Lihat ke Halaman Asli

Daniel H.T.

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Innova untuk Jokowi: Gratifikasi? Diterima atau Ditolak?

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13482822521151488612

[caption id="attachment_200319" align="aligncenter" width="620" caption="Mobil Toyota Kijang Innova bernomor Polisi B 1 JKW di posko Pemenangan Jokowi-Ahok Jl. Borobudur No.22, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (21/9). TEMPO/Dhemas Reviyanto"][/caption]

Tim sukses Jokowi-Ahok diam-diam punya rencana membuat kejutan buat Jokowi. Yaitu, hadiah satu unit mobil Kijang Innova putih tipe Luxury, dengan Nomor Polisi B 1 JKW.Menurut pengakuan ketuanya, Boy Sadikin, uang untuk membeli mobil tersebut bukan dari pengusaha kaya tertentu, tetapi murni merupakan inisiatif dan urunan Tim Sukses dan para relawan. Uang yang terkumpul, katanya mencapai Rp 300 jutaan.

Harga mobil tersebut berkisar Rp 250 jutaan – Rp. 260 jutaan/unit.

Menurut Boy, mobil tersebut dihadiahkan kepada Jokowi sebagai apresiasi mereka kepada Jokowi dan untuk dipakai kerja sebagai Gubernur DKI Jakarta yang baru.

Berita tentang rencana pemberian mobil Kijang Innova putih tersebut segera mendapat tanggapan beragam dari pembaca (masyarakat). Ada yang menilai pemberian tersebut wajar, ada yang menganggapnya sebagai gratifikasi dan harus ditolak Jokowi, dan ada yang menganggap gratifikasi tetapi boleh diterima oleh Jokowi asalkan segera dilaporkan kepada KPK.

Apakah pemberian mobil Innova kepada Jokowi yang saat ini masih menjabat sebagai Walikota Solo, dan segera menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta yang baru itu tergolong gratifikasi? Bila, ya, tergolong gratifikasi. Apakah harus ditolak oleh Jokowi?

Pasal 12B (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahannya berbunyi: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap sebagai pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

Apa saja yang termasuk gratifikasi, dijelaskan di dalam Penjelasan Pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001: Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Baik yang diterima di dalam negeri, maupun di luar negeri. Baik menggunakan sarana elektronika, maupun yang tidak menggunakan sarana elektornika.

Pasal 12c ayat 1 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 berbunyi: Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat 1 tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK.

Pelaporan tersebut harus disampaikan kepada KPK paling lambat 30 hari kerja terhitung hari pertama barang tersebut diterima. Untuk kepentingan pelaporan tersebut telah tersedia formulir khusus untuk itu dari KPK, yang bisa diunduh di www.kpk.go.id. Di sana juga tersedia informasi lengkap seputar gratifikasi.

[caption id="attachment_200288" align="aligncenter" width="461" caption="Contoh formulir Pelaporan Penerimaan Gratifikasi kepada KPK (sumber: www.kpk.go.id)"]

1348246828325989102

[/caption]

Dari pelaporan tersebut dalam tempo 30 hari kerja sejak laporan diterima, KPK wajib memeriksa semua berkas, bilamana perlu barangnya, apakah pemberian tersebut layak dan tidak melanggar ketentuan undang-undang tentang gratifikasi tersebut. Apabila tidak melanggar ketentuan tentang gratifikasi, barang tersebut boleh menjadi milik penerima barang. Apabila melanggar, barang tersebut menjadi milik negara.

Siapa saja yang wajib melaporkan penerimaan barang tersebut, mereka adalah pejabat penyelenggara negara dan pegawai negeri. Siapa saja yang termasuk penyelenggara negara disebutkan di Pasal 2 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Di dalamnya disebutkan antara lain gubernur dan wakil gubernur.

Sedangkan yang termasuk pegawai negeri disebutkan di Pasal 1 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.

Mereka yang tidak melaporkan gratifikasi yang diterima sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, diancam dengan hukuman pidana penjara minimum 4 tahun, maksimum 20 tahun, atau pidana penjara seumur hidup, dan pidana denda paling sedikit Rp. 200 juta, maksimum Rp 1 milyar

Dari penjelasan singkat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pemberian hadiah satu unit mobil Innova dari Tim Sukses Jokowi-Ahok kepada Jokowi untuk dipakai sebagai mobil dinas dalam menjalankan jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta itu, bukan tergolong gratifikasi yang melanggar hukum, asalkan Jokowi melaporkan pemberian tersebut dalam tempo 30 hari kerja setelah Innova tersebut dia terima.

Setelah KPK menerima laporan penerimaan hadiah dari Jokowi itu, mereka akan memeriksa apakah pemberian tersebut melanggar hukum tentang gratifikasi, ataukah tidak.

Dari latar belakang dan proses pemberian hadiah satu unit Innova berwarna putih sebagaimana dapat dibaca di Kompas.com (21/09/2012), saya yakin KPK akan sampai pada kesimpulan bahwa hadiah dari Tim Sukses Jokowi dan para relawan itu bukan gratifikasi yang dilarang undang-undang.

Karena pemberian hadiah itu sudah pasti jauh dari motif dan tidak bisa dijadikan alat untuk mempengaruhi Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Hadiah tersebut dibeli dari urunan banyak orang sebagai bentuk apresiasi yang murni. Menurut penjelasan Boy Sadikin, setiap orang rata-rata menyumbang Rp. 500.000 – Rp. 1.000.000. Sedangkan jumlah uang yang terkumpul Rp. 300 jutaan. Berarti ada sekitar 600 orang yang memberi sumbangan tersebut, tidak mungkin mereka orang per orang, mampu mempengaruhi Jokowi, dengan alasan, misalnya, mobil itu dibeli atas jasa mereka. Sedangkan secara kelompok, tim sukses dan para relawan itu pasti tidak akan mempunyai kepentingan apapun karena pembentukannya adalah sebagai tim sukses atau kampanye cagub-cawagub Jokowi-Ahok, yang segera bubar setelah semua urusan administrasi selesai dalam waktu tidak lama lagi.

Sebagai pendukung dan pembuktian yuridis penjelasan Boy Sadikin itu, KPK akan memeriksa laporan pembukuan khususnya catatan dan bukti penerimaan uang sumbangan untuk membeli mobil Innova tersebut.

Lagipula hadiah Innova tersebut diberikan dengan maksud untuk khusus dipakai Jokowi  dalam menjalani jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, bukan untuk keperluan pribadi. Dengan demikian Pemprov DKI bisa menghemat dengan tidak perlu lagi menganggarkan pembelian mobil dinas baru untuk Jokowi. Meskipun memang, tanpa Innova hadiah itu pun, saya yakin Jokowi akan tidak mau dibelikan mobil dinas baru lagi, melainkan memakai mobil dinas lama, seperti yang dilakukannya sebagai Walikota Solo dengan Toyota Camry lama warisan Walikota Solo sebelum dia.

Sedangkan mobil dinas lama bisa dialihkan untuk keperluan dinas lain yang membutuhkannya.

Maka, semua unsur gratifikasi yang dilarang undang-undang tidak terpenuhi dalam pemberian hadiah satu unit Innova dari Tim Sukses Jokowi-Ahok kepada Jokowi itu. Berarti Jokowi boleh menerima hadiah tersebut, tanpa perlu khawatir melanggar hukum.

Perkembangan berita terakhir yang diambil dari detik.com, 21/09/2012,  diberitakan, Jokowi enggan memakai mobil tersebut karena tak ingin hanyut dalam kegembiran berlebihan (euforia).

"Alasan beliau nggak mau pakai karena nggak bagus, sebuah euforia. Karena ini bukan kemenangan tapi permulaan perjuangan. Selain itu, masyarakat masih banyak yang miskin, ujar anggota tim sukses lainnya, Denny Iskandar.

Menurut Denny, Jokowi lebih memilih berjalan kaki, atau menumpang fasilitas umum seperti KRL dan Kopaja berkeliling Jakarta. Dengan begitu, Jokowi bisa lebih mengetahui kedaan sebenarnya di masyarakat.

Ini bukan berarti Jokowi menolak hadiah tersebut. Melainkan enggan untuk memakainya. Di berita lain mengatakan bahwa Jokowi bilang, perihal pemberian hadiah tersebut jangan dilakukan sekarang. Waktunya tidak tepat. Nanti saja setelah pelantikan (baru dipikirkan lagi). Dia tidak mau memberi kesan merayakan sebuah kemenangan, padahal sejatinya ini adalah awal dari tugas yang berat.

Bagaimanapun, Jokowi tidak mungkin setiap hari pergi-pulang ngantor, atau berkunjung ke lokasi-lokasi tertentu, dengan menggunakan angkutan umum, seperti KRL , atau Kopaja, apalagi jalan kaki. Karena juga harus patuh pada peraturan protokoler, yang tidak bisa dilepas seluruhnya, dan jadwal kerjanya yang pasti sangat padat dan memerlukan ketepatan waktu. Sedangkan, KRL dan Kopaja juga punya trayek dan waktu perjalanan tersendiri.

Bagaimana pun dia membutuhkan sebuah mobil dinas untuk mobilitasnya sebagai seorang Gubernur. Mobil tersebut bisa merupakan mobil dinas yang disediakan Pemprov DKI Jakarta, atau mobilnya sendiri. Kalau Jokowi memilih mobilnya sendiri, maka Innova putih pemberian Tim Suksesnya itu itu merupakan alternatif yang tepat.

Jokowi juga dapat memilih tetap menerima mobil Innova tersebut, untuk kemudian diserahkan kepada Pemprov DKI Jakarta untuk dijadikan bagian dari aset Pemprov, setelah itu mabil itu dipakai sebagai mobil dinasnya, atau keperluan lain di dalam jajaran Pemprov DKI Jakarta. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline