Lihat ke Halaman Asli

Daniel H.T.

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Seharusnya SBY Malu kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13471000451794413659

[caption id="attachment_197859" align="aligncenter" width="708" caption="(Sumber: Kompas Cetak, Sabtu, 08/09/2012)"][/caption]

Akhirnya pada 30 Agustus 2012 RUU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) disahkan menjadi UU oleh DPR-RI. Pada 6 September 2012 ditandatangani oleh Presiden SBY sebagai UU No. 13 Tahun 2013 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ada dua hal pokok yang penting dibicarakan di sini. Pertama,  dengan demikian telah ada kepastian hukum bahwa untuk gubernur dan wakil gubernur DIY diangkat berdasarkan penetapan, bukan melalui pemilukada seperti di daerah lain di seluruh Indonesia.

Pasal 18 UU Nomor 13 Tahun 2012 itu menyebutkan bahwa Gubernur DIY adalah orang yang bertahta sebagai Sultan Hamengku Buwono, dan Wakil Gubernur adalah orang yang bertahta sebagai Adipati Paku Alam, berusia minimal 30 tahun, dan bukan anggota partai politik.

Undang-undang tersebut dengan tepat telah menyerap aspirasi masyarakat Yogyakarta, yang kotanya secara historis memang mempunyai kekhususan tersindiri (Kesultanan) sejak sebelum bergabung dengan NKRI. Sekaligus mematahkan sikap Presiden SBY yang sempat bersikeras hendak mengubah sistem pengangkatan gubernur dan wakil gubernur DIY.

Pada 26 November 2010, ketika menyinggung tentang undang-undang Pemda DIY, SBY mengatakan bahwa dia telah berkali-kali menyampaikan sikap dasar dari Pemerintah Pusat tentang undang-undang Keistimewaan DIY, yang pada intinya adalah bahwa Indonesia adalah NKRI yang merupakan negara hukum dengan sistem demokrasi yang diatur di dalam konstitusi (UUD 1945). Konsekuensinya adalah bahwaNilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan dengan konstitusi, maupun nilai-nilai demokrasi!

Tentu saja itu berarti SBY menyindir sistem pengangkatan  Gubernur dan Wakil Gubernur di DIY yang selalu dijabat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam. SBY ingin mengubah sistem tersebut melalui Undang-Undang DIY yang waktu itu masih dalam taraf pembicaraan di parlemen.

Dengan kata lain SBY mau bilang bahwa sistem monarki (istimewa) di (Kesultanan) Yogyakarta khususnya tentang pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY yang sudah berlangsung sejak  Kemerdekaan RI itu bertentangan dengan UUD 1945. Oleh karena itu harus diubah berdasarkan sistem demokrasi yang dianut Indonesia, yakni melalui pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) seperti di daerah-daerah lainnya di seluruh Indonesia.

Spontan pernyataan SBY yang “nyeleneh” itu memicu reaksi keras dari masyarakat kota Yogyakarta dan DPRD Yogyakarta. Tuntutan referandum pun bergema dari rakyat Yogyakarta. Berbagai kecaman pun berdatangan menyerang SBY. Yang pada intinya mengatakan bahwa SBY tidak mengerti soal sejarah DIY ketika bergabung dengan Republik Indonesia,  dan tidak paham dengan sistem monarki yang bersifat khusus pada suatu negara. Contoh lain selain Yogyakarta di Indonesia adalah sistem monarki di Inggris dan Malaysia. Karena kekhususannya itulah maka Yogyakarta di sebut Daerah Istimewa Yogyakarta.

Mendapat reaksi keras dan kecaman bertubu-tubi dari berbagai pihak, SBY pun akhirnya, seperti biasa memilih diam, atau mundur ke dalam zona aman. Semula Partai Demokrat yang masih kelihatan ingin meneruskan seruan SBY itu, tetapi diduga itu hanyalah demi gengsi saja. Mengingat begitu kuatnya desakan agar sistem penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY terus dipertahankan.

Demikianlah riwayat Presiden SBY yang dinilai para pengamat tidak mengerti sejarah, atau hendak melawan sejarah DIY, tak berdaya. Maka, lahirlah UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY tersebut, yang antara lain mengatur tentang tata cara penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY sebagaimana telah disinggung di atas.

*

Kedua, Presiden SBY seharusnya sangat malu, ketika menyaksikan Sri Sultan Hamengkubowo X dengan begitu cepat, tanpa ragu sedikitpun, mengambil sikap untuk mundur dari Partai Golkar, begitu UU DIY tersebut disahkan oleh DPR. Sesuai dengan ketentuan Pasal 18 UU DIY mengatur bahwa pejabat Gubernur dan Wakil Gubernur DIY harus bukan anggota parpol. Sedangkan SBY sendiri pernah menegur para menterinya yang merangkap sebagai pengurus parpol-nya masing-masing, sehingga melupakan tugasnya sebagai menteri negara.  Padahal dia sendiri sebagai Presiden RI juga merangkap jabatan di Partai Demokrat. Bukan hanya satu, tetapi sampai tiga jabatannya di Partai Demokrat. Tetapi sama sekali tidak ada niatnya untuk mundur.

UU DIY tersebut seharusnya menjadi “proyek” percontohan untuk undang-undang lain tentang pemerintahan di Indonesia. Baik itu pemerintahan daerah, maupun pusat. Yakni, seorang pejabat presiden dan wakil presiden,  para menteri, bupati dan wakil bupati, walikota dan wakil walikota, serta gubernur dan wakil gubernur dilarang merangkap sebagai anggota parpol, apalagi pengurus/petinggi parpol.

Pada 19 Juli 2012, Presiden SBY menegur keras para menterinya. Ada dua hal pokok yang disampaikan dalam tegurannya itu. Yakni, perkara penyalahgunaan APBN  dan ada beberapa menterinya yang dianggap terlalu mementingkan mengurus partai politiknya ketimbang fokus pada jabatannya sebagai menteri negara.

Tentang rangkap jabatan para menterinya di parpol-nya masing-masing Presiden SBY mengingatkan mereka agar benar-benar fokus dalam menjalan tugas jabatannya itu. Agar lebih mementingkan tugas kenegaraan daripada mengurus parpol-nya.

“Sekali lagi saya ingatkan, jangan tinggalkan tugas utama kita, memprioritaskan tugas-tugas melayani rakyat! … Bagi Saudara yang tidak bisa membagi waktu dan harus menyukseskan tugas politik (mengutamakan parpol-nya), parpol manapun, saya persilakan baik-baik untuk mengundurkan diri!”

SBY memperingatkan para menterinya seperti itu, padahal dia sendiri beberapakali terlihat lebih mementingkan mengurus parpol-nya, Partai Demokrat (PD), ketimbang mengurus negara. Tugas kenegaraan itu biasanya dia delegasikan kepada menteri-menterinya, sedangkan dia sendiri mengurus parpol-nya yang para petingginya banyak yang sedang diincar dan sedang diperiksa KPK.

Itulah akibat dari Presiden SBY yang sampai punya tiga jabatan penting di PD. Yakni, sebagai Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi, dan Ketua Dewan Kehormatan.

Seharusnya, kalau sungguh-sungguh dengan tegurannya itu, SBY memberi contohnya. Mundur dari semua jabatannya di PD tersebut di atas, dan (supaya bisa) benar-benar fokus kepada tugas jabatanya sebagai seorang presiden NKRI. Bukan “Presiden Partai Demokrat.”

Ketika SBY tak kunjung memberi teladan. Teladan itu justru datang dari Sri Sultan Hamengkubuwo X dari Yogyakarta, untuk mundur dari jabatannya di Golkar karena menjadi Gubernur DIY,  yang sempat disindir sebagai sistem monarki yang bertentangan dengan UUD 1945.

Kalau  pada 19 Juli 2012 itu SBY menegur para menterinya yang rangkap jabatan di parpol-nya masing-masing, padahal dia tidak bercermin terlebih dulu, maka pada 31 Agustus 2012 lalu giliran Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas yang memberi nasihat kepada SBY agar bersikap tegas terhadap menteri-menterinya yang merangkap sebagai petinggi parpol. Busyro meminta kepada SBY agar membersihkan kabinetnya dari menteri-menteri yang merangkap sebagai pengurus parpol itu, karena rangkap jabatan tersebut sangat tinggi potensinya untuk terjadi penyelewengan (demi kepentingan parpol). Namun sebelum bertindak sedemikian, SBY terlebih dahulu harus memberi contoh dengan mundur dari jabatannya sebagai petinggi Partai Demokrat. Setelah SBY memberi contoh itu, barulah SBY bisa leluasa untuk bertindak tegas terhadap para menterinya yang merangkap jabatan di parpol-nya itu (Kompas.com, 31/08/2012).

Ucapan Busyro Muqoddas itu tentu saja bukan asal ucap, atau hanya teorinya saja, tetapi sudah terlalu banyak fakta yang mendukung pernyataannya tersebut. Sebagai pimpinan KPK tentu saja Busyro mempunyai banyak data tentang itu. Sebutkan saja kasus mega korupsi di proyek-proyek yang diduga kuat melibatkan pejabat-pejabat negara setingkat menteri di Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi, dan Kementerian Agama.

Seandainya saja SBY benar-benar berkomitmen dengan tekadnya untuk memberantas korupsi di negara ini, tentu saja sejak lama dia sudah melakukan apa yang dia tegurkan kepada para menterinya, dan yang dinasihati oleh Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas ini. Sayangnya, itu semua masih "seandainya saja." ***

Artikel lain yang terkait: - SBY yang Tidak Mau Bercermin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline