[caption id="attachment_96847" align="alignleft" width="450" caption="Sekilas kelihatan seperti bom. Tetapi tiada maksud pembuatnya meniru, ini bukan suatu bentuk teror bom. Tetapi ini adalah suatu kreasi dari sebuah speaker berbentuk bom"][/caption] Fenomena bom buku dan bom paket berkembang menjadi seperti film horor Indonesia. Seharusnya menakutkan, tetapi mau tak mau bikin tertawa juga. Di awal peristiwa saja, yang dimulai dari bom buku yang dikirim kepada Ulil Abshar Abdalla di Utan Kayu, sudah membuat orang ketakutan dan juga sekaligus bikin orang menggeleng-geleng kepalanya karena adanya kekonyolan di sana. Sebagaimana saya uraikan di tulisan saya yang berjudul "Bom Utan Kayu: Kekonyolan ala 'The Must Be Crazy' " Setelah bom buku di Utan Kayu, masih ada beberapa bom buku lagi yang dikirim ke beberapa tokoh, antara lain kepada Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Goris Mere, Ketua Pemuda Pancasila Yapto Suryosumarno, dan artis Ahmad Dhani. Kemudian teror atau "teror" itu pun tersebar, berkembang seperti bola liar ke mana-mana, di berbagai kota di Indonesia. Mulai dari Jabodetabek, Cisarua, Semarang, Yogyakarta, Bandung, Kuta (Bali), Makassar, Kendari dan entah di mana lagi. Mabes Polri pun sibuk dibuatnya, tim Gegana pun terpaksa kerja ekstra untuk mengamankan bom-bom dan "bom-bom" itu. Sejak awalperistiwa di Utan Kayu, Selasa, 15 Maret lalu sampai hari ini Polri, Densus 88, maupun Inteljen negara belum mampu menemukan siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas semua kejadian ini. Yang ada adalah banyaknya komentar, analisa-analisa, yang memenuhi media. Tiba-tiba pula bermunculan banyak "pakar bom." Mulai dari di koran, radio, sampai di televisi, membuat semakin ramai, dan semakin membingungkan saja. DPR pun tak mau ketinggalan bikin pernyataan dan beraksi. Katanya, mereka akan memanggil Kapolri berkaitan dengan kasus ini. Semua itu membuat kita ini entah mau resah, kecewa, bingung, marah, ataukah tertawa. Polri pun sibuk dengan berbagai pernyataannya: "bom ini termasuk berdaya ledak rendah/tinggi, jenis bomnya sama dari bom yang di anu, pelakunya profesional, pelakunya orang lama, dan seterusnya. Sehingga membuat Polri itu seolah-olahtelah berubah menjadi "komentator bom," ketimbang penyelidik pelaku bom. Tim Gegana terpaksa seolah-olah berubah profesinya dari penjinak bom menjadi penjinak pakaian, sepatu, buku, undangan, bingkai foto, boneka, jas hujan, coklat, compact disc, bahkan sampah. Karena ternyata puluhan laporan masyarakat yang ketakutan dengan paket yang mencurigakan sebagai bom itu, dan dilaporkan ke Polisi itu sama sekali bukan bom. Tetapi paket, kotak kardus, dan tas yang berisi benda-benda tadi. Yang kemudian tetap diledakkan oleh tim Gegana, karena memang prosedurnya demikian dalam menangani benda-benda yang mencurigai, demikian yang diterangkan pihakpolisi. Mudah-mudahan benar demikian. Bukan keterangan yang dibuat untuk menutup malu. Tim Gegana kok kerjanya meledakkan benda-benda "tak berdosa" itu. Sudah seminggu berlalu Polri terpaksa menahan malu karena belum juga mampu menemukan dan menangkap siapa yang bertanggung jawab atas semua bom dan "bom" ini. Masih ditambah lagi, ketika seolah-olah hendak mengejek polisi. sebuah kotak kardus yang dicurigai sebagai bom apalagi terdapat tulisan: "Tolak Pemilu dan RI 1 Mundur" justru diletakkan di sebuah pos polisi di Simpang Lima, Bandung. Yang menemukannya juga dua orang polisi. Tim Gegana pun turun tangan. Jalan Asia-Afrika pun ditutupdengan Garis Polisi. Ternyata yang ada dalam kotak kardus itu bukan bom, tetapihanya rangkaian 9 buah baterei yang dilekatkan jadi satu, ditambah tulisan "ancaman" tadi. Dari sekian puluh laporan masyarakattentang benda yang dicurigai sebagai bom, termasuk 25 laporan di wilayah Jabodetabek, hanya 5 yang benar-benar bom dengan daya ledak rendah. Namun demikian tetap saja sanggup membuat masyarakat terus resah. Bahkan menjurus pada paranoid. Beginilah yang terjadi kalau pemerintah tidak mampu menjalankan tugasnya untuk menjamin rasa aman dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya. Ketakutan tersebut membuat bermunculan tindakan-tindakan antisipasi yang bermaksud untuk mencegah terjadi lagi teror bom yang dikirim dalam bentuk paket itu. Tetapi malah terkesan berlebihan, kalau tidak mau disebut sia-sia, atau bahkan konyol? Pihak Pos Indonesia, danbeberapa ekspedisi mulai memperketat penerimaan paket yang dikirim melalui mereka. Bahkan ada ekspedisi yang mengharuskan pengirimnya memperlihatkan isi paketnya sebelum dibungkus dan dikirim. Pertanyaannya: Apakah pelaku pembuat/pengirim bom itu mau bertindak begitugegabah dengan mengirim paket bomnya lewat kantor Pos, atau melalui ekspedisi seperti tu? Bukankah semua paket (yang diduga) bom buku dan paket bom lainnya yang dikirim itu, termasuk yang untuk Ulil, Yapto, Goris Mere, dan Ahmad Dhani itu tidak menggunakan jasa ekspedisi manapun? Pelakunya hanya menggunakan kuris lepas. Yang mungkin saja dipilih secara acak dari orang-orang yang ditemeui di jalanan, di pasar, atau di mana saja, dikasih tip untuk menjadi kurir, mengantar, atau meletakkan paket bomnya itu. Ya, akan sangat lebih mudah dan praktis, sekaligus jauh lebihsulit dilacak (tanpa jejak) dengan menggunakan kurir lepas/dadakan seperti itu daripada menggunakan jasa ekspedisi/kurir resmi seperti kantor Pos, atau jasa ekspedisi swasta lainnya. Seolah-olah supaya kisah horornya lebih lengkap, atau supaya terkesan sepenanggung sependeritaan; Ketua DPR, Mendagri, dan bahkan Presiden SBY pun mendapat kiriman "bom buku" tersebut. Mungkin maksudnya sudah kelihatan adanya semacam perwujudannyata dari rasa empati mereka terhadap keresahan yang telah mendera rakyat. Lalu, untuk apa teror bom-bom atau "bom-bom" itu? Apakah benar asli merupakan suatu maksud membuat resah masyarakat, ataukah hanya merupakan suatu strategi kotor dari penguasa untuk melakukan pengalihan isu-isu , seperti yang dianalisa oleh sebagianorang yang pakar, atau merasakan dirinya pakar bom dan teroris itu? Kalau ini merupakan taktik penguasa untuk mengalihkan perhatian publik dari hal-hal yang akhir-akhir ini semakin memojokkan mereka, misalnya heboh bocoran Wikileaks di dua koran Australia, The Age dan The Sidney Morning Herald, maka justru hal tersebut akan menjadi bumerang. Karena dengan berlarut-larutnya teror ini dan belum juga berhasilnya Polri menemukan pelakunya (karena pelakunya sesungguhnya pihak penguasa sendiri?) maka justru akan membuat citra penguasa, termasuk Polri menjadi semakin merosot. Publik akan menilai bahwa penguasa dan Polri tidak becus menjalankan kewajibannya untuk menjaga keaman dan ketertiban serta mengayomi rakyat dari segala macam bentuk kejahatan dan terorisme. Kecuali jika untuk melengkapi strategi pengalihan isu tersebut di ujung cerita akan ada (muncul) tumbalnya; seseorang atau lebih akan tampil sebagai pelakunya dan ditangkap. Ataukah demi mencari selamat dari hal-hal yang lebih buruk bagi mereka (seperti kebenaran dalam bocoran dokumen Wikileaks) mereka rela mengorbankan citra tersebut? Toh, mungkin pikir penguasa, yang menjadi sasaran kecaman khususnya adalah pihak Polri? Atau lebih baik citranya merosot seperti ini daripada perhatian publik terus-menerus tertuju kepada berita-berita yang dapat merusak citra politiknya secara langsung, yang dampaknya bisa jauh lebih fatal? Sebaliknya, kalau memang ini benar-benar asli suatu bentuk teror dari suatu kelompok teroris tertentu, maka kita semua harus super hati-hati! Karena bisa jadi meskipun kelihatan konyol, dengan ditemukan paket-paket dan kotak kardus yang dicurigai sebagai bom, yang ternyata hanya berisi benda-benda seperti kain, pakaian, sepatu, pigura foto, sampah, dan setrusnya, atau hanya merupakan bom-bom dengan daya ledak yang rendah itu, sebenarnya merupakan bagian dari strategi yang sedang dilancarkan teroris. Setelah publik dan Polri sudah merasa jenuh dengan permaianan konyol tersebut dan kemudian mulai lengah, maka maksud sebenarnya atau sasaran utamanya segera dilaksanakan, yakni melakukan aksi bom secara besar-besaran den daya ledak yang sangat tinggi di suatu tempat yang benar-benar strategis secara politis. Meskipun kita kecewa terus dengan Polri, kita masih tetap mengharapkan mereka akhirnya akan berhasil mengungkapkan kejadian ini sekaligus mencegah maksud teroris tersebut, kalau memang demikian adanya. Tetapi kalau memang ini hanyalah strategi pengalihan isu. Semoga akan ada peran semacam Wikileaks yang akan membongkarnya. Kita tentu tidak mengharapakn bahwa kalau seandainya ini hanya strategi pengalihan isu, mudah-mudahan saja akan ada bom benaran yang meledak di tempat si pembuat strategi tersebut. Bukan itu, harapan rakyat. Karena sesungguhnya rata-rata rakyat itu lebih mulia hatinya daripada penguasa, dan dan termasuk para wakilnya. Benarkah begitu? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H