Lihat ke Halaman Asli

Daniel H.T.

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Bukan Lebih Bodoh daripada Keledai, tetapi Lebih Jahat daripada Serigala Berbulu Domba

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13838990701043404931

[caption id="attachment_276739" align="aligncenter" width="717" caption="(Harian Kompas, Kamis, 07/11/2013)"][/caption]

“Keledai pun tak akan mau terperosok ke dalam lubang yang sama sampai dua kali!” Itulah peribahasa yang cukup sering kita dengar untuk menggambarkan tidak ada orang normal yang mau melakukan kesalahan yang sama sampai dua kali, kecuali dia lebih bodoh daripada keledai.

Namun, di dalam kenyataannya di Indonesia malah cukup sering terjadi pemerintah melakukan kesalahan yang sama bahkan lebih dari dua kali dalam kenjalankan suatu kebijakan rutin tertentu. Ironisnya, mereka yang seharusnya bertanggung jawab karena kewenangannya, yakni menteri-menterinya tetap bisa langgeng jabatannya karena tidak dijatuhkan sanksi apapun oleh sang Presiden. Ini juga sebenarnya merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terus terulangnya kesalahan yang sama itu setiap tahun, karena  menteri-menteri itu tidak perlu merasakan takut dengan sanksi seperti itu.

Sebagai contoh bagaimana persoalan yang sama terus berulang setiap tahun di dunia pendidikan nasional dengan problem ujian nasionalnya, masalah kelangkaan dan persoalan kenaikan harganya yang melebihi kewajaran setiap tahun di pasaran terhadap daging sapi, beras, bawang putih, cabe, dan kedele.

Fenomena ini pun terjadi di saat-saat menjelang Pemilu, antara lain yang saat ini paling dibicarakan mengenai data-data kependudukan bagi mereka yang berhak memilih, yang disebut Daftar Pemilih Tetap (DPT). Seperti DPT Pemilu sebelumnya (2004 dan 2009), DPT Pemilu 2014 kali ini pun berlarut-larut dengan masalah akurasi data. Sampai-sampai membuat KPU harus menunda pengumuman penetapan data DPT itu sampai dua kali.

Setelah ditunda dua kali, pada pengumuman penetapan DPT Pemilu 2014, Senin, 4 November 2013 pun sebenarnya DPT itu masih bermasalah.  Seharusnya, KPU menunda lagi pengumuman DPT itu. Karena sampai saat ini, masih ada 10,4 juta data pemilih yang bermasalah (belum memiliki NIK = Nomor Induk Kependudukan, NIK ganda, dan NIK yang tidak sesuai dengan orangnya). Tetapi, dengan alasan sangat tidak baik menunda pengumuman yang teramat sangat penting itu sampai tiga kali, dan alasan biaya yang akan semakin membengkak, KPU terkesan memaksa diri untuk tetap mengumumkan DPT Pemilu 2014 itu dengan “menghibur atau menipu diri sendiri”  bahwa masalah NIK itu akan diatasi dalam kurun waktu satu bulan kemudian. Padahal mereka tahu itu tak bakalan tercapai.

Apakah KPU dan lain-lain itu seperti atau bahkan lebih bodoh daripada keledai sehingga melakukan kesalahan yang sama lagi di DPT Pemilu 2014 ini, seperti secara tersirat disinggung di karikatur Harian Kompas tersebut di atas? Ataukah, sebaliknya?

Kejanggalan dan Persoalan Hukum di Balik Penetapan DPT

Pada pengumuman penetapan data DPT pada 4 November itu, diumumkan DPT Pemilu 2014 adalah 186,6 juta pemilih, di antara data itu ada 10,4 juta yang bermasalah dengan NIK.  Padahal NIK itu sangat penting, karena merupakan satu-satunya basis data identitas setiap WNI baik yang berada di Indonesia, maupun di luar negeri.

Maka, tak heran dari pengumuman penetapan data DPT Pemilu 2014 itu muncul beberapa masalah kejanggalan dan hukum, yakni (sumber: Jawa Pos):

Pertama, sikap janggal yang diperlihatkan oleh Bawaslu yang dapat mentolerir penetapan DPT oleh KPU pada 4 November 2013 saat masih ada 10,4 juta data pemilih yang bermasalah, padahal dalam rapat pleno KPU 23 Oktober lalu, Bawaslu merekomendasikan penundaan penetapan DPT karena terdapat 10,8 juta data pemilih yang bermasalah. Artinya, sebenarnya masalah pada 23 Oktober yang membuat Bawaslu merekomendasikan penundaan itu masih jauh dari selesai, kenapa kini Bawaslu berubah sikap menjadi mentolerirnya?

Kedua, dari aspek legalitasnya, Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2013, masih menyebutkan jadwal penetapan DPT adalah pada 23 Oktober 2013. Pelaksanaannya, penetapan DPT itu ditetapkan pada 4 November 2013. KPU tidak membuat perubahan Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2013 itu terlebih dahulu, untuk menyebutkan perubahan tanggal penetapan dari 23 Oktober 2013 menjadi 4 November 2013, supaya ada dasar hukumnya.  Jadi, penetapan DPT pada 4 November 2013 itu sebenarnya tidak punya dasar hukumnya.

Ketiga, mengenai validitas data:  Dengan masih terdapat 10,4 juta pemilih yang NIK–nya bermasalah. Risikonya adalah potensi kelak terjadinya kekurangan kartu suara pada saat diselenggarapakn Pemilu 2014. KPU memang mencetak kartu suara yang dilebihkan sebanyak 2,5 persen kartu suara cadangan, tetapi ini bukan untuk pemilih tambahan atau khusus tersebut di atas, tetapi untuk mengantisipasi kalau ada kartu suara yang rusak/cacat.

Keempat, Kamis, 7/11/2013, anggota KPU, Ferry Kurnia Rizkiyansyah, mengatakan pada Rabu, 6/11/2013, dari 10,4 juta data pemilih dengan NIK yang bermasalah itu, 3,3 juta di antaranya telah berhasil dilengkapi dengan NIK yang benar (Kompas, Jumat, 08/11/2013).

Menurut Ferry hal itu dilakukan melalui pengecekan ke dinas kependudukan dan pencatatan sipil daerah, kelurahan atau desa, ataupun dari daftar Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu  (DP4). Dengan demikian, tinggal 7,1 juta data yang masih bermasalah.

Pertanyaan saya seperti juga pertanyaan dari Ray Rangkuti dari Lingkar Madani Indonesia (Lima): “Apa benar pernyataan Ferry itu? Masa iya, dalam tempo hanya satu hari saja dari tanggal pengumuman penetapan DPT itu (tanggal 5/11 hari libur), KPU sudah memperbaiki 3,3 data yang sebelumnya bermasalah itu? Dalam satu hari 3,3 juta data bermasalah bisa diklirkan KPU? Ini memerlukan penjelasan dan transparansi dari KPU.

Ferry juga menegaskan, untuk pemilih yang sudah terdaftar di DPT, tetapi NIK yang tercantum salah atau ganda dengan pemilih lain, maka hak pilih warga tidak akan hilang. Orang tersebut saat Pemilu bisa memberikan suaranya dengan menunjukkan surat undangan dan/atau KTP.

Pernyataan Ferry itu seolah-olah berarti persoalan NIK itu bukan sesuatu yang terlalu penting, toh, mereka yang masih bermasalah dengan NIK tetap saja bisa memilih. Padahal justru dengan NIK bermasalah ini yang paling dikhawatirkan dimanfaatkan untuk memanipulasi data hasil Pemilu.

Ketika semua parpol terus mempertanyakan keakuratan data DPT Pemilu 2014 dan menghendaki pengumuman penetapannya ditunda lagi oleh KPU, Partai Demokrat adalah satu-satunya parpol yang menyatakan bisa menerimanya. Sedangkan Presiden SBY, yang juga Ketua Umum Partai Demokrat tak bersuara sedikitpun mengenai karut-marutnya DPT Pemilu 2014 ini. Padahal, saat ini masalah ini adalah yang terpenting bagi masa depan bangsa dan negara Republik Indonesia ini, untuk mendapat pimpinannya yang baru yang legalitasnya tak diragukan.  Sikap Presiden SBY ini sangat kontras jika pribadinya, keluarganya, dan parpol-nya yang dipermasalahkan, langsung reaktif dan emosional.

Kenapa Partai Demokrat  yang nota bene adalah parpol penguasa tidak mempermasalahkan mengenai karut-marutnya DPT Pemilu 2014 ini? Apakah karena ini ada yang mendesainnya seperti itu seperti pada Pemilu 2009, demi melanggengkan kekuasaannya?

[caption id="attachment_276736" align="aligncenter" width="614" caption="(Jawa Pos, Jumat, 08/11/2013)"]

1383898951221366377

[/caption]

Indikasi akan Ada Manipulasi Data Hasil Pemilu 2014

Di Harian Jawa Pos, Kamis, 07/11/2013 diberitakan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengaku sulit untuk memberi NIK untuk 10,4 juta pemilih yang masuk di DPT itu (yang bermasalah). Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Restuardy Daud menyatakan, pihaknya hanya bisa memberikan dukungan terhadap upaya optimalisasi akurasi data DPT. Artinya, sudah hampir dapat dipastikan masalah NIK 10,4 juta pemilih yang berada di DPT itu tetap akan menjadi sesuatu yang misterius, atau tepatnya,  “dimisteriuskan.”

Di dalam kemisteriusan itulah muncul data-data “aneh tapi nyata”, salah satunya adalah orang-orang yang sudah lama almarhum alias meninggal dunia, bisa masuk di data DPT. Itu jumlahnya tidak sedikit. Sekitar 1,5 juta sampai dengan 2 juta orang.

Dari sinilah muncul sindiran dari Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Maskurin Hafidz beberapa waktu lalu di status BlackBerry Messenger-nya dia tulis: “Almarhum itu harusnya didoakan masuk surga, bukan dimasukkan dalam DPT.”

Dicurigai masuknya para almarhum itu ke DPT bukan sesuatu yang tanpa sengaja dan bukan tanpa maksud. Nama-nama mereka akan dimanfaatkan untuk menambah suara di hasil Pemilu bagi parpol atau capres-cawapres tertentu.

Upaya adanya NIK tunggal yang akurat sudah dijalankan sejak menjelang Pemilu 2009, tetapi pada waktu itu harapan itu tak tercapai, atau tepatnya, harapan itu dibuat menjadi tidak tercapai. DPT-juga ambur-adul mirip seperti sekarang. Pada waktu itu juga sudah banyak muncul isu-isu terjadinya manipulasi data untuk keuntungan pihak tertentu yang sekarang ini sedang memimpin.

Salah satu indikasinya adalah kasus komisioner KPU saat itu, Andi Nurpati (kini Wakil Sekretaris Jenderal IV Partai Demokrat) yang diduga telah memalsukan surat Mahkamah Konstitusi (MK). Kasus itu pernah ditangani polisi, tetapi kemudian menguap begitu saja.

Pada waktu itu, 21 September 2009, dalam rapat pleno KPU yang dipimpin oleh Andi Nurpati, KPU mengambil keputusan berdasarkan surat MK tanggal 14 Agustus 2009, yang intinya berisi keputusan yang oleh karenanya Partai Hanura-lah yang berhak memperoleh satu kursi di DPR. Surat MK itu dibawa oleh Andi Nurpati, dan dikatakan berasal dari MK.

Ternyata, kemudian diketahui surat itu palsu, yang asli tertanggal 17 Agustus 2009, isinya pada intinya adalah oleh karenanya Partai Gerindra-lah yang memperoleh tambahan satu kuris di DPR.

Dari hasil penyelidikan diketahui surat MK palsu itu begitu saja ada di kantor KPU dan dibawa oleh Andi Nurpati, tidak ada kurir dari MK yang membawanya, dan juga tidak ada mesin fax yang menerima surat itu.

Dihentikan penyidikan kasus ini oleh polisi , membuat kasus ini masih misterius sampai sekarang.

Di saat menjelang Pemilu 2014 ini ada indikasi-indikasi permainan-permainan seperti itu diulangi lagi. Indikasinya antara lain kembali kacau lagi data pemilih tetap Pemilu 2014, dan beberapa kejanggalan lainnya.

e-KTP dengan DPT

Harian Kompas menulis, sebelum adanya program NIK 2009 tersebut di atas, sudah ada program yang disebut Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Untuk SIAK 2003-2008, anggarannya sebesar Rp. 800 miliar.  Tetapi program ini gagal memenuhi tenggat waktu. Gagalnya penerapan NIK di DPT Pemilu 2009 itu membuat seolah Rp 800 miliar itu terbuang percuma. Kini, hal yang sama terulang lagi di dalam proyek e-KTP-nya Kemendagri.

Selesai Pemilu 2009, SIAK tetap dilanjutkan, ditargetkan rampung pada 2011 untuk kepentingan Pemilu 2014. Program ini dilanjutkan dengan perekaman data untuk e-KTP, pencetakan, dan integrasi sistem. Anggarannya Rp 6,9 triliun, dengan Rp. 5,8 triliun di antaranya untuk perekaman dan pencetakan 172 juta e-KTP. Ditargetkan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi selesai paling lambat akhir 2012. Agar bisa digunakan dengan seoptimal mungkin untuk DPT Pemilu 2014. Kemendagri menyatakan keyakinan mereka, DP4 (daftar penduduk potensial pemilih pemilu) dan DAK2 (data agregat kependudukan per kecamatan) siap untuk Pemilu 2014.

Bahkan Gamawan Fauzi sempat berikrar bahwa dia akan mundur jika target perekaman data 172 juta penduduk tak tercapai pada akhir 2012.  Faktanya, sampai akhir 2012, pemerintah (Kemendagri) mengaku sudah merekam data 175 juta penduduk. Namun, e-KTP yang dicetak dan didistribusikan baru mencapai 90 juta. Artinya, proyek ini sebenarnya juga gagal memenuhi target. Tetapi, sang Menteri pun pura-pura lupa dengan ikrarnya itu dengan beraneka alasan yang dikemukakan.

Pada awal Februari 2013 Kemendagri telah menyerahkan 190 juta nama berikut data kependudukan warga dalam DP4. Saat itu Gamawan menyebutkan, 175 juta di antaranya hasil perekaman e-KTP sehingga akurat. KPU cukup meneliti 15 juta sisanya.

Bulan berikutnya, KPU mempertanyakan, data dengan keterangan “tunggal” pada DP4 hanya 139 juta. Saat itu, Kemendagri mengakui, jumlah itu adalah data hasil e-KTP yang sudah diidentifikasikan tunggal kendati perekamannya sudah mencapai 175 juta.

Kompas mempertanyakan pengakuan (klaim) Kemendagri itu, karena jika 175 juta data benar-benar sudah direkam sejak Desember 2012, berarti proses memasukkan, mengunggah, dan mengidentifikasikan data sungguh lamban. Padahal, ada aparat hingga tingkat desa atau lurah.

Setelah munculnya karut-marut data (DPT) Pemilu 2014 itu Mendagri Gamawan Fauzi pun buru-buru bikin pernyataan bahwa antara program e-KPT-nya dengan masalah DPT pemilu 2014 tidak ada kaitannya. Oleh karena itu pihaknya tidak bisa dipersalahkan.

UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu memang tidak menyebutkan e-KTP sama sekali. Daftar pemilih dimutakhirkan dari DP4. Namun, daftar pemilih jelas tak lepas dari pengerjaan e-KTP.  Sumber datanya belum siap/kacau, pasti DPT-nya juga kacau.

Jelas, antara DPT dengan program e-KTP itu erat kaitannya. Karena KPU menerima DP4 dari Kemendagri, sedangkan untuk DP4 itu datanya diperoleh dari program e-KTP. Kekacauan ini menunjukkan bahwa program e-KTP itu sebenarnya sudah gagal. Buktinya, ketika tenggat waktu pendataan DP4 selesai, program e-KTP belum juga tuntas. Itu menghasilkan DP4 tidak akurat, sehingga ketika dipakai untuk menyusun DPT, kacaulah itu.

Pertanyannya, apakah ini mencerminkan ketidakbecusan dalam bekerja di Kemendagri, ataukah memang ini justru merupakan sesuatu yang disengaja, atau bahkan sebenarnya membawa misi rahasia dari Kemendagri di bawah kepimpinan Gamawan Fauzi itu, untuk kepentingan dan perintah pihak yang lebih berkuasa daripadanya? Demi melanggengkan kekuasaan yang ada saat ini?

Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg)

Kerjasama antara KPU dan Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) dalam penyelenggaraan Pemilu 2014 pun sebenarnya merupakan indikasi lain dari kejanggalan-kejanggan yang mulai kelihatan menjelang Pemilu 2014 ini. Apa pertimbangan dan motif sebenarnya dari kerjasama ini? Mengingat kedua lembaga ini sistem dan metoda kerjanya bertolak belakang. KPU bekerja dalam transparansi ke publik, sedangkan Lemsaneg bekerja dalam sistem yang serba tertutup dan rahasia.

Kenapa KPU tidak menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga yang berbasis pada data dan teknologi informasi, misalnya dari perguruan-perguruuan tinggi negeri tertentu? Ini, kok malah bekerja sama dengan sebuah lembaga yang kerjanya serba rahasia?

Maka, wajar kalau ada yang malah curiga, jangan-jangan jalinan kerjasama ini sesungguhnya hanya untuk menutup dan menghilangkan jejak-jejak manipulasi data yang pernah diduga terjadi di KPU sebelumnya, dan sekarang, hendak membantu menyamarkan manipulasi-manipulasi data baru menjelang Pemilu 2014?

Lebih Jahat daripada Serigala Berbulu Domba

Kalau kesalahan-kesalahan menjelang Pemilu yang lalu-lalu dilakukan lagi sekarang bukan karena ketidakbecusan mereka, melainkan memang merupakan sesuatu yang disengaja, bahkan justru merupakan tugas dan misi mereka merekayasa kesalahan-kesalahan tersebut demi kepentingan pemenangan Pemilu 2014 oleh pihak tertentu (yang berkuasa sekarang?), maka mereka itu bukan lebih bodoh daripada keledai yang bisa terperosok ke dalam lubang yang sama sampai dua kali, tetapi sesungguhnya mereka itu lebih jahat daripada serigala berbulu domba.  ***

Sumber informasi dan data:

-Harian Jawa Pos, Rabu, 06/11/2013: “Penetapan DPT Tanpa Payung Hukum: (halaman 2),

-Harian Kompas, Rabu, 06/11/2013: “Data Pemilih: NIK, E-KTP, dan DPT” (halaman 5),

-Harian Kompas, Jumat, 08/11/2013: “Jangan Hilangkan Hak Pemilih.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline