Lihat ke Halaman Asli

Daniel H.T.

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Perkosaan Massal di Kerusuhan Mei 1998 Itu Memang Ada (Tinjauan Buku)

Diperbarui: 4 April 2017   17:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13997038251910441784

[caption id="attachment_306630" align="aligncenter" width="321" caption="Buku dan foto koleksi penulis"][/caption]

Judul Buku: Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan

Oleh Dewi Anggraeni

Penerbit Buku Kompas

Tebal: xxxiv + 214 halaman

Tragedi Mei 1998 masih menyimpan sejumlah misteri maha besar sampai sekarang. Tragedi ini adalah salah satu tragedi paling kelam dalam sejarah Indonesia setelah merdeka. Padahal sebagian besar para pelaku dan saksi-saksi sejarahnya masih hidup sampai dengan hari ini. Jadi, bagaimana pun, sampai kini, kegagalan membuka misteri tersebut tak lepas dari tidak adanya rasa tanggung jawab dan tidak adanya keberanian para pelaku dan saksi-saksi sejarahnya mengungkapkannya, dan pemerintah yang paling berwenang dan mempunyai kekuatan untuk membukanya, tetapi itu tak dilakukannya.

Sejak awal runtuhnya rezim Orde Baru Presiden Soeharto (21 Mei 1998), yang diganti dengan wakilnya, B.J. Habibie sampai dengan pemerintah yang sekarang, belum ada tanda-tanda keseriusan untuk mengungkapkan misteri tersebut.

Salah satu misteri yang paling menarik perhatian baik secara nasional, maupun internasional adalah kasus perkosaan yang terutama sekali menimpa perempuan-perempuan etnis Tionghoa di Jakarta, antara tanggal 13 – 15 Mei 1998, dan sesudahnya.

Pada masa-masa itu sampai dengan beberapa tahun kemudian memang beredar luas di masyarakat bahwa di tengah-tengah terjadinya kerusuhan Mei 1998 itu telah terjadi juga perkosaan massal (gang rape) terhadap banyak sekali perempuan-perempuan etnis Tionghoa. Tetapi, informasi itu lebih banyak beredar dalam bentuk gosip. Gosip itu diperparah dengan beredarnya hoax berupa foto-foto yang katanya berasal dari perkosaan etnis Tionghoa, yang kemudian bisa dibuktikan palsu. Ini membuat kepercayaan terhadap Tim relawan semakin menipis.

Tidak adanya korban perkosaan yang tampil di depan umum membuat publik kemudian meragukan kebenaran informasi tersebut. Pemerintah yang saat itu tidak terlalu serius menangani kasus itu diuntungkan dengan kondisi demikian.

Padahal sebenarnya saat itu juga, sejumlah tokoh masyarakat, pekerja kemanusiaan, dan pembela hak asasi manusia (HAM), yang terdiri dari berbagai etnis, agama, dan profesi itu, tergugah untuk bersatu bahu-membahu melakukan investigasi terhadap kebenaran kasus perkosaan itu. Hasilnya, sungguh mengejutkan bahwa memang benar telah terjadi banyak kasus perkosaan yang menimpa perempuan-perempuan Tionghoa itu. Para relawan itu kemudian secara diam-diam melakukan pendekatan-pendekatan kemanusiaan terhadap para korban yang sebagian besar berada dalam keadaan sangat memprihatinkan baik dari aspek psikologis, maupun fisik. Mereka sangat tertutup, dan sangat ketakutan setiap kali melihat orang yang tidak dikenalnya, terutama laki-laki dalam jumlah banyak.

Tim Relawan tentang Kemanusiaan beberapa kali meminta bertemu dengan Menteri Pertahanan dan Keamanan / Panglima ABRI pada saat itu, Jenderal Wiranto, Menteri Peranan Wanita, dan Menteri Dalam Negeri, tetapi tidak mendapat respon sebagaimana mestinya. Akhirnya, para relawan itu memutuskan untuk meminta bertemu langsung dengan Presiden B.J. Habibie untuk melaporkan temuan mereka. Setelah beberapa kali berusaha, akhirnya Presiden Habibie bersedia bertemua dengan mereka.

Pada 15 Juli 1998 berlangsunglah pertemuan itu di Bina Graha. Pada saat itu, yang hadir semua perempuan. Mereka menyampaikan laporannya, dan menuntut pemerintah meminta maaf, dan mengutuk kasus perkosaan terhadap perempuan itu. Habibie yang semula juga ragu dengankebenaran informasi tentang pemerkosaan itu, menjadi percaya setelah membaca laporan tim relawan yang disertai dengan sejumlah foto.

Reaksi Habibie saat itu, wajahnya yang tadinya penuh keraguan menjadi berubah. Tiba-tiba dia berkata kepada para relawan itu, “Saya ingat sekarang. Seorang keponakan saya, seorang dokter, pernah menceritakan hal serupa. Saya percaya anda sekalian. Keponakan saya tidak akan berbohong kepada saya,” lalu katanya, dia atas nama pemerintah bersedia membuat pernyataan maaf dan mengutuk peristiwa perkosaan itu. Pernyataan itu dibaca Presiden Habibie pada hari itu juga di dalam suatu konferensi pers yang khusus diadakan untuk itu.

Dari pertemuan dengan Habibie itu juga dihasilkan janji Habibie untuk mendirikan badan independen, yang nantinya dinamakan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan dibentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta atas Kerusuhan Mei 1998. Namun, sampai sekarang belum ada proses hukum lebih lanjut untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku dan otaknya,

Demikianlah yang ditulis di dalam buku yang berjudul Tragedi 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan (Penerbit Buku Kompas,2014), oleh Dewi Angraeni, seorang penulis aktif yang tinggal di Melbourne, Australia, yang juga adalah kontributor Majalah Tempo. Dewi menulis buku ini berdaraskan dokumen-dokumen Tragedi Mei 1998 dan wawancara dengan para relawan yang terlibat langsung dalam investigasi dan penanganan korban-korban pemerkosaan Mei 1998 itu.

Buku itu diawali dengan kisah pertemuan dengan Presiden Habibie itu dengan penyampaian laporan hasil investigasi Tim Relawan untuk Kemanusiaan mengenai fakta terjadinya pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa itu. Kemudian, “flash-back” di bab-bab berikutnya mengenai bagaimana sampai Tim Relawan untuk Kemanusiaan itu terbentuk sebagai respon atas jatuhnya korban jiwa dan korban pemerkosaan pada waktu itu.

Buku Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan ini mengisahkan beratnya perjuangan para relawan tersebut, keprihatinannya terhadap reaksi masyarakat pada umumnya, dan lebih-lebih kepada pemerintah yang bersikap apatis terhadap kasus yang merendahkan martabat perempuan pada umumnya itu. Meskipun juga berhasil mendapat perhatian dari Presiden B.J. Habibie, yang secara langsung menyatakan permintaan maaf dan kutukan pemerintah atas kejadian tersebut.

Misalnya, di halaman 59-60, ditulis mengenai kesaksian Guru Besar Ilmu Psikologi Universitas Indonesia ketika itu, Prof. Dr. Saparinah Sadli, yang Ketua Tim Relawan, kemudian juga diangkat sebagai Ketua Komnas Perempuan yang pertama (22 Juli 1998), yang saat itu sedang berupaya bertemu dengan Wiranto, secara tak sengaja perhatiannya tertarik pada tayangan televisi yang sedang menyiarkan pernyataan Wiranto, menjawab pertanyaan wartawan. Wiranto menjawab, anak buahnya sudah mendatangi semua rumah sakit di Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia, bahkan juga di Singapura, untuk bertemu dengan korban-korban perkosaan yang laporannya mereka terima, namun mereka selalu mendapat jawaban, tidak ada korban perkosaan. Jadi, menurut Wiranto, itu semua hanya dugaan semata. Tidak ada bukti. Tidak ada korban. Tidak ada saksi.

Bukan main marahnya Saparinah, karena dia baru saja datang dari kawasan Pluit menjumpai beberapa korban.Dia langsung menghubungi beberapa rekan relawannya, memutuskan untuk bertemu langsung dengan Presiden Habibie. Kemudian terjadilah pertemuan 15 Juli 1998 yang disebutkan di atas.

Diungkapkan pula di dalam buku ini, betapa sulitnya mereka meyakinkan publik, terutama pemerintah yang sangat kaku dalam menyikapi upaya pengungkapan kasus pemerkosaan itu. Bahkan seorang tokoh pembela HAM internasional seperti Sidney Jones pun dikatakan sempat meragukan kebenaran adanya pemerkosaan-pemerkosaan terhadap etnis Tionghoa itu. Semua orang, termasuk Jones minta bukti berupa harus bisa melihat dan mendengar sendiri kesaksian-kesaksian para korban. Padahal para korban itu kondisi jiwa dan fisiknya rata-rata sangat, sangat memprihatinkan. Ada yang sampai dibuang keluarganya sendiri dengan alasan pembawa aib, ada yang gila, dan ada yang bunuh diri.  Mereka sangat takut bila melihat orang yang tidak dikenalnya, terutama sekali laki-laki. Tim relawan sendiri memerlukan pendekatan yang ekstra hati-hati dan sabar sebelum bisa meyakinkan para korban bahwa tim relawan itu orang-orang yang bermaksud baik, sangat sungguh-sungguh mau menolong mereka.

Perkosaan massal itu kebanyakan terjadi rumah korban, dan tidak sedikit juga yang terjadi di tempat umum (di jalanan). Pelaku setelah diperkosa,  juga dirusak fisiknya, termasuk dimutilasi. Ada yang, misalnya dengan, maaf, dipotong kedua putingnya.

Pada buku itu juga dimuat arsip berita di koran Suara Pembaruan (26/06/1998), mengenai saksi mata seorang wartawan Media Indonesia, bernama Selamet Saragih. Dia mengaku mengalami trauma yang dalam setelah melihat sendiri dengan mata kepalanya, di kawasan Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat, dua orang perempuan Tionghoa berusia sekitar 25 tahun, yang diseret keluar dari mobil sedan Honda mereka oleh sejumlah laki-laki, yang langsung menelanjangi mereka, melecehkan etnis mereka, kemudian diseret beramai-ramai ke arah Jembatan Grogol.

Korban-korban perkosaan yang berhasil didekati para relawan itu menyatakan mereka diancam para pelaku pemerkosaan itu, kalau sampai berani muka mulut, mereka, atau anggota keluarga mereka yang lain akan diperkosa lagi dengan cara yang serupa atau yang lebih kejam lagi.

Oleh karena itu bagi tim relawan sangat tak masuk akal kalau orang-orang itu meminta bertemu dan mendengar kesaksian para korban, sebelum mereka percaya adanya kasus pemerkosaan massal (di Jakarta) itu.

Sri Palupi, koordinator investigasi dan pendataan Tim Relawan untuk Kemanusiaan, berkata, “Bayangkan seandainya ibu kamu, kakak kamu, adik kamu, anak kamu adalah seorang korban perkosaan, apakah kamu mau mereka muncul ke publik? Kredibilitas? Kredibilitas yang kami pentingkan bukan kredibilitas kalian, tapi kredibilitas para korban. Kepercayaan korban kepada kami.

Tim relawan tak mau kepercayaan yang begitu sulit didapat dari para korban, dikhianati mereka dengan menampilkan para korban itu ke hadapan publik, atau mempertemukan mereka dengan orang lain. Terhadap korban perkosaan biasa saja hal itu sangat sulit dilakukan, apalagi terhadap korban perkosaan dalam kasus kerusuhan Mei 1998 itu. Semua korban bukan hanya diperkosa saja, secara bergilir, tetapi juga direndahkan etnisnya, dan disiksa secara fisik. Tidak sedikit yang dilakukan di hadapan keluarganya. Bahkan ada orangtua korban yang tak tahan lantas menyuruh anaknya bunuh diri sebelum pergi meninggalkannya begitu saja!.

Belakangan Sidney Jones meminta maaf atas ketidakpercayaannya kepada Tim Relawan setelah terjadinya kasus pembunuhan yang dilakukan secara sadis terhadap Ita Martadinata. Ita Mardinata adalah seorang siswi SMA dari etnis Tionghoa, yang saat itu baru berusia 18 tahun. Dia adalah salah satu korban yang perlahan-lahan bersama keluarganya mulai berhasil merajut kembali kehidupannya. Ibunya bahkan bergabung dengan Tim Relawan. Ita sudah menyatakan kesediaannya untuk memberi kesaksian di hadapan beberapa kelompok internasional pembela hak asasi manusia di Amerika Serikat, siap beranbgkat bersama rombongan ke sana dipimpin Karlina Supeli. Tetapi, sebelum berangkat dia dibunuh secara keji di rumahnya, pada Jumat, 9 Oktober 1998.

Sri Palupi menganalisis bahwa sejak krisis moneter pada 1997, sudah ada gejala-gejala akan timbulnya kerusuhan Mei 1998 itu, dengan memanfaatkan sentimen anti-Tionghoa yang sebelumnya sudah dibentuk oleh beberapa pejabat/aparat pada berbagai kesempatan. Mereka, termasuk para jenderal yang tidak ada hubungannya dengan urusan ekonomi, berbicara dalam ranah publik seolah-olah mereka memahami betul masalah ekonomi. Dalam berbagai pernyataannya, mereka mengatakan bahwa krisis ekonomi melanda Indonesia karena orang Tionghoa melarikan uang rakyat ke luar negeri, sengaja menimbun sembako sehingga rakyat sengsara dan kelapran, orang Tionghoa-lah penyebab terjadinya krisis ini, dan sebagainya.

Analisis Sri Palupi ini sejalan dengan hasil investigasi dari TGPF yang dilaporkan di dalam buku Kerusuhan Mei 1998, Fakta, Data & Analisa (edisi revisi, 2007). Di dalam buku itu antara lain TGPF menemukan indikasi kuat kerusuhan Mei 1998 tidak lepas dari pengkondisian situasi, antara lain mengkristalkan sentimen anti-Tionghoa (anti-Cina) di kalangan masyarakat luas.  TGPF bahkan menyebutkan pengkondisian tersebut sudah mulai dibentuk sejak 1995, dengan timbulnya berbagai kerusuhan anti-Cina yang marak, antara lain di Situbundo, Tasikmalaya, Rengasdengklok, dan Ujung Pandang.

Hasil investigasi TGPF menyebutkan khusus di Jakarta,  korban tewas karena terperangkap dalam kebakaran berjumlah 1.190 orang, 27 tewas karena senjata tajam.benda lain, 91 luka-luka. Sedangkan Polda Metro Jaya menyebut angka 451 tewas, luka-luka tidak tercatat. Kodam Jaya menyebut angka 463 tewas, 69 luka-luka.

TGPF menyebutkan dalam laporannya bahwa kekerasan seksual/perkosaan benar telah terjadi. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang diketuai oleh Professsor Dr. Mahar Marjono melakukan verifikasi data dengan menggunakan prosedur yang dinamakan Protokol Jakarta yang bersumber pada Protokol Minnesota, dan mengakui kasus itu ada.

Tim Relawan untuk Kemanusiaan juga menemukan fakta bahwa kerusuhan Mei memang sengaja dikobarkan, terbukti dengan tak hadirnya aparat di dalam setiap peristiwa. Atau kalau aparat ada, mereka hanya diam saja. Para provokar, pimpinan, dan sejumlah pelaku kerusuhan mempunyai ciri-ciri yang sama di setiap kerusuhan di seluruh wilayah

Laporan Tim Relawan menyatakan, “Bagaimana ‘kebetulan’ harus dijelaskan oleh fakta keluasan lingkup kejadian di wilayah seluas Jakarta dan sekitarnya? Bagaimana  sang ‘kebetulan’ itu harus dijelaskan oleh kesamaan waktu dari banyak peristiwa perusakan, penjarahan, dan pembakaran di wilayah seluas Jakarta dan sekitarnya? Bagaimana si ‘kebetulan’ itu harus dijelaskan oleh berbagai kesamaan ‘awal peristiwa’ perusakan, penjarahan, dan pembakaran? (misalnya, pengajak dan pemimpin perusakan tidak datang dari daerah warga setempat; modus kedatangan pengajak dan pemimpin perusakan dengan kendaraan; tidak ada peristiwa perusakan yang dimulai oleh warga setempat). Dan bagaimana si ‘kebetulan’ itu harus dijelaskan oleh kesamaan pola janggal berikut: bahw apara pengajak dan pimpinan perusak/pembakaran tidak ikut menjarah. Bahkan dalam banyak kasus, para pengajak dan pemimpin segera meninggalkan massa yang mulai bergerak untuk merusak dan menjarah.

Sedangkan ciri khas para provokar dan penggerak kerusuhan itu sama di setiap wilayah, yakni:

-Kelompok pemuda yang memakai pakaian pelajar SLTA atau pakaian yang biasa dipakai mahasiswa-jaket dengan warna-warna tertentu.

-Kelompok remaha berpakaian lusuh, berwajah tanpa emosi, dingin, dan sangar,

-Kelompok pemuda berbadan kekar, berambut cepak, bersepatu bot militer,

-Kelompok pemuda yang berbadan kekar, berwajah dingin, sangar, dan bertato.

Pada 13 Juli, Laporan Tim relawan untuk Kemanusiaan, juga juga diterbitkan Komnas Perempuan bersama dengan Laporan TGPF diserahkan kepada Komnas HAM yang saat itu dipimpin oleh Asmara Nababan. Judul laporannya: “Dokumen Awal No. 3 tentang Perkosaan Massal dalam Rentetan Kerusuhan Puncak Kebiadaban dalam Kehidupan Bangsa.”

Di dalam laporan itu antara disebut dari 13 Mei – 3 Juli 1998 dirincikan mengenai jumlah kasus perkosaan itu, secara total korban perkosaan dan pelecehan seksual massal yang melapor atau dilaporkan sebanyak 168 korban, 20 di antaranya tewas. Yang masih hidup kebanyakan menderita luka-luka fisik dan trauma psikologis yang dalam.

Penulis buku ini, Dewi Anggraeni, menganalisis etnis Tionghoa dan perempuannya sengaja dijadikan sasaran kerusuhan dan pemerkosaan, karena kelompok ini dianggap paling lemah, paling gampang dijadikan sasaran, karena tidak bisa melawan. Kelompok ini sengaja dijadikan sasaran juga karena memang sebelumnya sudah dikondisikan sebagai obyek untuk memicu suatu kerusuhan.

Dewi juga menulis di bukunya itu, etnis Tionghoa bukan sasaran utama dari kerusuhan Mei, tetapi mereka dimanfaatkan sebagai sasaran antara untuk menimbulkan kerusuhan besar itu. Kerusuhan sengaja diciptakan untuk maksud-maksud dan ambisi politik tertentu dari sutradaranya.

Massa sengaja diprovolkasi untuk melakukan perusakan, penjarahan, dan pembakaran aset-aset Tionghoa yang kemudian menjalar ke properti umum lainnya, sehingga pecahlah kerusuhan besar tersebut. Ini terbukti dari kemudian jatuhnya korban jiwa yang banyak dari etnis pribumi, yang sengaja pula dijadikan tumbal kerusuhan. Ketika mereka terpancing masuk menjarah di dalam gedung-gedung mall, dan pertokoan, pintu ditutup dan digembok dari luar. Kemudian para perusuh sebenarnya membakar gedung itu dari luar, sehingga para penjarah itu terperangkap di dalamnya, dan mati terbakar. Hal ini diduga sengaja dilakukan agar tercipta efek teror  dan  horor yang paling mengerikan, entah kepada siapa.

Buku ini memberitahu kepada kita bahwa tragedi pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa yang terjadi dalam kerusuhan Mei 1998 dan sesudahnya sungguh terjadi, dan bukan merupakan sesuatu yang begitu saja terjadi, tetapi merupakan bagian dari skenario besar dari terjadinya kerusuhan Mei 1998. Buku ini menggugah kita untuk melawan lupa, dan semoga saja bisa jugamenjadi salah satu pemicu bagi pemerintah yang baru kelak, -- sebab yang sekarng yang sebentar lagi berlalu, tidak bisa diharapkan lagi – untuk mengustnya sampai tuntas. Menyeret mereka semua yang bertanggung jawab ke hadapan meja hijau. Untuk itu diperlukan suatu pengadilan-adhoc untuk mengadili para palaku dan aktor pelanggaran berat HAM. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline