Lihat ke Halaman Asli

Daniel H.T.

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

"Sepatu Dahlan," Sebuah Novel Insipiratif yang Harus Dibaca

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1339684263383235558

[caption id="attachment_182604" align="aligncenter" width="450" caption="Pajangan khusus novel Sepatu Dahlan, di Toko Buku Gramedia, Ciputra World, Surabaya (Foto milik pribadi)"][/caption]

Hidup bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya.”

(Dahlan Iskan, dalam novel Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabhicara).

Kerja keras Khrisna Pabichara, atau yang biasa disapa Daeng Marewa (@1bichara) menulis novel biografi mengenai masa remaja Dahlan Iskan, mantan CEO Grup Jawa Pos, mantan Dirut PLN, dan kini Menteri BUMN, berjudul Sepatu Dahlan benar-benar berbuah manis. Kini, novel yang mulai beredar pada Mei 2012, Penerbit Noura Books (Grup Mizan) itu menjadi salah satu buku terlaris nasional, dan menjadi pembicaraan publik. Novel ini pun mampu membuat Andy Noya, host Kick Andy di Metro TV kembali menjadikan Dahlan Iskan sebagai tamu utamanya dalam tayangan Kick Andy edisi Jumat, 15 Juni 2012 nanti.

Dalam cuplikan promosi acara tersebut kita bisa menyaksikan (lagi) kesahajaan seorang Dahlan Iskan yang sama sekali tidak dibuat-buat. Ketika dia menceritakan masa remajanya di desanya, di Kebon Dalem, Magetan, Jawa Timur. Dengan kain sarung yang dililitkan di pinggangnya, Dahlan Iskan, seorang pejabat tinggi negara itu mempraktikkan bagaimana multifungsinya kain sarung yang menemaninya dalam kesehariannya di masa itu. Selain dipakai sholat, menghadiri kondangan, juga biasa dipakai untuk kalau makanan yang dibawa pulang dari kondangan tidak muat di tangan. Dahlan iskan memperagakan bagaimana caranya sarung itu pakai untuk keperluan tersebut dengan gaya kocak, mengundang derai tawa Andi dan hadirin di studio (tentu saja nanti penonton televisinya).

[caption id="attachment_182607" align="aligncenter" width="299" caption="Selain dipakai sholat, menghadiri kondangan, juga biasa dipakai untuk kalau makanan yang dibawa pulang dari kondangan tidak muat di tangan. Menteri BUMN Dahlan Iskan memperagakan bagaimana caranya sarung itu pakai untuk keperluan tersebut dengan gaya kocak (Sumber: direpro dari http://kickandy.com/theshow/1/1/2318/promo/sepatu-dahlan )"]

13396845301076848436

[/caption]

Kesahajaan, apa adanya, kemiskinan, kerja keras, disiplin tinggi, rasa tanggung jawab kepada keluarganya (terutama kepada sang adik, Zain), keimanan, ketegasan, penghormatan kepada orangtuanya (terutama rasa segan kepada sang ayah), kejujuran, pendidikan moral dari sang ayah dan di pesanteran, dan seterusnya, merupakan cara, jalan dan prinsip hidup dari seorang Dahlan Iskan yang rupanya sudah tertanam dalam dirinya sejak kecil. Membuatnya menjadi sosok seperti sekarang ini.

Tempaan dalam menjalani kehidupan sejak turun-temurun hidup dalam keluarga miskin yang nyaris total di Desa Kebon Dalem, namun sejak turun-temurun pula tertanam prinsip hidup yang kokoh dalam kebenaran moral dan agama, rupanya membuat sosok Dahlan Iskan menjadi tokoh yang seperti kita kenal sekarang ini. Kehidupan di masa remaja Dahlan Iskan, mulai ketika memasuki sekolah menengah pertama di Tsanawiyah Takeran, itu diangkat oleh Khrisna Pabhicara dalam bentuk sebuah novel yang berjudul Sepatu Dahlan itu.

Sepatu Dahlan adalah novel pertama yang ditulis oleh Khrisna Pabhicara. Sebelumnya dia dikenal sebagai penulis banyak cerita pendek, penyunting lepas dan aktif dalam berbagai kegiatan literasi. Dan, juga adalah salah satu Kompasianer!

Novel tersebut merupakan bagian pertama dari trilogi novel kisah Dahlan Iskan. Dua novel lanjutannya sudah diberi judul. Masing-masing, Surat Dahlan, dan Kursi Dahlan. Kini, Khrisna sedang giat-giatnya menggarap Surat Dahlan, yang kisah utamanya tentang perantauan Dahlan di Samarinda, pertama kali menjadi kuli tinta, sampai dengan saat membesarkan Jawa Pos.

Membaca Sepatu Dahlan karya Khrisna ini membuat kita seolah-olah benar-benar kembali ke masa lalu, masa 50-an tahun lalu, dan turut hadir di antara Dahlan remaja dengan teman-teman akrabnya, Kadir, Arif, Komariyah, Imran, dan seorang gadis cantik berambut panjang, cinta pertama Dahlan Iskan, Aisha.

Kualitas novel ini tak lepas dari ketotalan Khrisna dalam menggarapnya. Padahal, persiapan dan waktu yang diberikan penerbit kepadanya hanya selama empat bulan. Dari pertengahan Januari sampai dengan April 2012. Khrisna memerlukan riset mendalam selama 1,5 bulan. Dan, luar biasanya, hanya memerlukan waktu delapan hari untuk merampungkan novelnya ke dalam bentuk naskah akhir.

Khrisna melakukan riset yang sangat mendalam untuk menjiwai kisah hidup Dahlan sebelum memulai menulis novelnya itu. Dia, misalnya, sampai tinggal di rumah keluarga Dahlan Iskan di Surabaya selama tiga hari dua malam pada Februari 2012. Selain untuk keperluan wawancara, juga untuk mengamati dari dekat keseharian hidup Dahlan dan keluarganya itu Khrisna juga mengunjungi kota-kota yang pernah menjadi bagian dari kehidupan Dahlan, antara lain Magetan, Madiun, Ponorogo, Kertosono, Ngawi, dan Samarinda. Di kota-kota tersebut Khrisna berburu informasi tentang jati diri Dahlan, melalui saudara kandungnya, hingga teman-teman semasa sekolahnya dulu.

Keterbukaan yang begitu luas dan bantuan informasi yang diberikan Dahlan Iskan, diakui oleh Khrisna sebagai salah satu jalan utama lancarnya penulisan novel tersebut.

[caption id="attachment_182603" align="aligncenter" width="500" caption="Khrisna Pabichara (tengah) menyerahkan buku Sepatu Dahlan kepada Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat peluncuran buku di Jalan Raya Darmo, Surabaya, Minggu (20/05/2012). Dahlan Iskan menyaksikannya. Foto : Fedrik Tarigan/Jawa Pos/jpnn.com"]

13396841781536915255

[/caption]

Khrisna juga tak segan-segan datang langsung ke desa-desa tempat Dahlan pernah menjalani kehidupan di masa kecilnya, untuk bisa benar-benar menjiwai kehidupan Dahlan apa adanya. Dia sejak awal bertekad untuk menulis sosok Dahlan sebagai manusia biasa, bukan seorang malaikat tanpa cela. Oleh karena itu ketika mendapat informasi bahwa Dahlan kecil pernah mencuri tebu, Khrisna pun mencoba menjiwanya dengan mengenakan jenis pakaian yang dia perkirakan dipakai anak kampung seperti Dahlan ketika mencuri tebu itu. Kemudian menapak ke dalam ladang di antara pepohonan tebu itu. Akibatnya, tangan dan kakinya jadi memerah dan perih terkena daun-daun tebu.

Di dalam novel tersebut memang ada kisah Dahlan Iskan remaja yang terpaksa mencuri sebatang tebu di ladang tebu yang berada di dekat rumahnya, karena adiknya yang sangat dikasihinya, Zain menderita kelaparan. Sementara itu di gubuk mereka hanya ada dia dengan adiknya itu. Ayahnya sedang mengantar ibunya yang sakit parah di rumah sakit di Madiun. Sedangkan dua orang kakak perempuannya, Mbak Atun dan Sofwati sudah lama merantau dan bekerja di Madiun. Waktu itu juga berada di rumah sakit. Tidak ada sedikitpun makanan di rumah itu, tidak ada siapa-siapa di situ, hanya dia dan adiknya yang terus-menerus mengeluh karena lapar.

Ibu Dahlan yang masuk rumah sakit di Madiun selama beberapa hari itu, akhirnya tak pernah bertemu dengan Dahlan dan adiknya lagi. Ketika dipulangkan sang Ibu tercinta sudah meninggal dunia. Dahlan-lah yang pertamakali menemukan ibunya jatuh pingsan, dari mulutnya keluar darah hitam. Ibu Dahlan meninggal dunia dalam usia 36 tahun.

Kehidupan yang diwarnai dengan rasa lapar terus-menerus sudah menjadi keseharian hidup keluarga Dahlan Iskan, dan juga sebagian besar keluarga di desanya itu. Salah satu cara untuk melewati rasa lapar itu adalah dengan melilit kain sarung seketat mungkin di bagian perut, dan tidur!

Rumah atau lebih tepatnya disebut gubuk keluarga Dahlan Iskan berlantai tanah. Yang jika musim hujan lantai menjadi basah dan lembab. Kalau musim kemarau tiba terasa panas dan berdebu. Di atas lantai tanah itulah, dengan menggelar tikar, Dahlan dan adiknya Zain biasanya tidur. Tidur dengan sangat lelap. Sedangkan dinding rumahnya dari sisa-sisa batu bata merah yang tak terpakai dan sudah dibuang oleh pemiliknya. Di rumah itu tak ada perabot apapun, termasuk ranjang, maupun kasur, selain sebuah lemari kecil tua, yang dipakai untuk menyimpan peralatan dapur dan peralatan membatik sang ibu. Sedangkan pakaian keluarga itu yang hanya ada beberapa pasang. Sudah cukup dicantol di paku yang ditancapkan pada dinding rumah.

Dahlan Iskan beberapakali mengatakan bahwa ketika hidup dalam kemiskinan itu, dia sama sekali tidak merasa menderita. Karena dia menjalani hidup itu dengan apa adanya. Sambil tetap bekerja keras dengan disiplin yang tinggi. “Hidup bagi orang miskin, harus dijalani apa adanya,” itulah salah satu motto hidupnya, yang ditulis di lembaran pembuka novel Sepatu Dahlan.

Khrisna juga menapak tilas perjalanan berjalan kaki sejauh enam kilometer yang dahulu merupakan rute sehari-hari Dahlan untuk pergi pulang sekolahnya, di Tsanawiyah Takeran. Melewati pematang sawah dan keluar masuk desa, di bawah terik matahari yang menyengat. Karena tidak kuat, dia mengurungkan niatnya untuk berjalan kaki balik lagi menempuh rute yang sama.

Khrisna membutuhkan waktu 1 jam 20 menit untuk sampai di tujuannya, padahal, menurutnya, dahulu Abah, panggilannya kepada Dahlan, hanya membutuhkan waktu satu jam. Padahal Khrisna bersepatu, sedangkan Dahlan Iskan dahulu itu sama sekali tidak mengenakan sepatu. Tepatnya, tidak pernah merasakan bagaimana itu memakai sepatu. Sepatu adalah benda yang paling diidam-idamkan Dahlan kecil dan remaja selama bertahun-tahun. Itulah kisah yang paling menarik di dalam novel itu.

Sepatu. Itulah benda yang paling diidam-idamkan, paling mewah, sekaligus paling tak terbelikan oleh Dahlan Iskan di kala itu. Orangtuanya yang miskin, ayah hanya bekerja sebagai buruh tani (mengerjakan sawah orang lain), dan sekali-kali menjadi kuli bangunan, sedangkan sang ibu sekali-kali menerima pesanan membatik, tidak mampu untuk membelikan Dahlan sepasang sepatu, bekas sekalipun. Meskipun mereka tahu anak laki-lakinya itu sejak lama sangat menginginkannya. Tak jarang, Dahlan terpaksa menelan air liurnya sendiri ketika melihat ada teman-temannya yang memakai sepatu yang dinilainya bagus. Disertai dengan mimpi-mimpi indahnya suatu waktu kelak bisa memakai dan mempunyai sepatu.

Selain sepatu, Dahlan kecil juga sangat mendambakan sebuah sepeda. Agar dia tidak perlu lagi berjalan kaki pergi-pulang sejauh 12 kilometer untuk sekolah, di bawah terik matahari yang menyengat. Yang sering membuatnya pulang dalam keadaan capek luar biasa, tetapi masih harus bekerja lagi, nguli nyeset.

Dahlan sendiri, seperti anak-anak seusianya di kampungnya itu, sejak kelas 3 Sekolah Rakyat, juga bekerja selain sebagai pengembala domba-domba keluarga, juga nguli nyeset, dan nguli nandur untuk membantu keluarganya memperoleh penghasilan tambahan. Dari kerja kerasnya itu Dahlan selalu mendambakan akan mampu membeli sepasang sepatu baginya dan adiknya, Zain. Tetapi, selalu saja tidak kesampaian, karena belum juga duitnya cukup terkumpul, selalu ada keperluan lain yang jauh lebih penting. Membeli gula, garam, beras, minyak goreng, dan sebagainya.

Gara-gara sepatu pula yang membuat Dahlan sempat tergoda untuk mencuri. Mencuri duit ayahnya sendiri!

Ceritanya, Dahlan bersama beberapa temannya adalah tim bola voli andalan sekolahnya, Tsanawiyah Takeran. Mereka berprestasi sangat baik. Bahkan mampu mengalahkan tim sekuat SMP Magetan. Ketika tiba pada partai final, tiba-tiba keluar peraturan baru dari panitia yang mewajibkan semua pemain harus bersepatu! Padahal Dahlan yang menjadi pengumpan terbaik tim volinya bersama temannya, Fadli selama ini tidak pernah pakai sepatu. Dahlan memang tidak pernah punya sepatu, dan tidak punya uang untuk membelinya.

Desakan untuk tetap bisa tampil dalam final pertandingan voli antara sekolah tingkat pertama se-kabupaten Magetan itulah yang membuat Dahlan jatuh dalam godaan. Nekad mencuri uang ayahnya yang disembunyikan di dalam laci lemari. Jumlahnya Rp. 7.500.

Bersama temannya, Arif, Dahlan ke Pasar Madiun untuk membeli sepasang sepatunyanya. Mereka ke lapak sepatu-sepatu bekas dengan harapan dengan Rp 7.500 itu dapat membeli sepasang sepatu untuk Dahlan, supaya bisa tetap memperkuat tim volinya. Ternyata, di lapak sepatu bekas sekalipun, uang itu tak cukup untuk membeli sepatu. Sepatu bekas termurah di sana berharga Rp. 20.000. Dahlan akhirnya kembali ke rumahnya, dengan perasan berdosa dan sangat menyesal, bertobat, diam-diam dia mengembalikan uang ayahnya itu.

Belakangan, ketika Dahlan dipercayakan untuk menjadi pelatih voli untuk tim voli sebuah pabrik gula di desanya, dengan uang yang diperoleh dari gajinya sebagai pelatih itu, Rp 10.000 per bulan, Dahlan akhirnya berhasil membeli dua pasang sepatu bekas di Pasar Madiun. Dia sengaja membeli yang bekas, agar cukup membeli dua pasang. Satu untuk dirinya sendiri, dan satu lagi untuk sang adik, Zain. Selain sepatu Dahlan juga mampu membeli sebuah sepeda bekas dari sahabatnya, Arif, seharga Rp 12.000.

Yang mengharukan adalah ketika Dahlan minta izin ke Pasar Madiiun, ayahnya yang tahu niat anaknya itu untuk membeli sepatu, mengambil uang tabungannya yang berjumlah Rp 12.000, diserahkan kepada Dahlan untuk membeli sepatunya.

“Ini ada dua belas ribu. Buat jaga-jaga, siapa tahu duitmu ndak cukup, Le ...” kata sang ayah dengan penuh kasih. Detik-detik saat tangan tua ayahnya menyerahkan duitnya kepada Dahlan itu tidak pernah dilupakan Dahlan seumur hidupnya. Bagian dari duit yang dulu diam-diam pernah sempat dicurinya. Kini, dengan begitu ikhlas sang ayah memberikan kepadanya begitu saja.

Ini memang bagian dari cerita sebuah novel. Tetapi seperti layaknya sebuah novel biografi, sebagian besar inti faktanya biasanya benar pernah terjadi. Termasuk dalam novel Sepatu Dahlan ini. Halmana juga diakui sendiri oleh Dahlan Iskan dalam kata pengantarnya. Bahwa sebagian besar kisah, teman-teman, tokoh, dan lokasi dalam novel tersebut memang benar ada, atau pernah terjadi. Sebagian kecil lainnya fiktif.

Kisah tentang sepatu Dahlan dengan duit ayahnya ini, saya percaya kalau ditulis Khrisna berdasarkan penuturan dari Dahlan Iskan sendiri. Bahwa momen dramatis bersejarah, dan tak akan pernah bisa dilupakan itu, memang pernah benar-benar terjadi pada dirinya. Salah satu momen yang menempa hidupnya. Agar hidup itu harus dalam kejujuran, menghormati orangtua, dan bekerja keras untuk memperoleh sesuatu dari hasil kerja keras itu. Dari hasil keringat sendiri.

Kisah hidup Dahlan remaja di Sepatu Dahlan diakhiri dengan perenungan Dahlan di bawah rindangnya Trembesi, bahwa sebenarnya cita-cita atau keinginannya untuk bisa memiliki sepasang sepatu, dan sebuah sepeda, bukanlah cita-cita yang sebenarnya. Tetapi masih ada yang jauh lebih besar dan jauh lebih bermakna. Cuma dia belum tahu, apa itu. Untuk bisa mengetahui dan meraihkannya satu-satu jalannya adalaha merantau. Ya, pergi dari desanya itu. Meninggalkan sang ayah dan adik tercintanya, Zain. Dahlan memilih ke Samarinda, Kalimantan Timur, menyusul Mbak Atun, yang sejak beberapa tahun sebelumnya sudah ada di sana mengikuti suaminya bekerja.

Ketika dia mengutarakan maksudnya itu, semula sang ayah berkeberatan. Namun, setelah merenung beberapa hari, sang ayah yang bijak, dan mendidik anak-anaknya dengan keras dan berdisiplin tinggi itu akhirnya mengizinkan Dahlan Iskan untuk merantau.

“Bapak teringat wejangan Kiai Murjid. Dulu, beliau berpesan kepada semua santrinya agar tidak mengekang seseorang yang hendak maju dan menuntut ilmu. Jika bisa, harus dibantu. Nah, setelah beberapa hari ini Bapak pikirkan, kamu boleh pergi!” Demikian sang Bapak berujar ketika memberi izin Dahlan Iskan untuk merantau.

Kiai Murjid adalah bapak asuh dari ayah Dahlan Iskan. Masih kerabat dekat dari Ibu dari Dahlan. Ayah Dahlan telah diasuh oleh Kiai Mursjid sejak beliau masih berusia 2 – 3 tahun. Kiai Murjid adalah salah satu korban penculikan Laskar Merah, laskar komunis yang merupakan bagian dari PKI, yang melakukan pemberontakan di Madiun pada 1948. Banyak warga di desa-desa sekitar tempat tinggal Dahlan yang menjadi korban penculikan tersebut. Sebagian besar tidak pernah kembali lagi. Salah satu korban itu juga adalah ayah Kadir, salah satu sahabat dekat Dahlan.

Nanti, sejarah hidup Dahlan Iskan membuktikan bahwa bermula dari Samarinda, Kalimantan Timur inilah kariernya sebagai seorang kuli tinta bermula. Yang sekaligus merupakan jalan panjangnya menuju kesuksesan besar dalam hidupnya. Dari kuli tinta di sebuah harian kecil di sana, menjadi wartawan lepas majalah TEMPO. Pindah ke Surabaya, menjadi Kepala Biro Majalah TEMPO di sana. Dan, ketika majalah TEMPO membeli Jawa Pos yang nyaris bangkrut, dan Dahlan Iskan dipercaya sepenuhnya untuk menanganinya, itulah pintu kesuksesannya yang luar biasa bermula.

Kisah inilah yang akan kita dapatkan dalam kisah kedua trilogi novelinspirasi Dahlan Iskan karya Khrisna Pabhicara yang berjudul Surat Dahlan itu. Tentu kisah kedua ini akan menjadi lebih menarik, karena dalam kisah kedua ini pasti diceritakan secara mendalam bagaimana kisah perjuangan Dahlan Iskan sampai bisa membangun kerajaan bisnis medianya di bawah Grup Jawa Pos itu.

Kita tunggu.***

Bacaan:

Totalitas Khrisna Pabichara saat Menggarap Novel Sepatu Dahlan




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline