Lihat ke Halaman Asli

Daniel H.T.

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Ketika Petugas Berhadapan dengan Kyai dan Habib yang Melanggar Hukum

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="546" caption="Pria mengaku bernama Habib Ikhsan (kanan dengan jaket coklat) mengamuk kepada petugas Dishub Jaktim yang meminta kendaraannya dipinggirkan. Pasalnya, pengunjung apotik itu bukan memarkirkan mobilnya di tempat parkir melainkan dibahu jalan. Selasa (18/3/2014).Kompas.com/Robertus Belarminus "][/caption]

Di Indonesia, jika anda ingin melanggar hukum, seperti melanggar peraturan lalu-lintas tanpa dihukum, bahkan mampu membuat penegak hukum atau petugas pemerintah yang malah berbalik takut kepada anda, salah satu jurus paling ampuh adalah  mengakulah dan kenakan pakaian yang memberi kesan kuat bahwa anda itu seorang “tokoh agama,” sekali pun itu tak dikenal banyak orang. Yang penting ada kesan anda itu, misalnya, seorang iman agama, haji, habib, dan lain sejenisnya. Tidak lupa, harus pakai jurus marah-marah, bila perlu memaki-maki petugas yang mau menindak anda yang melakukan pelanggaran itu di depan umum.

Paling tidak dua peristiwa pelanggaran lalu-lintas yang pernah tersebar di media sosial / media online telah membuktikan keampuhan memanfaatkan unsur agama itu untuk membuat nyali petugasnya ciut di tempat.

Peristiwa yang pertama adalah yang pernah terjadi pada 5 Desember 2013, ketika Satlantas Polres Karawang sedang melakukan Operasi Lodaya Zebra, di depan Lapangan Karangpawitan, Karawang. Seorang laki-laki setengah baya (ditulis dengan inisial nama, IS) terkena raziah. Dia berjubah dan bersorban putih, laiknya seorang kyai, mengendarai sepeda motornya tanpa mengenakan helm. IS menolak keras ketika petugas hendak menilangnya.  bukan hanya menolak, tetapi di depan umum disaksikan banyak orang, dia mengamuk,  memarahi, dan memaki polantas-polantas yang sedang bertugas itu. Institusi polri dimaki-maki sebagai, “semuanya brengsek, semuanya bajingan, polisi di seluruh Indonesia itu penjual SIM, dan semua polisi itu pencuri!”

Murkanya SI disertai kata-kata yang menghina polisi habis-habisan di depan umum itu rupanya mujarab, ketika itu. Melihat penampilannya yang bak seorang kyai itu, polisi-polisi yang sedang menjalani tugasnya itu pun keder dibuatnya, dengan batal menilangnya, membiarkannya pergi begitu saja. Ketika hendak naik sepeda motornya kembali, IS itu berkata lagi kepada polisi-polisi itu, “Kalau kalian bukan orang Islam sudah saya ngebomin… Saya nggak berani ngebomin orang Islam!”

Kebetulan ada yang mengvideokan kejadian itu, kemudian mengunggahkannya ke You Tube. Segera saja video itu mendapat perhatian luas. Lebih dari 1 juta kali video itu dilihat orang. Entah karena “terlanjur” menjadi pembicaraan banyak orang di dunia maya itu, pihak Polres Karawang pun “terpaksa” bertindak. Satu minggu setelah kejadian itu, IS pun ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal-pasal di KUHP mengenai penghinaan terhadap pejabat umum dan perlawanan dengan ancaman kekerasan terhadap petugas umum.

Mengenai peristiwa ini saya pernah menulisnya di Kompasiana, dengan judul Sungguh Keterlaluan Kalau si Penghina Polisi Itu Sampai Dibebaskan.

Selanjutnya kita tidak tahu bagaimana kelanjutan kisah ini. Karena media tidak lagi memberitakannya lagi. Entah kasus ini sungguh-sungguh dilanjutkan sampai ke pengadilan, ataukah akhirnya polisi pun memilih damai dengan SI, meskipun institusinya telah dihinakan sedemikian rupa semata-mata karena SI adalah seorang “kyai.”

*

Peristiwa kedua, adalah yang baru-baru ini terjadi, Selasa ini (18/03/2014), di Jalan Raya Dewi sartika, Cawang, Jakarta Timur. Seperti yang diberitakan Kompas.com, Seorang laki-laki setengah baya yang mengaku bernama Habib Ikhsan memarahi di depan umum petugas Suku Dinas Perhubungan Jakarta Timur yang sedang menjalani tugasnya, melakukan operasi penertiban terhadap kendaraan-kendaraan yang parkir sembarangan.

Habib Ikhsan memarkir mobilnya di bahu jalan di depan sebuah apotek, menggangu arus lalu-lintas di sana, petugas yang sedang berkonvoi melakukan penertiban itu pun berhenti. Salah satunya mendekati mobil itu, ternyata di dalam ada sopirnya. Petugas dengan sopan meminta sopir itu agar memindahkan mobilnya itu, masuk ke halaman parkir apotek yang memang sedang kosong itu.

Baru saja bicara dengan sopir itu, Habib Ikhsan keluar dari dalam apotek, dan langsung menghampiri mereka. Dia tidak terima dengan himbauan petugas dari Dinas Perhubungan Jakarta Timur itu untuk memindahkan mobilnya ke halaman parkir apotek. Alasannya, dia sedang membeli obat untuk anaknya yang sedang sakit. Seolah-olah hanya dia saja pembeli obat di sana yang membeli obat untuk orang sakit.

"Saya orang hukum, orang pemerintah. Tahu norma sedikit. Ini ada orang sakit, sedang emergency," ujarnya, membentak petugas.

Petugas tetap berbicara kepada sopir mobil dan memintanya untuk memasukkan kendaraan ke area parkir yang masih kosong. Namun, Habib Ikhsan itu tetap mengomel kepada petugas.

"Kasih tahu Bapak Jokowi, saya Habib Ikhsan, orang hukum, orang pemerintah. Anak saya sakit. Saya orang dari pemerintah juga. Lapor Jokowi!" hentak Habib Ikhsan.

Rupanya, mendengar nama “habib” disebutkan, petugas tersentak dan terpengaruh juga. Akhirnya, para petugas Dinas Perhubungan Jakarta Timur itu memilih batal menertibkan mobil itu. Kalah pengaruhnya dengan sang Habib. Mereka pergi, membiarkan mobil itu tetap diparkir di bahu jalan. Kalau bukan berhadapan dengan seorang habib seperti Habib Ikhsan itu, kemungkinan besar, seperti biasanya, pentil mobil itu sudah mereka cabut.

Begitulah perilaku yang biasanya dipamerkan orang-orang yang hanya berpredikat atau yang hanya menggunakan (apa yang dianggap sebagai) simbol-simbol agama secara lahiriah supaya dihormati orang, tetapi bermental dan berperilaku sangat bertolak belakang dengan predikat yang yang mereka kenakan itu. Sangat tak pantas.

Ironisnya sikap masyarakat pun sedikit banyak berperan melestarikan perilaku-perilaku tak terpuji yang hanya mengotori “simbol-simbol agama” seperti itu, tidak terkecuali dengan pejabat negara, seperti polisi sebagai penegak hukum, atau petugas pemerintah lainnya, seperti petugas dari Dinas Perhubungan Jakarta Timur dalam berita di atas. Hanya mendengar atau berhadapan dengan predikat seperti itu, orang-orang ini menjadi “ketakutan”, tunduk tanpa reserve, kehilangan daya kritisnya, kehilangan akal sehatnya, seolah-olah sedang berhadapan dengan nabi. Padahal nabi pun tak mungkin bersikap seperti itu.

Jika petugas Dinas Perhubungan Jakarta Timur itu punya wibawa, tentu tak perlu merasa gentar ketika berhadapan dengan siapa pun apalagi hanya dengan seorang habib. Apalagi kata-kata kasar yang terucap dari mulutnya itu sungguh-sungguh tak bercermin dari apa yang diakuinya.

Ketika Habib Ikhsan itu berkata, “Saya orang hukum, orang pemerintah. Tahu norma sedikit. Ini ada orang sakit di dalam, sedang emergency," petugas yang berhadapan dengannya seharusnya bisa menjawab dengan tenang, “Justru bapak orang hukum, apalagi orang pemerintah, seharusnya kalau benar-benar tahu norma sedikit saja, Bapak tahu bahwa parkir di bahu jalan seperti ini melanggar hukum. Bukankah tersedia tempat parkir yang sedang kosong itu?”

Ketika Habib Ikhsan berkata,  "Kasih tahu Bapak Jokowi, saya Habib Ikhsan, orang hukum, orang pemerintah. Anak saya sakit. Saya orang dari pemerintah juga. Lapor Jokowi!" Petugas itu seharusnya menjawab, “Kalau saya lapor Pak Jokowi, mungkin Pak Jokowi sendiri yang mencabut pentill mobil Bapak, dan  juga mencabut jabatan Bapak, jika Bapak benar-benar orang pemerintah DKI!”  ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline