[caption id="attachment_360668" align="aligncenter" width="600" caption="Ketua Umum PDIP seumur hidup? (Jpnn.com)"][/caption]
Ternyata, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri masih tetap merasa menjadi seorang presiden, meskipun masa dia menjadi Presiden itu sudah lewat 11 tahun yang lalu. Dia bahkan merasa lebih hebat daripada Presiden RI yang sebenarnya, karena, katanya, punya massa kader yang sangat banyak dan semuanya sangat loyal kepadanya.
"Kurang lebih saya ini kayak presiden, lho," kata Mega dalam pidato penutupan Kongres IV PDIP di Bali, Sabtu (11/4/2015).
Dia menjelaskan, punya anak buah atau kader partai hingga tingkat ranting. Dalam tatanan pemerintahan, Mega menyebut ranting lebih banyak dibanding RT.
Bahkan Mega mengklaim seluruh kader dan pengurus hingga tingkat ranting sangat loyal. Tidak hanya itu, mereka juga patuh dengan perintah Mega.
"Kalau saya bilang, satu bergerak, bergerak semua," tegasnya yang disambut tepuk tangan para peserta Kongres (detik.com).
Mega, lupa, setidaknya ada satu kecualinya, yaitu Presiden Jokowi, yang tidak taat kepadanya dalam beberapa hal, antara lain lain tentang pencalonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kapolri yang dikehendaki Mega, tetapi dibatalkan Jokowi, dan pengangkatan salah satu “musuh” Megawati, Luhut Panjaitan sebagai Kepala Staf Kepresidenan oleh Jokowi. Hal yang membuat Megawati marah, dan memicu dia berpidato dengan menyatakan: Semua kader PDIP di legislatif, maupun eksekutif adalah petugas partai danharus taat pada partai, jika tidak mau, keluar!
Obsesi Mega
Pernyataan Megawati bahwa dirinya masih merasa sebagai presiden itu menunjukkan bahwa ternyata sampai sekarang dirinya masih sangat terobsesi untuk menjadi presiden, tetapi apa daya rakyat tak lagi menghendaki. Selain itu biasanya ini juga pertanda dari orang yang mengalami post power sydrome yang berkelanjutan.
Menjelang Pilpres 2014, Megawati sudah menunjukkan hasrat besar dirinya untuk maju lagi sebagai calon presiden, apalagi pesaing utamanya sekaligus musuh yang diabadikannya, SBY, sudah tak mungkin lagi ikut di Pilpres 2014 itu, karena sudah menjabat sebagai presiden sebanyak dua periode.
Misalnya, pada 14 April 2013, di Solo, saat menyampaikan pidato politik deklarasi pemenangan pasangan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko yang diusung PDIP dalam pemilihan kepala daerah Jawa Tengah, Megawati mengatakan, meskipun dia telah sepuh, tetapi tetap masih punya semangat untuk ikut nyapres di pilpres 2014. “Saya memang sudah tua, sudah sepuh,” tapi, kata Mega, untuk urusan semangat, dia siap diadu dengan orang-orang muda. “Untuk semangat boleh bertarung,” ujarnya (Tempo. co).
Tetapi kemudian fakta memaksakan Mega harus berpikiran realistis bahwa Jokowi-lah yang dikehendaki rakyat untuk menjadi presiden, bukan dirinya. Dari berbagai hasil survei pada waktu itu, Jokowi selalu berada di urutan pertama tokoh yang diharapkan menjadi presiden berikutnya menggantikan SBY.
Maka, Mega pun terpaksa merelakan Jokowi-lah yang maju sebagai calon presiden, bukan dirinya. Apalagi pesaingnya saat itu adalah Prabowo Subianto, yang secara survei juga jauh berada di atas Megawati. Jika waktu itu Mega tidak realistis dengan memaksakan dirinya yang tetap maju, maka dapat dipastikan ia akan kalah telak secara memalukan dari Prabowo Subianto.
Tetapi, rupanya hal itu tidak menghilangkan obsesinya untuk menjadi presiden, sampai hari ini! Hal itulah yang terekpresikan lewat pidatonya tersebut di atas. Bahkan, seolah-olah ingin menyatakan kedudukannya itu bisa lebih hebat daripada presiden, Mega mengatakan, semua kadernya loyal kepadanya sampai ke tingkat ranting, dan ranting itu lebih banyak daripada RT di tatanan pemerintahan.
PDIP Juga Harus Berterima Kasih kepada Jokowi
Jika memang benar kehebatan kharisma Mega seperti yang digambarkan itu, seharusnya di pemilu legislatif 2014 yang lalu, PDIP tidak hanya menang dengan perolehan suara hanya 18,95 persen, tetapi jauh di atas itu, minimal mendekati target PDIP yang 36 persen itu. Faktanya, PDIP hanya unggul tipis daripada Partai Golkar (14,75 persen) dan Partai Gerindra (11,81 persen).
Sulit disangkal bahwa yang membuat PDIP berhasil memperoleh jumlah perolehan suara sebesar itu, yang sekaligus menjadikannya sebagai partai pemenang pemilu legislatif 2014 itu adalah karena adanya faktor Jokowi. Seandainya tidak ada Jokowi, hanya ada faktor Megawati, kemungkinan besar perolehan suara PDIP jauh di bawah 18 persen itu, dikalahkan Golkar, bahkan mungkin juga diungguli Gerindra.
Jadi, seharusnya PDIP juga jangan terlalu terus-menerus menuntut Jokowi berterima kasih kepada partainya itu, tetapi partainya itu juga harus berterima kasih kepada Jokowi.
Sesungguhnya, awalnya, sebagaimana saat diajukan sebagai calon walikota Solo, calon gubernur DKI Jakarta, dan calon presiden oleh PDIP/Megawati, yang semuanya berujung pada kemenangan Jokowi itu, Jokowi sendiri tidak punya ambisi pribadi untuk menjadi pejabat-pejabat itu, termasuk presiden.
Saat menerima semua pencalonan dirinya itu hanya ada satu di dalam hati nurani dan tekad Jokowi, yaitu, menerima panggilan tugas partainya untuk diwakafkan menjadi tiga jabatan negara secara berturut-turut itu, terutama sekali saat diajukan sebagai calon presiden. Yang ada di pikiran Jokowi hanyalah memenuhi panggilan tugas dari PDIP untuk dirinya diwakafkan sebagai presiden, sebagai wujud bakti sepenuh hatinya kepada bangsa dan negara, kepada rakyat Indonesia.
Jokowi sendiri pernah mengatakan di saat kampanye Pilpres 2014 itu bahwa ia memang petugas partainya, tetapi itu hanya sebatas sampai di Pilpres, begitu dia jadi Presiden, maka ia berdaulat penuh menjalankan hak prerogatifnya sebagai presiden, meskipun tetap berlandaskan ideologi partainya itu.
Ketika itu, Jokowi mengatakan, petinggi partai (Megawati?) pernah menegaskan kepadanya bahwa pemegang kekuasan sebenarnya adalah rakyat, bukan partai politik. Dengan kata lain, begitu ia dilantik sebagai presiden, maka ia bukan lagi petugas partai, tetapi petugas rakyat.
“Tapi kalau saya sudah menjadi wali kota, gubernur, bahkan nanti pas jadi presiden, ya,partaindakikut-ikutlah!”(Kompas.com).
Partai tentu saja boleh dan seharusnya demikian berperan serta dalam menyumbangkan pemikiran-pemikirannya kepada Presiden, dan sudah sewajarnya juga Presiden memberi kesempatan dan peran penting secara proporsional kepada partainya dan partai-partai pendukungnya itu dalam menjalankan pemerintahannya, tetapi semua otoritas tetap berada di tangan Presiden dengan hak-hak prerogatifnya, bukan lagi partainya. Karena ia bukan lagi petugas partai, yang namanya saja menjadi presiden, tetapi semua kebijakan pemerintahan harus terlebih dulu diketahui atau dibicarakan dengan partainya, apalagi kalau partainyalah yang penentu akhirnya.
Tetapi karena obsesinya menjadi presiden yang tak kesampaian itu pulah yang membuat Mega masih merasakan bahwa Presiden Jokowi itu hanyalah petugas partainya, bawahannya, yang seolah menjadi perpanjangan tangannya saja, menggantikan kedudukannya sebagai presiden. Oleh karena itu semua kebijakan pemerintahan Jokowi harus berkonsultasi dulu dengannya, dengan PDIP. Lewat tangan Jokowi-lah Megawati ingin menyalurkan obsesinya menjadi presiden itu.
Menyingkirkan Kader Potensial Demi Trah Soekarno?
Kalau jabatan presiden Indonesia hanya bisa menjadi obsesi bagi Megawati, tidak demikian dengan kursi ketua umum PDIP. Sejak sebelum kongres IV di Bali itu dimulai sudah dipastikan terlebih dulu bahwa kursi Ketua Umum PDIP tetap harus diduduki oleh Megawati. Di kongres tinggal mengetuk palu, maka resmilah Megawati kntuk yang kelima kalinya menjadi Ketua Umum PDIP, berarti sejak 1993 sampai dengan berakhirnya masa jabatannya yang kelima ini Mega akan menjadi Ketua Umum PDIP selama 27 tahun! Terlama di dalam sejarah partai politik manapun di Indonesia.
Untuk mencegah adanya pihak-pihak di internal partai yang tidak setuju dengan cara penetapan ketua umum seperti itu, dengan meminta mekanisme voting, Mega pagi-pagi sudah menegaskan dalam pidatonya bahwa voting adalah produk impor dari barat, yang tidak cocok untuk Indonesia. Padahal mekanisme pemilu legislatif yang memenangkan PDIP, maupun pemilu presiden pun yang memenangkan kader PDIP (Jokowi) itu sejatinya adalah suatu bentuk voting.
Durasi 27 tahun sebagai ketua umum itu sudah melewati lamanya presiden pertama RI, Soekarno, yang juga ayahnya berkuasa, yaitu selama 21 tahun (1945-1966). Pada 1959 MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, tetapi akibat dari tragedi G30S/PKI, ia diturunkan secara paksa oleh Soeharto melalui MPRS pada 1966.
Durasi itu juga hampir menyamai lamanya Presiden Soeharto berkuasa yang selama 32 tahun itu (1966-1998).
Apakah kini, Mega juga berambisi menjadi Ketua Umum seumur hidup, seperti ayahnya yang diangkat menjadi presiden seumur hidup oleh MPRS itu?
Tampaknya keputusan Megawati untuk tetap menjadi Ketua Umum itu mempunyai tujuan agar PDIP harus tetap diketuai oleh trah Soekarno. Tidak boleh oranglain, sehebat dan sebesar apapun jasanya terhadap PDIP. PDIP akan dibuat menjadi seolah-olah perusahaan keluarga saja.
Karena sampai saat ini, kedua anaknya, Puan Maharani dan Prananda Prabowo belum cukup memenuhi syarat mengantikannya sebagai Ketua Umum PDIP, Mega pun mempersiapkan mereka dengan menempatkan mereka berdua kembali menjadi pengurus partai. Sedangkan kader-kader potensial lainnya yang jauh lebih bersinar daripada kedua anaknya itu justru disingkirikan.
Hal itu sangat terlihat pada Puan Maharani yang dijadikan Ketua Bidang Politik dan Keamanan DPP PDIP, tetapi bersamaan dengan itu langsung dinonaktifkan dengan alasan karena Presiden Jokowi sudah menentukan bahwa semua menterinya harus tidak merangkap jabatan di partai politik manapun. Untuk apa Puan dimasukkan ke dalam pengurus partai, kalau toh, langsung dinonaktifkan? Pasti ini sangat berkaitan erat dengan maksud dan tujuan Megawati untuk mempersiapkannya sebagai penggantinya kelak di tahun 2020.
Demikian juga dengan Prananda Prabowo, yang selama ini namanya nyaris tak terdengar, meskipun kerap sebagai pembuat pidato Mega, diberi jabatan sebagai Ketua Bidang Ekonomi Kreatif. Saat acara ramah-tamah sesama pengurus baru DPP PDIP 2015-2020 itu berlangsung pun Prananda tidak menampakkan diri untuk turut bersama sesama pengurus beramah-tamah.
Sadar bahwa baik Puan, maupun Prananda kalah pamornya dengan beberapa kader PDIP lainnya di luar trah Soekarno, Mega pun memilih untuk menyingkirkan mereka semua dari DPP PDIP. Mega khawatir sekali, jika kader-kadernya itu dimasukkan dalam DPP PDIP itu, maka sinar mereka akan semakin bercahaya mengalahkan kedua anaknya itu.
Padahal prestasi Puan sewaktu menjadi Ketua Fraksi PDIP di DPR-RI 2009-2014 tidak pernah bersinar, ia bahkan gagal total membawa partainya yang notabene sebagai partai pemenang pemilu legislatif 2014 bersama dengan parpol-parpol lainnya di KIH melawan KMP memperebutkan kursi pemimpin DPR, maupun MPR. Semua kursi pemimpin DPR dan ketua-ketua komisi di DPR pun disapu bersih KMP, demikian juga dengan semua kursi pemimpin MPR.
Demikianlah maka salah satu kader yang paling bersinar dan berprestasi selama ini, Maruarar Sirait, putra dari salah satu pendiri PDI(P) sahabat dekat Megawati sendiri, Saban Sirait pun dihapuskan dari susunan pengurus DPP. Dalam periode sebelumnya Maruarar yang biasanya disapa Ara itu menjabat sebagai Ketua DPP Bidang Pemuda dan Olahraga.
Kemungkinan besar Megawati diam-diam sangat khawatir dengan semakin bersinarnya prestasi kader-kader seperti Maruarar di PDIP, yang diperkirakan bisa menenggelamkan pamor anak-anaknya sendiri. Kalau sampai hal itu terjadi, maka kapasitas Puan, maupun Prananda akan dipertanyakan banyak pihak di internal partai kelak. Kalau, kelak, misalnya, Maruarar lebih pantas, kenapa harus Puan atau Prananda yang menjadi Ketua Umum PDIP?
Saat penyusunan kabinetnya, Jokowi juga dikabarkan sudah memilih Maruarar Sirait sebagai Menteri Pemuda dan Olah Raga, bahkan di hari diumumkan nama-nama menteri itu, Minggu. 26 Oktober 2014, Maruarar sudah datang ke Istana lengkap dengan kostum kemeja putih sebagaimana dikenakan para calon menteri lainnya, siap untuk diumumkan namanya oleh Jokowi sebagai Menteri Pemuda dan Olah Raga, tetapi mendadak dibatalkan Jokowi, konon atas perintah Megawati. Jokowi yang merasa sangat tak enak sampai mengantar sendiri Maruarar ke mobilnya saat hendak meninggalkan Istana karena pembatalan tersebut. Sebagai gantinya Mega memilih Imam Nahrawi dari PKB.
Padahal Maruarar adalah salah satu dari anggota tim inti pemenangan capres-cawapres Jokowi-JK di Pilpres 2014 yang paling rajin mendampingi kemana saja Jokowi kampanye keliling Indonesia. Namun, demikian dengan jiwa besarnya Ara tidak pernah terdengar mempersoalkan perlakuan tak adil itu kepadanya.
[caption id="attachment_360820" align="aligncenter" width="504" caption="Maruarar Sirait sebagai salah satu anggota tim inti pemenang capres-cawapres Jokowi-JK yang paling rajin mendampingi Jokowi sepanjang masa kampanyenya keliling Indonesia (Indopos.co.id)"]
[/caption]
Demikian juga dengan nama-nama seperti Jokowi sendiri, dan Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) yang merupakan kader-kader yang reputasinya jauh lebih tinggi daripada Puan, apalagi Prananda, kenapa sama sekali tidak dimasukkan namanya dalam pengurus partai? Kalau alasannya mereka masih menjabat sebagai Presiden dan Gubernur Jawa Tengah, bukankah bisa juga dengan langsung menonaktifkan mereka, seperti yang dilakukan terhadap Puan?
Kader partai berprestasi dan berprospek cemerlang seperti Maruarar malah dibuang, sampai-sampai seolah-olah kehabisan kader berpotensi, Mega pun “terpaksa” justru mengangkat kader-kader yang bermasalah, bahkan mantan terpidana koruptor pun dimasukkan sebagai pengurus DPP, yaitu Rokhmin Danuri, Bambang Dwi Hartono (Bambang D.H.), Idham Samawi, dan Olly Dondokambey.
Rokhmin Dahuri dipercaya menjabat sebagai Ketua Bidang Kemaritiman adalah mantan narapidana kasus korupsi dana non-bujeter sewaktu menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan. Rokhmin pernah divonis tujuh tahun penjara, kemudian berkurang menjadi 4,5 tahun seusai mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
Mantan Walikota Surabaya Bambang D.H. yang menjadi Ketua Bidang Pemenangan Pemilu DPP PDIP, merupakan tersangka kasus korupsi dana Jasa Pungut senilai Rp 720 juta. Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jatim sejak November 2013.
Idham Samawi yang diduga melakukan tindak pidana korupsi dalam dana hibah Persiba Bantul senilai Rp. 12,5 miliar malah menjadi Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPP PDI-P.
Dan, Olly Dondokambey dalam kepengurusan PDI-P sebagai bendahara umum. Padahal namanya juga kerap disebut-sebut dalam kasus korupsi Hambalang.
Kenapa justru kader berprestasi dibuang, yang diambil justru kader-kader bermasalah seperti ini?
Ada pameo yang mengatakan, jika anda ingin kelihatan ganteng atau cantik, maka berbaurlah dengan orang-orang yang jelek, maka pasti anda akan kelihatan ganteng atau cantik. *****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H