Lihat ke Halaman Asli

Daniel H.T.

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Misi Rahasia Ruki di Balik Pelimpahan Perkara BG ke Kejaksaan Agung?

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1425316843287376577

[caption id="attachment_353615" align="aligncenter" width="668" caption="(Harian Kompas)"][/caption]

Kekhawatiran itu pun terjadilah!

KPK di bawah Ketua sementaranya Taufiequrachman Ruki telah memutuskan KPK akan melimpahkan berkas kasus Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan kepada Kejaksaan Agung!

Alasannya, berdasarkan Undang-Undang KPK, KPK  tidak dapat menghentikan suatu perkara (KPK tidak mengenal SP3), sedangkan berdasarkan putusan Praperadilan pada 16 Februari 2015, hakim tunggal Sarpin Rizaldi telah memutuskan antara lain KPK tidak berwenang memeriksa perkara Budi Gunawan, karena Budi meskipun seorang polisi, dia bukan seorang penegak hukum dan bukan penyelenggara negara. Sedangkan KPK hanya berwenang memeriksa penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.

Keputusan Sesat Hakim Sarpin (yang Disengaja?)

Padahal keputusan hakim Sarpin Rizaldi tersebut tidak hanya kontroversial, tetapi lebih dari itu, yakni telah nyata-nyata menciptakan keguncangan dan mengancam perusakan sistem hukum yang luar biasa.

Boleh dikatakan, di luar kubu Budi Gunawan, semua pakar hukum pidana, termasuk mantan hakim agung dan hakim konstitusi berada dalam satu suara yang mengecam hakim Sarpin dengan keputisan praperadilannya itu, di antaranya (detik.com):

-Mantan Ketua MA Dr Harifin Tumpa: Saya kira kita menghormati putusan hakim tapi dari segi hukum banyak menimbulkan pertanyaaan, aneh. Hakim berpendapat karena penetapan tersangka tidak diatur maka bisa dijadikan objek, tidak boleh seperti itu.

-Mantan Ketua Muda MA bidang Pidana Khusus Djoko Sarwoko: Hakimnya tersesat! Ngawur. Hakim terbawa arus, harusnya menolak.

-Mantan Hakim Agung Prof Dr Komariah Emong Sapardjaja: Putusan Sarpin bukan penemuan hukum tapi unprofessional conduct alias bodoh atau kemasukan angin. Sarpin telah menelikung UU.

-Pakar Hukum Pidana Prof Dr Hibnu Nugroho: Ini yang disebut chaos hukum. Tirani! Putusan ini merupakan kesesatan yang luar biasa dan merusak sistem.

-Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki: Putusan ini memang mengguncangkan, menimbulkan keruwetan hukum, dan bertentangan dengan semangat Mahkamah Agung soal konsistensi putusan.

-Mantan Hakim Konstitusi Dr Harjono: Hakim ini (Sarpin) ini kan buat penafsiran-penafsiran sendiri tidak sesuai KUHAP. Maka untuk mencari kepastian hukum sebaiknya KPK ajukan PK saja.

-Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun: Ini seperti ada kecacatan terhadap putusan hukum, satu-satunya jalan (untuk KPK) ya PK. Sah-sah saja karena hakim Sarpin sudah melampaui kewenangannya dalam menetapkan KUHAP.

-Mantan Ketua MK Dr Hamdan Zoelva: Jika hakim Sarpin memutus perkara BG dengan jujur dan atas dasar kebenaran, kita angkat jempol karena berani. Bila tidak, ia merusak hukum.

Bivitri Susanti, peneliti Pusat Studi Hukum Hukum dan Kebijakan Indonesia, dalam artikelnya yang berjudul Kotak Pandora Negara Hukum, di Harian Kompas, Senin, 2 Maret 2015, menyebutkan putusan hakim Sarpin itu merupakan bagian dari “pembunuhan negara hukum”.

Artinya, jika putusan tersebut dilaksanakan dan kemudian dijadikan kebiasaan maka rusaklah sistem hukum negara, dengan demikian apa yang dinamakan negara hukum itu hanyalah utopia belaka.

Gejala itu sudah mulai tampak, ketika tiga tersangka korupsi lainnya sudah mengikuti jejak Budi Gunawan, yaitu mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome, dan Sutan Bhatoegana. Terbuka peluang semakin banyak orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka baik oleh KPK, maupun Polri dan Kejaksaan kelak akan berbondong-bondong mempraperadilalkan status mereka tersebut. Betapa mengerikan jika kemudian hakim-hakimnya juga mengikuti cara hakim Sarpin memutuskan sidang praperadilan tersebut

Apa yang telah dilakukan hakim Sarpin Rizaldi itu sama sekali bukan penemuan hukum, tetapi penyelundupan hukum yang merusak sendi-sendi hukum! Sebuah perbuatan yang hanya bisa dilakukan oleh hakim yang sesat. Hakim sesat harus diberi ganjaran yang sepantasnya!

Yang disebut penemuan hukum oleh hakim apabila di dalam suatu kasus hakim tidak menemukan suatu ketentuan hukumnya, atau adanya ketidakjelasan pengaturan hukumnya, kemudian berdasarkan pengetahuan hukum, nalar,  dan kebijaksanaannya sebagai seorang hakim yang arif ia membentuk hukum yang melahirkan suatu keputusan hakim.

Syarat ini sama sekali tidak ada di dalam pengaturan hukum tentang syarat-syarat suatu praperadilan karena sudah dengan sangat jelas, tidak boleh ada lagi penafsiran dengan alasan apapun, definitif disebutkan di dalam Pasal 77 KUHAP, apa saja yang boleh menjadi obyek praperadilan itu. Di luar daripada itu tidak diperbolehkan. Kalau itu dilakukan hakim, maka dia telah melampui kewenangannya, salah dalam melakukan suatu penerapan atau hukum, atau bahkan melanggar hukum.

Pasal 77 KUHAP

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

a.sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

b.ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

*

Dalam putusannya itu hakim Sarpin juga menyatakan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, KPK hanya berwenang memeriksa kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh penegak hukum dan penyelenggara negara. Menurutnya, yang dimaksud dengan penegak hukum adalah mereka yang termasuk dalam kategori sebagai: penyelidik, penyidik, jaksa, penuntut umum, dan hakim.

Sedangkan Budi Gunawan, menurut hakim Sarpin, meskipun dia polisi, dia bukan penegak hukum, karena tidak termasuk dalam kategori tersebut di atas. Karena Budi Gunawan bukan polisi penegak hukum, maka dengan demikian KPK tidak berwenang memeriksanya. Maka itu tidak sah status tersangka yang disematkan KPK kepada Budi Gunawan.

Benarkah demikian?

Sulit dipercaya, seorang hakim senior seperti dia bisa melakukan suatu penafsiran hukum yang sedemikian parah melencengnya. Sebab apa yang disebutkan tentang siapa yang dimaksud dengan penegak hukum itu sebenarnya sudah jelas diatur di dalam ketentuan hukum tertulis.

Pasal 4 KUHAP:

Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI

Pasal 2

Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan

pelayanan kepada masyarakat.

Pasal 5 ayat (1):

Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta

memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Pasal 15 ayat 1 dan 2:

Menjelaskan tentang apa saja yang menjadi wewenang setiap anggota kepolisian Negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya tugas sebagai penyelidik dan penyidik.

Jadi, bagaimana bisa hakim Sarpin berani menetapkan sendiri “peraturannya”, bahwa meskipun Budi Gunawan adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dia tidak termasuk penegak hukum?

Saya menjadi curiga ini merupakan suatu kesengajaan dengan maksud dan tujuan entah apa.

Ketika hakim Sarpin memperluaskan kewenangannya dengan mengadili praperadilan status tersangka Budi Gunawan, menetapkan KPK tak berwenang memeriksa Budi Gunawan, dan memutuskan status tersangka tersebut batal demi hukum, maka sesungguhnya dia telah melakukan lebih dari satu pelanggaran serius sekaligus, yaitu melampui kewenangannya, dan salah dalam menerapkan hukum atau bahkan melanggar hukum yang sudah diatur dengan jelas itu.

Mantan Ketua MA Harifin Tumpa dan mantan Ketua MK Mahfud MD selain mengencam putusan hakim Sarpin itu, juga sepakat bahwa KPK bisa, bahkan seharusnya mengajukan PK kepada MA, agar membatalkan putusan hakim Sarpin yang sesat tersebut.

Penyataan kedua tokoh besar hukum Indonesia ini tak perlu diragukan lagi keakuratnnya, apalagi jika kita membaca Pasal 30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung:

Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan

Pengadilan-pengadilan dari semua Lingkungan Peradilan karena :

a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;

b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;

c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Dengan mempertimbangkan hal-hal seperti tersebut di atas, Komisi Yudisial sudah memastikan akan memeriksa hakim Sarpin Rizaldi mengenai keputusannya tersebut, Mahkamah Agung juga membuka peluang untuk memeriksa hakim Sarpin. Jika ia bersalah, maka ia dapat dipecat, dan keputusannya itu dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Beberapa kasus serupa sudah pernah terjadi, yang berujung pada penjatuhan sanksi kepada hakimnya, dan pembatalan pada putusan praperadilannya.

Misi Rahasia Ruki di Balik Pelimpahan Perkara BG?

[caption id="attachment_353725" align="aligncenter" width="511" caption="Taufiequrachman Ruki setelah dilantik Presiden Jokowi sebagai Ketua KPK sementara, bersama Wakapolri Badrodin Haiti, di Istana Negara, Jakarta, 20 Februari 2015 (Kompas.com)"]

14253767791794150242

[/caption]

[caption id="attachment_353726" align="aligncenter" width="501" caption="Bersama Jaksa Agung, M Prasetyo (beritasatu.com)"]

1425377011909438747

[/caption]

Melihat perkembangan kontroversi kasus hukum seperti tersebut di atas, timbul pertanyaan dengan rasa curiga, kenapa Ketua KPK sementara Taufiequrachman Ruki malah bergegas, cepat-cepat, hari Senin, 2 Maret 2015, ke Kejaksaan Agung untuk melimpahkan perkara Budi Gunawan, dari KPK kepada Kejaksaan Agung?

Seolah-olah langkah itu sengaja dilakukan buru-buru mendahului akan adanya pemeriksaan terhadap hakim Sarpin oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Diduga, Ia khawatir kalau sampai hakim Sarpin terlanjur diputuskan bersalah, dan putusan praperadilannya yang memenangkan Budi Gunawan itu dibatalkan, maka KPK-lah yang akan meneruskan penyidikan perkara tersebut. Ini sangat tidak diinginkan Ruki. Karena jika KPK yang melanjutkan, maka sudah pasti akan sampai ke pengadilan tindak pidana korupsi. Sebab KPK tidak mengenal penghentian perkara, atau SP3. Padahal inilah yang dikehendaki, yaitu kasus Budi Gunawan harus dihentikan. Maka itulah cepat-cepat Ruki melimpahkan perkara Budi Gunawan ini kepada Kejaksaan Agung. Nanti di Kejaksan Agung setelah “diutak-atik” sedikit, diciptakan alasan bahwa karena tidak terdapat cukup bukti, dan mengingat putusan sidang praperadilan tanggal 16 Februari, maka dengan ini Jaksa Agung memutuskan untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) buat Budi Gunawan!

Hal tersebut mungkin saja terjadi, mengingat Jaksa Agung M Prasetyo adalah kader Partai NasDem, yang baru saja mundur setelah dia diangkat sebagai Jaksa Agung oleh Presiden Jokowi. Sedangkan pendiri dan Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh sejak awal dikenal sebagai salah satu dari tiga tokoh penting yang mati-matian mempertahankan Budi Gunawan sebagai Kapolri, dan ingin Budi Gunawan dinyatakan bersih dari kasus hukum. Selain Surya, adalah Megawati dan Jusuf Kalla. Percayakah kita bahwa Jaksa Agung Prasetyo itu berani melakukan tindakan yang berlawananan dengan kehendak Surya Paloh?

Dicurigai, demi maksud tersebutlah maka Ketua KPK Taufiequrachman Ruki buru-buru melimpahkan perkara Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung. Skenario ini bisa berjalan mulus karena yang menghendaki Ruki menjadi Ketua KPK menggantikan Abraham Samad adalah Jusuf Kalla.

Jadi, mereka semua pura-pura bodoh, pura-pura ikut berpikiran sesat seperti hakim Sarpin, demi tercapai maksud tersebut (kasus Budi Gunawan dinyatakan di-SP-3-kan).

Maka sinyalemen: Taufiequrachman Ruki kembali, Budi Gunawan senang, semakin mendapat pembenarannya.



Pertama Kali Terjadi: Pegawai KPK Menentang Pemimpinnya!

Langkah Ruki yang bergegas melimpahkan perkara Budi Gunawan kepada Kejaksaan Agung itu memang aneh dan menimbulkan curiga, sebagaimana saya uraikan di atas. Tak heran para penyidik KPK sendiri pun serta merta menyatakan penolakan mereka terhadap tindakan atasan baru mereka itu.

Berdasarkan pernyataan tertulis yang diterima Kompas.com, Ketua Wadah Pegawai KPK Faisal menyatakan bahwa para pegawai KPK menolak pelimpahan kasus tersebut.

"Menolak putusan pimpinan KPK yang melimpahkan kasus BG ke kejaksaan," ujar Faisal melalui pernyataan tertulis, Senin (2/3/2015).

Faisal mengatakan, para pegawai juga meminta pimpinan KPK mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung atas putusan praperadilan yang diajukan Budi. Mengenai hal ini, sebelumnya pimpinan KPK menegaskan bahwa PK tidak menjadi opsi yang akan ditempuh KPK.

Anehnya lagi, pimpinan sementara KPK yang lainnya, yang juga sama mencurigakan dengan Ruki, yaitu Indriyanto Seno Adji malah menentang kehendak KPK ajukan PK ke MA untuk membatalkan putusan praperadilan hakim Sarpin itu! Dia bilang, berdasarkan KUHAP, PK hanya bisa diajukan oleh terpidana dan ahli waris, bukannya penegak hukum (KPK).

Keanehan langkah dan pernyataan dua pemimpin semenatra KPK titipan Jusuf Kalla ini menimbulkan tanya dari para penyidik KPK. Faisal pun menyatakan, para pegawai KPK mendesak pimpinan KPK agar terbuka mengenai strategi mereka dalam memberantas korupsi.

"Meminta pimpinan menjelaskan secara terbuka strategi pemberantasan korupsi KPK kepada pegawai KPK," kata Faisal seperti dikutip Kompas.com.

Jika Ruki sebagai Ketua KPK gagal menjelaskan kepada penyidik KPK dan juga kepada publik mengenai langkah-langkah aneh mereka ini, maka kita patut curiga bahwa kelihatannya memang ada semacam gerakan untuk mengobok-obok KPK dari dalam. Apakah itu benar? Ruki dan Seno Adji harus mampu menjelaskannya kepada kita semua.

-------------------

Up-date berita  :

Untuk pertama kalinya dalam sejarah KPK: Selasa, 3 Maret 2015, di depan Gedung KPK, Jakarta, sejumlah pegawai KPK melakukan unjuk rasa menyampaikan petisi menentang langkah Ruki menyerahkan perkara Budi Gunawan itu kepada Kejaksaan Agung.

Mereka secara tegas dan lantang menyatakan, siap mati melawan koruptor daripada menanggung malu dengan berkoalisi bersama para koruptor.

Hal tersebut disampaikan mantan Ketua Wadah Pegawai KPK, Nanang Farid Sjam, saat berorasi mendesak pimpinan KPK membatalkan pelimpahan kasus Budi Gunawan ke Kejaksaan Agung.

"Saya berpesan pada penguasa gedung ini, kami siap mati dalam keadaan mulia. Yang kami tidak sanggup menanggung rasa malu mengkhianati dan melacurkan diri ke para koruptor," ujar Nanang di halaman Gedung KPK, Jakarta, Selasa (3/3/2015) (Kompas.com).

[caption id="attachment_353713" align="aligncenter" width="512" caption="Unjuk rasa di depan Gedung KPK, Jakarta, Selasa, 3 Maret 2015, sejumlah pegawai KPK menentang langkah Ruki melimpahkan perkara Budi Gunawan kepada Kejaksaan Agung (Merdeka.com)"]

1425362992148747805

[/caption]

Lucunya, Ruki yang mungkin merasa terpojok, dan untuk menyelamatkan dirinya dari perasaan tersebut, malah ikut-ikutan berbaur bersama para pegawai KPK itu mendukung sikap pegawai KPK menolak penyerahan perkara Budi Gunawan kepada Kejaksaan Agung itu! Menolak apa yang dia sendiri prakarsai dan lakukan sendiri, kemarin!

Padahal, sebelumnya, Selasa dini hari, di Gedung KPK juga, ia menyatakan, berkaitan dengan protes pegawai KPK itu, ia siap mundur jika tidak dipercaya sebagai Ketua KPK. Untuk itu ia serahkan sepenuhnya keputusannya kepada Presiden Jokowi. "Kalau (petisi) itu diserahkan ke pimpinan, saya harus katakan yang mengangkat saya adalah presiden. Saya kembalikan kepada Presiden selaku kepala negara. Kalau Presiden menilai saya tidak firm, maka saya dengan senang hati (mundur)," katanya (Republika.co.id).

Maksudnya apa?

-------------------

*

[caption id="attachment_353616" align="aligncenter" width="284" caption="(Harian Kompas, Senin, 02/03/2015)"]

1425317083446644329

[/caption]

Memanfaatkan situasi di saat KPK mengalami titik terendah kelemahannya ini, DPR sudah berancang-ancang untuk mengajukan kembali revisi RUU KPK, yang salah intinya adalah mengarahkan KPK ke suatu lembaga yang mengutamakan pencegahan korupsi. Hal ini selaras dengan pernyataan Presiden Jokowi beberapa waktu lalu, yang mengatakan ke depan sebaiknya KPK mengutamakan pencegahan korupsi ketimbang pemberantasaan korupsi. Kalau begitu, bukankah lebih baik diusulkan pula kependekan KPK itu juga diubah menjadi Komisi Pencegahan Korupsi, dan semoga bukan malah Komisi Pelindung Koruptor.

Sebab, jika ini benar-benar terjadi, maka apa yang dikatakan oleh Bivitri Susanti tersebut di atas bisa saja mulai terproses, yaitu “pembunuhan” terhadap negara hukum Indonesia, dan Mahfud MD yang mengatakan kasus Budi Gunawan dan kasus-kasus pengikutnya telah membuat penegakan antikorupsi mengalami kemunduran total!

KPK bukan diberi imunitas, sebaliknya malah benar-benar diamputasi!

Maka, kita pun teringat dengan film serial televisi yang pernah sangat populer di tahun 1980-an, Dark Justice.Kisah hakim Nicholas Marshal, yang di siang hari menyidang para penjahat, dan terpaksa membebaskan mereka karena secara hukum, berkat kelicikan mereka bersama para pengacaranya, tidak terbukti mereka melakukan kejahatan tersebut, padahal itu mereka lakukan.

Saat malam tiba Nicholas Marshal mengganti toga hakimnya dengan jubah khasnya, menguraikan rambut gondrongnya, mengendarai sepeda motor gede-nya untuk memburu para penjahat yang siang harinya diabebaskan itu, dan menghukum mereka dengan caranya sendiri.

Yang terkenal dari ucapan Nicholas Marshal di film itu adalah: “Justice maybe blind, but itu can see in the dark.” Apakah kisah fiktif ini akan menjadi kenyataan di Indonesia? ***

Artikel terkait:

Presiden Jokowi Harus Tahu Ini

Taufiequrachman Ruki Kembali, Budi Gunawan Senang?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline