenuhi harapan Prasetyo tersebut.

Semuanya itu tentu berkat kesuksesan Jokowi dalam menjalankan perannya sebagai mediator antara keduabelah pihak. Apa yang dilakukan Jokowi sampai bisa membuat Prasetyo atas nama PDIP menyatakan tidak menggunakan HMP kepada Ahok itu besar kemungkinan tak lepas dari peran Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri pula. Karena rasanya tak mungkin pengaruh Jokowi bisa sedemikian kuat sehingga sanggup “memaksa” Prasetyo setuju untuk fraksinya di DPRD DKI tidak menggunakan HMP tersebut.

Bukan tak mungkin mediasi tersebut juga diadakan atas kehendak Megawati sendiri. Karena sebelumnya ada kabar yang mengatakan bahwa Megawati menjadi tidak senang dengan sikap Ahok yang terlalu berani (kasar) berkaitan dengan APBD 2015 DKI terhadap Kemendagri yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, yang nota bene adalah mantan Sekjen PDIP. Sementara itu hubungan pribadi Megawati dengan Ahok selama ini juga terbilang sangat baik. Oleh karena itu diduga Megawati-lah yang meminta Jokowi agar mau memediasi Ahok dengan Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi yang juga adalah kader PDIP itu, agar semua kekisruhan yang berlarut-larut yang dapat merusak hubungan baik mereka semua selama ini, yang berdampak buruk juga pada pembangunan DKI Jakarta itu bisa segera diakhiri dengan baik.

Seperti biasa, diplomasi khas Jokowi dalam menyelesaikan persoalan tersebut pun berakhir manis dengan terjadinya kesepakatan perdamaian antara Ahok dengan Prasetyo Edi Marsudi yang mewakili Fraksi PDIP itu.

Diplomasi dan mediasi ala Jokowi itu digambarkan secara singkat oleh Kompas.com sebagai berikut:

Pembicaraan dilakukan dengan santai untuk meredam panasnya konflik yang ada. Jokowi mengajak Ahok dan Prasetio berbicara di atas sofa empuk warna abu-abu yang ada di teras Istana Merdeka. Sofa ini merupakan furnitur baru yang ditempatkan oleh staf istana beberapa waktu lalu.

Menghadap ke arah taman tengah istana yang dihiasi pohon-pohon trembesi nan rimbun, sofa ini tampaknya menjadi favorit Jokowi kala dia ingin berbicara serius tetapi santai dengan menteri maupun pejabat lembaga negara di sana.

Ditemani teh dan kopi, Jokowi, Ahok, dan Prasetio berbincang selama 1,5 jam. Pembicaraan ini tidak bisa diliput oleh media massa. Namun, seetelah 1,5 jam berlalu, media diminta mendekat ke Istana Merdeka lantaran ketiganya ingin menggelar jumpa pers.

Tentu saja, siapa pun yang benar-benar secara obyektif mengharapkan kebaikan bagi rakyat dan pembangunan DKI Jakarta menyambut gembira hasil mediasi tersebut. Sebaliknya, bagimereka yang selama ini hanya fokus berdasarkan kebencian subyektif kepada Ahok, pasti sangat tidak senang dengan perdamaian tersebut, lebih-lebih dengan keputusan PDIP yang tidak akan menggunakan HMP kepada Ahok itu. Padahal sebelumnya mereka (para BSH) sudah sangat senang dan optimis HMP kepada Ahok akan berlangsung lancar dengan ujungnya pemakzulan kepada Ahok. Tak perduli pertarungan itu harus berlangsung seberapa lama dan apa pun dampaknya bagi rakyat DKI jakarta, yang penting Ahok harus disingkirikan.

Hal pertama yang akan dinyatakan kelompok ini adalah pasti mencari-cari kesalahan kepada Ahok juga. Ahok akan dituding macam-macam, seperti yang dinyatakan oleh Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta dari Fraksi Gerindra M Taufik, yang memang  adalah salah satu dari dua pentolan utama di DPRD DKI yang paling berkepentingan atas pemakzulan Ahok dari kursi DKI-1, selain Haji Lulung.

Taufik mengatakan ia yakin Ahok-lah yang meminta bantuan Jokowi untuk menyelamatkan dirinya dari kemungkinan dimakzulkan DPRD DKI dengan cara meminta diadakan mediasi tersebut. Menurut Taufik, Ahok takut dimakzulkan, lalu meminta bantuan Jokowi menyelamatkannya.

"Saya yakin Ahok yang minta pertemuan itu," ujarnya.

"Ketinggianlah (minta tolong ke presiden). Tapi kemarin pertemuan Ahok, Jokowi dan Prasetio (Ketua DPRD DKI) adalah pertemuan kawan. Jadi bukan sikap resmi partai," katanya, Rabu, 15/04/2015 (RMOLJ.com).

Secara logika tudingan Taufik itu kecil sekali kemungkinannya. Lebih mungkin jika Megawati-lah yang meminta Jokowi untuk mengadakan mediasi tersebut demi kebaikan mereka semua (Ahok dengan PDIP, dan demi kebaikan rakyat DKI Jakarta), seperti yang sudah saya uraikan di atas.

Kalau hanya mengandalakn Jokowi, pengaruh Jokowi terhadap PDIP tentu belum terlalu besar sehingga mampu mendorong Prasetyo setuju untuk berdamai dengan Ahok, serta membatalkan kehendak PDIP ikut mendukung HMP di DPRD DKI Jakarta.

**

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) Pasal 336 Ayat 1 huruf b disebutkan, hak menyatakan pendapat diusulkan oleh minimal 20 anggota DPRD yang berasal minimal dari dua fraksi.

Dalam hal ini HMP kepada Ahok itu  sudah bisa diajukan karena Gerindra dengan 15 anggota dan PPP dengan 10 anggotanya sudah cukup memenuhi syarat tersebut.

Usul untuk menyelenggarakan HMP itu harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna yang dihadiri paling sedikit 3/4 dari jumlah anggota DPRD provinsi, dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 dari jumlah anggota DPRD provinsi yang hadir.

Dengan sikap PDIP menolak menggunakan HMP kepada Ahok itu, maka hampir dapat dipastikan upaya HMP oleh lawan-lawan politik Ahok di DPRD DKI itu akan gagal di tengah jalan.

Sekarang sudah dapat dipastikan, PDIP dengan 28 anggotanya, PKB dengan 6 anggotanya, Nasdem dengan 5 anggotanya, dan PAN dengan 2 anggotanya; total 41 anggota sudah memastikan menolak HMP terhadap Ahok.  Belum lagi ditambah dengan Hanura dengan 10 anggotanya dan PKS dengan 11 anggotanya, yang cenderung akan mengikuti keputusan PDIP tersebut, sehingga jumlah yang menolak bisa mencapai 62 anggota menolak.

Sedangkan yang sudah memastikan terus mendukung HMP adalah Gerindra (15 anggota), PPP (10 anggota), Demokrat (10 anggota), dan Golkar (9 anggota); total 44 anggota.

Dengan komposisi ini sudah pasti syarat minimal ¾ dari jumlah anggota DPRD yang 106 anggota itu harus hadir, serta paling sedikit 2/3 dari 106 anggota itu harus setuju, tidak mungkin bisa terpenuhi.

Jika 41 anggota (PDIP, PKB, Nasdem, dan PAN) sengaja tidak hadir di rapat paripurna itu saja, maka syarat minimal ¾ anggota harus hadir itu tak terpenuhi, apalagi jika ditambah 21 anggota dari PKS dan Hanura.

**

Maka, hampir dapat dipastikan bahwa satu harapan besar dari para BSH agar Ahok benar-benar akhirnya dimakzulkan dari kursi Gubernur DKI Jakarta itu pun sirnahlah sudah.

Tinggal satu lagi harapan besar yang mereka masih harapkan bisa menjatuhkan salah satu orang yang paling dibenci sedunia itu, yakni kasus izin reklamasi pantai utara Jakarta yang diberikan Gubernur Ahok kepada PT Muara Wisesa Samudera, anak perusahaan grup Agung Podomoro Land.

Melalui Keputusan Gubernur Nomor 2238 Tahun 2014 yang diteken Ahok, Muara Wisesa Samudera diizinkan untuk menggeruk laut seluas 161 hektare dan mencakup 17 pulau di Pantai Muara Karang, Pluit, Jakarta Utara. Keputusan Gubernur Ahok inilah yang kini dipersoalkan dan digugat oleh LSM yang menamakan dirinya Jakarta Monitoring Network ke PTUN. Ahok digugat telah melampui wewenangnya, bahkan telah melakukan penyalahgunaan wewenangnya sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan menerbitkan Surat Keputusan Gubernur itu, karena katanya, izin reklamasi itu merupakan wewenang Kementerian Kelautan dan Perikanan yang dipimpin oleh Menteri Susi Pudjiastuti.

Kasus inilah yang kini di-blow-up oleh beberapa “anggota BSH” di Kompasiana, yang berupaya menggiring opini pembaca (menjurus pada fitnah) bahwa Ahok telah melakukan  praktek korupsi dan kolusi dengan pihak grup Agung Podomoro Land.

Padahal kasus tersebut tidaklah “seseram” yang mereka tulis di Kompasiana itu, -- namanya meng-blow-up, apalagi berdasarkan sentimen kebencian subyektif. Hal tersebut akan saya jelaskan di artikel tersendiri nanti.

Jika nanti akhirnya terbukti kasus reklamasi pantai utara Jakarta itu pun menjadi klir, pasti akan bertambah lagi rasa sakit hati para “anggota” Barisan Sakit Hati (BSH) itu, karena untuk kesekian kalinya gagal senang melihat Ahok jatuh.

Semoga saja mereka diberi kekuatan agar nanti tidak sampai mengalami stroke. Untuk itu disarankan sebagai penghibur, penawar rasa sakit hati yang semakin menumpuk itu, mereka disarankan bernyanyi bersama-sama, lagu yang dipopulerkan oleh Cita Citata:  “Sakit Tuh di Sini” . ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline