[caption id="attachment_171629" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi. Sejumlah wartawan yang tergabung dalam Koalisi Anti Kriminalisasi Pers menggantung kartu pengenal, kamera dan poster saat melakukan aksi./aDMIN (Tribunnews.com/Bian Harnansa)"][/caption]
Pernahkah Anda mendengar Badan Kehormatan (BK) DPR memberi sanksi yang tegas dan keras kepada para anggotanya? Tidak pernah, bukan? Apakah itu berarti anggota DPR itu semuanya baik-baik saja, tanpa masalah yang berarti?
Semua orang tahu, faktanya adalah sudah terlalu banyak anggota DPR yang bermasalah. Mulai dari masalah etika dan moral, sampai dengan masalah-masalah yang sangat serius yang merupakan tindak pidana kejahatan, terutama sekali korupsi. Ada tersangka tetap menjadi anggota DPR, bahkan ada pula yang sudah berstatus terdakwa bisa dibiarkan saja tetap menjadi anggota DPR! Di manakah BK?
Hal ini menunjukkan bagaimana kualitas dari BK itu sendiri. BK sesungguhnya dibentuknya hanya sebagai formalitas belaka di tengah-tengah mentalitas anggota DPR yang kebanyakan bobrok. BK secara faktual berfungsi bukan untuk mengawasi, tetapi melindungi para anggota DPR yang bermental demikian.Karena yang duduk di BK pun tak jauh-jauh dari mentalitas seperti itu.
Sebaliknya, justru wartawanlah yang sesungguhnya berfungsi sebagai pengawas yang efektif. Segala gerak-gerik dan perilaku anggota DPR bisa dipantau dan langsung diwartakan kepada publik. Di era serba canggih dengan teknologi dunia maya seperti sekarang ini efek dari laporan-laporan seperti itu sungguh jitu. Membuat seolah-olah publik hadir dan langsung mengawasi para anggota DPR itu di tempat tidur, eh, tempat kerja mereka. Maka tak heran, mereka pun merasa gerah. Sangat gerah.
Kenapa gerah? Hanya orang yang merasa bersalah, merasa telah berperilaku tidak benarlah yang sesungguhnya akan merasa gerah ketika dilihat orang. Sebaliknya, kalau orang berkinerja bagus, berprestasi bagus, tentu saja malah akan merasa bangga dan senang diliput.
Karena anggota DPR sadar mereka tidak seperti itu, maka mereka pun tidak senang diawasi terus oleh rakyatnya melalui kerja para wartawan. Oleh karena itulah melalui Badan Urusan Rumah Tangga (BURT)-nya, DPR ingin mengatur wartawan agar sedapat mungkin tidak bebas lagi meliput perilaku dan gerak-gerik mereka.
Demikianlah melalui rancangan tata tertib wartawan DPR ingin secara detail mengatur wartawan di DPR. Nama resmi rancangan tersebut adalah Rancangan Peraturan DPR tentang Tata Tertib Peliputan Pers pada Kegiatan DPR. Jadi, wartawan yang sebetulnya sudah diatur dalam kode etik jurnalistik itu, masih dirasakan belum cukup, sehingga masih mau diatur lagi oleh DPR.
Tidak main-main, rancangan peraturan tata-tertib yang harus dipatuhi wartawan di DPR itu terdiri dari 15 halaman, dengan 40 pasal! Sesungguhnya hal ini justru mencerminkan betapa ketakutan anggota DPR terhadap wartawan. Semakin banyak pasal, menunjukkan seberapa jauh ketakutan itu ada.
Kenapa takut? Karena mereka sebenarnya sadar bahwa perilaku mereka selama ini sangat tidak patut, dan oleh karena itu takut diketahui publik. Begitu banyaknya perilaku jelek mereka, sehingga hal itu harus dibentengi dengan 40 pasal ketentuan yang membatasi segala macam gerak-gerik wartawan.
Banyak terdapat aturan yang sangat konyol, bahkan menghina profesi wartawan. Misalnya, hanya wartawan yang mempunyai kartu peliputan DPR yang boleh melakukan peliputan kegiatan DPR. Untuk memperoleh kartu itu, wartawan antara lain wajib memberikan contoh berita tentang DPR yang sudah dimuat serta pernyataan bermeterai yang menyatakan penghasilan utamanya sebagai wartawan. Apa hubungannya dengan DPR? Apa mereka pikir, supaya bisa tahu penghasilan wartawan, terus wartawan itu mau disogok untuk memberitakan yang bagus-bagus saja tentang mereka?
Untuk apa contoh berita tentang DPR yang pernah dimuat? Apakah untuk mengukur seorang wartawan itu kritis, ataukah tidak kepada DPR? Yang ketahuan kritis, tidak akan diberi kartu liputan itu? Atau, supaya wartawan menjadi takut tidak diberi izin meliput, sehingga hanya menulis yang baik-baik saja tentang DPR?
Masih terdapat banyak aturan-aturan yang konyol dalam rancangan tata-tertib peliputan tentangkegiatan DPR itu, seperti dilarang meliput langsung kegiatan DPR dengan cara menggunakan telepon selular, wartawan TV harus siap 3 jam sebelum rapat dimulai, padahal rapat di DPR itu selalu molor sampai beberapa jam, anggota DPR berhak menolak bicara ketika ditanya wartawan, hanya ketua rapat saja yang boleh diwawancarai, dan dia berhak menolaknya, sampai pada urusan wartawan dilarang duduk-duduk lesehan di lantai gedung DPR.
Bentuk ketakutan, atau lebih tepat paranoid anggota DPR ini sesungguhnya juga merupakan bentuk ketakutan lain mereka terhadap rakyat yang katanya diwakilinya itu.
Bentuk ketakutan lain dari mereka kepada rakyatnya sendiri adalah dengan membuat pagar setinggi mungkin di sekelilingi gedung tempat mereka tidur, eh, kerja. Hanya di Indonesia saja ada pagar yang sedemikian tinggi dan kokoh di gedung wakil rakyat. Karena hanya di Indonesia sajalah wakil rakyatnya takut sama rakyatnya. Tidak seperti di gedung parlemen Australia, misalnya, selain tanpa pagar yang berarti, ruang rapat parlemen sengaja dibuat agak ke bawah tanah. Untuk mengingatkan mereka yang kerja/rapat di sana bahwa mereka sebetulnya berada di bawah kaki rakyatnya, bekerja untuk rakyatnya. Bukan untuk parpol-nya.
[caption id="attachment_161677" align="aligncenter" width="565" caption="Paranoid dengan rakyat sendiri, benteng pagar pun dibuat. Mubazir, kalau perilaku DPR sendiri tidak diperbaiki. (tribunnews.com)"]
[/caption]
Semua benteng yang dibuat atau hendak dibuat oleh para perampok rakyat itu, eh, oleh para wakil rakyat itu sesungguhnya adalah upaya yang mubazir kalau kelakuan mereka sendiri tidak mau diperbaiki. Apalagi malah semakin lama semakin memuakkan. Terbukti pagar tinggi nan kokoh itu pun jebol juga di tangan rakyat tani yang mengamuk di sana di bulan Januari 2012 lalu. Karena merasa tidak direken para anggota DPR ketika mereka hendak menyampaikan aspirasinya di sana.
Apalagi hanya dengan upaya membuat peraturan tata-tertib meliput kegiatan DPR yang serba konyol itu. Mereka lupa, ini bukan zamannya Orde Baru lagi, wartawan dan publik bukan terdiri dari orang-orang naif apalagi pandir, sehingga bisa menerima begitu saja peraturan tata tertib yang sebenarnya adalah kamuflase dari upaya menutup-nutupi kebobrokan itu.
Tidak heran hujan kritik dan protes pun bertaburan, yang malah membuat reputasi DPR semakin hancur di depan mata publik. Tidak tahan dengan semua itu, akhirnya DPR pun memutuskan menunda pembahasan dan pengesahan rancangan tata tertib tersebut. Tetapi lagi-lagi, kalau bukan DPR namanya, selalu punya dalih yang tidak kalah membuat orang muak pula.
Kata Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso, “Rapat pimpinan kemarin (15/2/2012) menyepakati pending dulu rencana pengaturan tentang peliputan pers karena ada salah persepsi (wartawan/publik)” (Kompas.com, 16/2/2012).
Apanya yang salah persepsi? Semua jelas begitu, kok dibilang salah persepsi? Kenapa tidak mau mengaku saja yang sebenarnya?
Priyo juga mengatakan, pengaturan peliputan pers tidak dimaksudkan untuk membatasi ruang gerak wartawan di DPR. Untuk itu, Priyo akan memberi kesempatan kepada wartawan membahas rancangan tata tertib itu dan memberi masukan perbaikan.
"Biarkan saja dulu. Intinya tidak ada keinginan untuk membatasi apa pun. Teman-teman tetap bebas merdeka melaporkan apa pun," kata politisi Partai Golkar itu ketika ditanya sampai kapan penundaan pembahasan.
Sebelumnya juga dikatakan bahwa rancangan tata-tertib itu dibuat atas kehendak dan masukkan wartawan sendiri.
Apa masuk akal, wartawan menghendaki dan memberi masukkan yang justru akan mengekang mereka sendiri dalam meliput kebebasan meliput berita di DPR? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H