[caption id="attachment_292488" align="aligncenter" width="515" caption="Sentilan Sentilun: Blusukan ke Kantor Ahok (Metro TV)"][/caption]
Saya baru saja menonton acara Sentilan Sentilun, Metro TV (Senin, 27/01), yang berthemakan “Blusukan ke Kantor Ahok”.
Sebenarnya, tidak banyak hal baru yang disentil di acara ini. Sentilan-sentilan Sentilun itu seputar mengapa Ahok tampak suka marah, bagaimana hubungannya dengan Jokowi sebagai atasannya, kenapa Ahok tetap menggunakan mobil dinas Land Cruiser-nya, tentang mengatasi banjir Jakarta, dan bagaimana jika Ahok suatu ketika maju sebagai calon presiden.
Ada beberapa hal yang cukup menarik yang disentil di sini. Antara lain, ketika disentil mengenai gebrakan Ahok yang serba cepat, tanpa berlama-lama berpikir atau hanya berwacana. Sentilun menyentil, kira-kira begini katanya, “Iya, jadi pimpinan itu harus cepat berpikir dan bertindak. Tetapi, ada, lho, pimpinan yang berpikir terus, tetapi lambat bertindak.” Disambut suara tawa penonton. Tentu kita bisa menduga siapakah pimpinan yang dimaksud si Sentilun itu.
Demikian juga ketika Ahok berkata, “ .... Ngontrol semua APBD bupati, walikota, gubernur yang bandel itu lewat Mendagri. (Sedangkan Mendagri) Presiden juga yang pilih.” Langsung disentil oleh Sentilun, “Tapi, itu kalau Presidennya tegasss...”
Ketika disentil mengenai hubungan Ahok dengan Jokowi yang adalah atasannya, Ahok berkata bahwa sebagai wakil Jokowi dia adalah staf, bawahannya Jokowi, tentu harus mendengar, mendukung, dan melaksanakan program-program Jokowi agar bisa berjalan sukses. Kemudian disentil oleh Cak Lontong “Pegawai Pemda DKI Gadungan, “... Malah ada ini, wakil yang tak pernah dengarin atasannya itu, ada.”
“Wakil siapa?”
“Wakil rakyat!” jawab Cak Lontong, “Wakil rakyat itu tak pernah dengarin rakyatnya. Padahal rakyat itu ‘kan ‘atasannya’.”
Pada bagian akhir, Sentilun menyentil mengenai kemungkinan Ahok suatu ketika menjadi RI 1. Kata dia kepada Ndro-nya, “Apabila Ahok itu benar-benar berhasil menyebrang ke Merdeka Utara. Menjadi Presiden. Untuk saya, ini betul-betul indikator keberhasilan demokrasi di Nusantara Raya ini.”
“Maksudnya?”
Sentilun menjawab, “Lho, bayangin ada presiden Indonesia, salahnya dua ...... “ disambut suara riuh tepuk tangan dan tawa penonton yang menyaksikan langsung acara itu di lokasi syuting. Bagian titik-titik adalah bagian frasa Sentilun yang tidak bisa didengar pemirsa televisi, karena di-dubbing atau disensor Metro TV. Pemirsa di rumah tentu bingung dan bertanya-tanya, kata-kata apakah yang diucapkan oleh Sentilun itu sampai membuat penonton di sana itu bertepuk tangan meriah begitu.
Tetapi bagi yang sebelum acara ini ditayangkan, sudah melihat Instalgram dari Mas Butet alias si Sentilun itu tentu tahu apakah yang dikatakannya itu. Karena di Instalgram-nya itu Mas Butet alias Sentilun itu sudah menulis kalimatnya itu secara lengkap tentang “dua kesalahan” Ahok itu, yakni karena dia “China dan Kristen.”
Selengkap kalimat Mas Butet di Instalgram itu adalah sebagai berikut: “... Doi bilang pengin jadi eksekutif yg lbh tinggi, jadi presiden. Kubilang, ‘Kalau anda jadi presiden itu indikator keberhasilan demokrasi di Nusantara Raya. Situ kan salahnya dua,….udah Kristen eh Cina lagi.’ “
Anda bisa menyaksikan di YouTube di bawah ini, mulai menit 5:22.
Pertanyaan kita adalah kenapa dan apa memang perlu Metro TV melakukan sensor seperti itu? Apalagi di era reformasi yang sudah serba terbuka seperti sekarang ini. Cara Metro TV menyensor kalimat Sentilun itu jelas telah menghilangkan secara total esensi dari sentilan Sentilun yang sesungguhnya mengandung makna reflektif untuk direnungkan kita bersama itu.
Sentilan Sentilun itu unsurnya sangat positif, bukan diucapkan dengan nada menghina. Kalau diucapkan dengan intonasi menghina, barulah pantas disensor.
Apakah bangsa yang mengaku dirinya sebagai bangsa yang besar ini mempunyai jiwa yang besar, yang konsekuen dan konsisten dengan Konstitusi Negaranya sendiri. Konstitusi atau UUD 1945 yang mengatur dengan tegas bahwa NKRI ini menjamin semua warga negaranya mempunyai hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan, dan semua warganegaranya berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Dengan Metro TV menyensor frasa “China dan Kristen” dari sentilan Sentilun itu, yang nota bene sama-sama merupakan golongan minoritas di negeri ini, maka kalimat Sentilun itu jelas kehilangan maknanya sama sekali.Karena penonton televisi tidak tahu tentang “dua kesalahan” Ahok menurut Sentilun itu.
Seolah-olah Metro TV hendak menutup-nutupi salah satu persoalan penting bangsa ini yang seharusnya kita bahas dan diskusi bersama secara terbuka.
Sentilan itu seharusnya dibiarkan ditayangkan secara utuh, agar menjadi bahan renungan, refleksi bagi kita semua: Apakah benar bangsa yang besar ini mampu melepaskan dirinya dari segala macam pemikiran primodalisme sempit, yang memilih pimpinannya hanya berdasarkan suku, agama, ras dan antargolongan. Sebaliknya, sekarang sudah mempunyai kehendak kuat untuk maju dalam berdemokrasi untuk mewujudkan Nusantara atau Indonesia Raya sebagaimana dicita-citakan oleh para pendiri negara ini, dengan memilih pimpinannya berdasarkan integritas, kemampuan, dan rekam jejaknya? ***
Artikel terkait:
Ahok Menggendong Mas Butet, Mas Butet Menggendong Ahok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H