[caption id="attachment_305269" align="aligncenter" width="620" caption="Dari kiri: Wakil Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana, Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Megawati Soekarno Putri, dan Gubernur DKI, Joko Widodo, saat konferensi pers di Gedung VIP Bandara Juanda Surabaya di Sidoarjo, (1/3) berkaitan dengan perselisihan antara Bu Risma dengan wakilnya itu TEMPO/Fully Syaf"][/caption]
Sejatinya yang namanya wakil pimpinan itu selalu mengikuti dan membantu pimpinan dalam melancarkan setiap kebijakan yang digariskan sang pimpinan. Kalau merasa tidak cocok dengan pimpinan, lebih baik mengundurkan diri saja. Bukan malah menjadi oposan terhadap pimpinannya.
Sikap aneh tapi nyata itulah yang diperlihatkan oleh Wakil Walikota Surabaya Wisnu Sakti Buana. Sejak awal pengangkatan dan pelantikan saja sudah menimbulkan berbagai masalah, menyebabkan terjadinya kisruh di Pemkot Surabaya, sampai berimbas ke masalah partai (PDIP). Sehingga sempat menjadi perhatian publik secara nasional selama beberapa bulan.
Keberadaan Wisnu sebagai Wakil Walikota Surabaya itu, bukannya meringankan, malah menjadi beban Walikota Surabaya Tri Rismaharini (Bu Risma). Tidak heran sejak paling awal pun kehadirannya sebenarnya tidak diinginkan. Tetapi, Wisnu tidak mau tahu dengan semuanya itu, karena berambisi besar menjadi walikota, untuk menjadi wakil dari orang yang dulu dia cemoohkan, dan yang mati-matian pernah mau dialengserkan pun, dia rela. Maju tak gentar, dengan muka tebal, sekalipun Bu Risma sebenarnya pun tidak cocok dan tidak suka dengan dia. Karena campur tangan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri-lah, yang rupanya masih ingat akan jasa-jasa besar ayahnya terhadap partai, yaitu almarhum Soetjipto, yang membuat Bu Risma tidak lagi mempersoalkan Wisnu sebagai wakilnya. Hubungan yang terlalu dipaksa itu pun malah mengganggu kinerja Pemkot Surabaya.
Meskipun demikian Wisnu sepertinya tidak tahu berterima kasih, masih meneruskan tabiat buruknya, mengkritisi dan menolak kebijakan Bu Risma sebagai Walikota Surabaya. Pernyataan-pernyataannya yang mengkritik, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan Walikota Surabaya Bu Risma sangat kontradiksi dengan posisinya sebagai Wakil Walikota Surabaya, yang nota bene bawahannya Bu Risma.
Sikap itu lagi-lagi diperlihatkan secara terbuka ketika menyatakan sikapnya ketidaksetujuannya terhadap kebijakan Walikota Surabaya Bu Risma yang akan menutup lokalisasi prostitusi Dolly dengan target sudah dilaksanakan pada 19 Juni mendatang, atau sebelum Bulan Puasa tiba. Padahal kebijakan Bu Risma itu sudah mendapat restu dan dukungan dari Gubernur Jawa Timur Soekarwo. Juga sejak awal sudah mendapat dukungan penuh dari Pengurus Wilayah Nahdatul Ulama (PWNU) Jawa Timur.
Yang dipersoalkan Wisnu adalah nasib dari warga sekitar lokalisasi jika lokalisasi terbesar di Asia Tenggara itu ditutup selamanya, yang menurutnya sama sekali tidak mendapat perhatian dari Pemkot Surabaya. Katanya, warga sekitar lokalisasi belum siap sepenuhnya untuk kehilangan keuntungan dari aktivitas ekonomi dan mata pencaharian di sekitar kawasan tersebut. Mereka masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap Dolly. Sudah puluhan tahun warga di sekitar kawasan itu menggantungkan hidupnya dengan bekerja sebagai tukang cuci pakaian, membuka warung makanan atau toko kelontong.
Selama ini, lanjut Wisnu, Pemkot hanya berkomunikasi dengan pekerja seks komersial (PSK) dan mucikari. Padahal, penutupan lokalisasi tidak hanya menyangkut PSK dan mucikari, tetapi juga warga sekitar yang menggantungkan hidupnya dari lokalisasi. Seolah-olah dia bukan bagian dari Pemkot Surabaya.
"Beberapa kali saya ke lokasi Dolly, saya mendengar keluhan warga bahwa Pemkot tidak pernah mengajak duduk bersama warga. Masalah Dolly kan seharusnya ditangani secara menyeluruh. Ini bukan masalah PSK dan mucikari, ini masalah warga Surabaya,” tambahnya.
Wisnu menyesalkan tindakan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang kerap menggembar-gemborkan rencana penutupan Dolly serta Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang selalu mendukung rencana tersebut (Kompas.com).
[caption id="" align="aligncenter" width="600" caption="Gang Dolly, Surabaya, pusat prostitusi terbesar di Asia Tenggara ini rencananya akan ditutup Pemkot Surabaya pada 9 Juni 2014 (berita57.com)"]
[/caption]
Padahal, seperti yang sudah dijelaskan Bu Risma, kebijakan penutupan lokalisasi Dolly itu tidak sebatas memberi pendidikan, pelatihan, modal kerja, dan peluang usaha kepada para bekas PSK dan mucikarinya, tetapi dengan bekerja sama dengan Pemprov Jawa Timur, dilanjutkan dengan mengubah bekas lokalisasi itu menjadi sentra kegiatan ekonomi masyarakat yang terintegrasi. Dengan demikian tentu nasib warga sekitar yang dipermasalahkan Wisnu itu pun ikut diperhatikan Bu Risma. Bahkan berpotensi secara ekonomi lebih baik daripada sekarang ini.
Bu Risma menginginkan nantinya rehabilitasi lokalisasi Dolly itu akan menjadi seperti bekas lokalisasi di Dupak, Bangunsari, Surabaya. Lokalisasi yang sudah ditutup Bu Risma itu sejak 12 Desember 2012 itu.
Sekarang di lokasi yang sama, berdiri Pesantren dan Taman Pendidikan Al Quran (TPA). Warganya yang dulu berjualan minuman keras sekarang beralih berjualan makanan. Rumah yang dulu disewakan menjadi wisma, sekarang dikontrakan sebagai tempat tinggal. Sedangkan PSK-nya sebagian memilih kembali ke daerah asalnya, setelah diberi pendidikan, pelatihan, dan modal kerja yang memadai. Bekas PSK dan mucikari yang memilih tetap tinggal, membuka usahanya sesuai dengan pelatihan dan modal yang diterimanya, bersama-sama dengan warga sekitar. Lokasi bekas pusat pelacuran itu setelah direhabilitasi, sekarang sukses menjadi sentra produksi batik dan kerajinan tangan kain lainnya. Usahanya kian berkembang, sampai ada produk yang diekspor.
[caption id="" align="aligncenter" width="523" caption="Pemerintah Kota Surabaya saat meresmikan Dupak Bangunsari sebagai kampung bekas prostitusi (21/12). Bekas lokalisasi Dupak Bangunsari Surabaya sudah menanggalkan wajah lamanya. | Foto oleh : kabargress.com"]
[/caption]
Bu Risma bercita-cita mengubah bekas lokalisasi Dolly itu menjadi sentra produk sepatu dan bahan kulit lainnya. "Kalau perlu, mereka kita ajak ke pusat produksi sepatu untuk kunjungan sekaligus belajar," kata Bu Risma seusai menghadiri seminar Kartini di Kampus Universitas 17 Agustus Surabaya, Rabu (23/4/2014) (Tribunnews.com). Ada pula penjajakan kerjasama antara Pemkot Surabaya dengan Universitas Ciputra, Surabaya, untuk memberi pembekalan pelatihan wirausaha bagi bekas PSK, mucikari, dan warga sekitar.
Jadi, sebetulnya kebijakan Bu Risma tentang penutupan lokalisasi Dolly dan kebijakan ikutannya untuk mensejahterakan bekas PSK, mucikari, dan secara tak langsung juga warga sekitar sudahlah sangat baik dan mulia. Juga sudah terbukti sukses di bekas lokalisasi Bangunsari itu.
[caption id="" align="aligncenter" width="441" caption="Walikota Surabaya Tri Rismaharini saat meninjau rumah kreatif di Dupak Bangunsari(29 Juni 2013) (lensaindonesia.com)"]
[/caption]
Lalu, apa yang sebenarnya yang dilihat salah di mata Wakil Walikota Surabaya, Wisnu Sakti Buana itu? Aneh sekali, seorang wakil walikota bukan hanya berbeda pendapat dengan dengan walikotanya, tetapi juga bersikap menentang kebijakan itu. Bak seorang oposisi yang mengecam kebijakan pemerintah.
Sikap Wisnu yang tak patut ini, seperti yang sudah disinggung di atas, bukan hanya pertama kali ini terjadi, tetapi sudah beberapakali. Bahkan dulu ketika masih di DPRD Surabaya, dia adalah pelopor utama melengserkan Bu Risma sebagai Walikota Surabaya, dengan alasan yang dibuat-buat, gara-gara Bu Risma menaikkan pajak reklame untuk baliho luar ruang (iklan berukuran besar). Padahal, sesungguhnya adalah gara-gara Bu Risma tidak setuju dengan pembangunan jalan tol dalam kota. Sedangkan DPRD dan Pemprov Jawa Timur setuju dengan proyek yang dibiayai pemerintah pusat itu.
Sikap menentang kebijakan Bu Risma yang tidak menghendaki pembangunan jalan tol dalam kota itu tidak berhenti sampai setelah dia dilantik menjadi wakilnya Bu Risma melalui prosedur yang cacat hukum, dan sebenarnya ditolak Bu Risma itu. Sampai sekarang, setelah menjadi wakil Bu Risma pun Wisnu masih tetap berseberangan dengan sikap Bu Risma tentang pembangunan jalan tol dalam kota itu.
Ketika sudah menjabat sebagai wakilnya Bu Risma dia tetap bersuara keras menantang kebijakan Bu Risma itu. ketika diwawancara Majalah Tempo, Wisnu berkomentar dengan nada sinis tentang Bu Risma, atasannya itu, “Terserah, mau dibuat di bawah tanah biar tidak kelihatan atau ditinggikan setinggi langit. Yang penting, tol harus ada. Kalau enggak, ya, ubah Surabaya dari kota niaga menjadi kota wisata saja.” (Majalah Tempo, 17/02/2014).
Inilah contoh pejabat oportunis sejati. Bersikap oposisi terhadap Walikota Surabaya, tetapi bersamaan dengan itu mau menjadi wakilnya, karena ambisi untuk menjadi Walikota belum juga kesampaian. ***
Artikel terkait:
-Bila Perlu Wisnu Sakti Buana-lah yang Dipecat).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H