Lihat ke Halaman Asli

Daniel H.T.

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Kasus GKI Yasmin, Pemerintah adalah Sumber Masalahnya

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_149418" align="aligncenter" width="620" caption="Sejumlah jemaat dari GKI Taman Yasmin menggelar aksi damai menuntut kebebasan untuk menunaikan ibadah di gereja mereka yang terletak di Jalan KH Abdullah Bin Nuh, Kelurahan Curug Mekar, di depan Istana Negara, Jakarta, Minggu (17/4/2010). (Kompas.com)"][/caption]

"(Pemerintah) kalah sama preman," kata Eva Kusuma Sundari, politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jumat (16/12/2011) malam.

Demikian yang diwartakan Kompas.com. 16 Desember 2011. Menanggapi kebijakan pemerintah dalam menangani kasus GKI Yasmin yang masih terus berlarut-larut. Padahal secara hukum seharusnya semua sudah berakhir. Pemerintah Kota Bogor telah dinyatakan kalah melawan GKI Yasmin  dengan keluarnya keputusan PK dari Mahkamah Agung,  Isinya, mewajibkan Walikota Bogor mencabut pembekuan IMB GKI Yasmin. Dengan demikian GKI Yasmin berhak untuk menggunakan gedung gereja mereka kembali untuk beribadah. Tidak mungkin ada lagi upaya hukum baru, atau cara-cara lain yang bisa menghalangi keputusan PK tersebut.

Tetapi, yang terjadi malah sebaliknya, dan sangat tidak rasional. Walikota Bogor Diani Budiarto yang menerima salinan Putusan PK tersebut pada tanggal 7 Maret 2011, lalu seolah-olah melaksanakan putusan tersebut dengan menerbitkan SK tertanggal 8 Maret 2011. Tetapi, tanggal 11 Maret 2011 dia kembali menerbitkan SK Walikota yang baru yang isinya kembali membekukan IMB GKI Yasmin!

Ini benar-benar akal dan trik licik yang manipulatif yang hanya biasa dilakukan oleh para preman. Jadi, pernyataan Eva Kusuma Sundari tersebut di atas kurang tepat. Yang tepat adalah pemerintah telah berperilaku seperti preman, dan bekerja sama dengan para preman untuk menginjak-injak hukum negara.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi bukannya memerintah Walikota Bogor untuk melaksanakan keputusan PK itu, tetapi malah meminta pengelola GKI Yasmin yang menurut kehendak Pemerintah Kota Bogor untuk pindah dari lokasi milik mereka sendiri itu. Seolah-olah putusan PK itu tidak pernah ada.

Ketidakseriusan pemerintah untuk mengatasi persoalan ini pun terlihat ketika pada tanggal 12 Desember lalu, waktu akan diadakan rapat antarkomisi DPR dengan pemerintah, yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Kapolri untuk membicarakan masalah ini, terpaksa dibatalkan. Karena pihak dari pemerintah yang diwakili oleh ketiga pejabat tinggi negara itu tidak datang, tanpa ada pemberitahuan apapun.

Meskipun seharusnya segala macam rapat semacam ini tidak perlu ada lagi. Karena secara hukum begitu telah keluar putusan final dari upaya hukum paling akhir, yakni PK, maka yang tersisa hanyalah pihak yang kalah harus melaksanakan segera putusan tersebut tanpa syarat apapun. Tidak ada lagi embel-embel lain.

Sejak awal kasus ini sebenarnya sudah tidak rasional. Baik secara umum, maupun secara hukum. Masalah IMB sebenarnya hanyalah alasan kamuflase. Alasan sebenarnya dari perintah Pemerintah Kota Bogor agar GKI pindah lokasi adalah karena nama jalan di lokasi GKI Yasmin itu berada, berubah nama. Sejak nama itu berubah nama jalan menjadi salah satu tokoh Islam itulah, pihak Pemerintah Kota Bogor yang diwakili oleh Walikota Bogor itu membekukan IMB GKI, dengan maksud supaya GKI pindah dari sana. Alasan ini pernah secara terbuka dikemukakan pula oleh Diani Budiarto.

Demi alasan yang tidak rasional ini pun pemerintah dikabarkan rela mengeliuarkan dana dari kas negara secara tidak rasional pula. Dikabarkan bahwa pemerintah telah menyediakan dana sebesar Rp. 4.3 miliar untuk memindahkan GKI Yasmin dari tanah milik mereka itu.

Kasus GKI Yasmin, Bogor yang tidak pernah menunjukkan penyelesaiannya ini semakin menunjukkan bagian dari sisi terlemah pemerintahan SBY dalam menjalankan kewajibannya sebagai pimpinan bangsa untuk melindungi hak-hak asasi rakyatnya.

Ketika saya mengatakan tentang ketidakperdulian SBY dalam kasus ini, ada yang memberi komentar, masa seorang Presiden sampai harus mengurus langsung kasus itu. Jawaban saya adalah, SBY tidak perlu harus langsung turun tangan. Tetapi yang harus dia lakukan adalah memerintahkan Mendagri agar memerintah Walikota Bogor agar patuh kepada hukum. Dengan segera menjalankan apa yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung dalam  PK-nya itu. Demikian juga rekomendasi dari Ombudsman terhadap Walikota Bogor. Yakni membatalkan pembekuan IMB,  membuka segel, dan mengizinkan jemaat GKI Yasmin menjalankan ibadahnya di atas tanah dan gedung gereja milik mereka sendiri. Bilamana perlu Diani Budiarto, sang walikota itu dicopot dari jabatannya kalau masih terus bersikeras dengan sikapnya yang membangkang terhadap hukum itu.

Putusan PK Mahkamah Agung merupakan upaya hukum final yang menutup semua upaya/kemungkinan lain. Satu-satu jalan hanyalah melaksanakan putusan tersebut. Itu adalah sesuai dengan sistem hukum di negara manapun yang mengakui hukum adalah suatu kepastian dan ada di atas segala-galanya dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Sangat tidak rasional, malah pemerintah pusat, yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama, malah menyerukan supaya diadakan lagi rapat musyawarah untuk mencari solusi terbaik. Keberadaan Putusan PK sama sekali tidak dianggap mereka. Ini namanya seruan dari pemerintah yang secara tak langsung mendukung, dan mengajak semua pihak terkait untuk membangkang terhadap hukum negara. Sesuatu yang sudah final secara hukum, mau dimentahkan lagi untuk masuk ke dalam lingkaran setan yang tidak berkesudahan.

Musyarawah apa lagi yang harus dilakukan, kalau upaya hukum paling tinggi sudah selesai dijalankan?

Kalau hal ini dilakukan, kemudian menjadi preseden. Maka, tidak akan ada lagi yang menghormati hukum, dan tidak akan ada lagi kepastian hukum di negara ini. Semua pihak yang kalah di tingkat kasasi, dan PK, akan masih bisa berkelit dengan menawarkan musyarawah lagi untuk membuat sesuatu yang sudahpasti secara hukum menjadi mentah lagi. Berputar-putar menjadi lingkaran setan yang tidak berujung.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pemerintah sebenarnya memang menghendaki GKI Yasmin melaksanakan kehendak Walikota Bogor, bukan menghendaki supaya Walikota Bogor menjalankan putusan PK dari Mahkamah Agung. Inikah yang dinamakan negara hukum?

Sudah benar sikap GKI Yasmin yang menolak kehendak pemerintah itu untuk hengkang dari tanah dan gedung yang mereka miliki secara sah. Sudah benar sikap GKI Yasmin yang lebih taat terhadap putusan hukum yang jauh lebih tinggi (Kasasi dan PK Mahkamah Agung) daripada hanya sebuah putusan selevel keputusan walikota yang manipulatif itu. Sudah benar sikap GKI Yasmin yang menolak seruan pemerintah pusat untuk bersama-sama membangkang terhadap hukum negara.

Lagi pula, seperti yang dikatakan oleh Nusron Wahid, politisi Partai Golkar yang juga Ketua Umum GP Ansor, apakah pemerintah bisa menjamin setelah direlokasi, di tempat baru jemaat GKI Yasmin itu tidak diganggu lagi? Kalau pemerintah mengatakan bisa menjamin, lalu kenapa di tempat sekarang tidak bisa menjamin? (Kompas.com, 16 Desember 2011).

Kalau hal seperti ini menjadi preseden nanti di mana-mana di daerah-daerah lain akan terjadi masalah seperti ini lagi. Pemerintah tunduk pada kehendak kelompok yang anarkis, kemudian melakukan relokasi demi relokasi, lanjut Nusron Wahid.

Bercermin pada pengalaman yang dialami oleh jemaat HKBP Ciketing, yang mengalami nasib yang sama pada tahun 2010, membuktikan bahwa pemerintah ternyata tidak berkomitmen pada janjinya semula. Ketika berhasil memaksa jemaat HKBP Ciketing untuk relokasi sementara ke gedung milik pemerintah kota Bekasi, dijanjikan mereka akan dibangun gereja permanen baru di lokasi lain. Faktanya, sampai hari ini janji tersebut belum diwujudkan.

Jadi, sebenarnya masalah ini sudah selesai begitu keluar putusan PK Mahkamah Agung pada Maret 2011 lalu. Pemerintah Kota Bogor melaksanakan sepenuhnya putusan PK tersebut. Pembekuan IMB dibatalkan, segel gereja dibuka, dan jemaatnya kembali bisa menjalankan ibadahnya dengan bebas. Adalah kewajiban pemerintah untuk bisa menjamin hak-hak dasar mereka itu bisa berlangsung dengan lancar dan damai.

Ironisnya, justru pemerintahlah yang  menjadi sumber masalah.  Yang didasari oleh pemikiran sempit yang tidak rasional, dan sedikitpun tidak punya rasa hormat dan patuh kepada hukum negara. Padahal katanya ini adalah negara hukum, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. ***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline