Lihat ke Halaman Asli

Daniel H.T.

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Mulianya Hamdan Zoelva, Hinanya Akil Mochtar

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1408724201385437844

[caption id="attachment_320497" align="aligncenter" width="494" caption="Hamdan Zoelva (Sumber: ghilboo.com)"][/caption]

Saat ini, siapakah yang tidak bangga menjadi tokoh seperti Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva?

Sebagai Ketua Majelis Hakim MK, selama empat belas hari yang sangat melelahkan dia memimpin Majelis Hakim MK menyidangkan sengketa hasil Pilpres 2014 yang digugat pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta itu. Dengan dipimpin oleh Hamdan, sembilan anggota Majelis Hakim MK itulah yang menentukan siapakah yang sesungguhnya secara hukum benar-benar sah menjadi presiden dan wakil presiden Republik Indonesia berdasarkan Pilpres 2014 itu.

Dengan menentukan, apakah gugatan Prabowo-Hatta itu diterima ataukah ditolak, maka sama dengan Majelis Hakim MK yang dipimpin oleh Hamdan Zoelva itulah yang menentukan apakah Prabowo-Hatta atau Jokowi-JK yang secara sah menjadi presiden RI untuk periode 2014-2019, atau Pilpres harus diulang.

Semuanya berakhir pada 21 Agustus lalu, setelah bergantian sembilan orang hakim MK itu membaca putusan mereka dari pukul 14.00 – 20:30 WIB. Putusan finalnya dibacakan oleh Hamdan Zoelva, sebagai Ketua Majelis Hakim MK: “... Mahkamah menolak seluruh gugatan Pemohon!” “Tok, tok, tok!” Palu diketuk. Maka, setelah melalui semua proses hukum yang sangat melelahkan di persidangan MK, yang paling menarik perhatian se-Indonesia, bahkan dunia internasional itu, sejak MK didirikan pada 15 Oktober 2003, resmilah pasangan Jokowi-JK diputuskan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2014-2019. Mereka akan dilantik pada 20 Oktober 2014.



Mengenai Putusan Sidang MK

Di dalam UU tentang MK disebutkan bahwa di dalam memutuskan suatu sengketa di MK, termasuk sengketa Pilpres 2014 ini, sembilan orang Hakim MK itu wajib mengadakan rapat musyawarah hakim (RPH). Di dalam RPH itu semua Hakim MK berdebat, satu per satu dalil pemohon dinilai, dikaitkan dengan jawaban termohon, semua bukti diperiksa satu persatu, dan seterusnya. Untuk mendapat satu kesimpulan akhir untuk kemudian memutuskan apakah permohonan pemohon diterima ataukah ditolak

Jika tidak terdapat kesepakatan secara bulat, maka akan dilakukan voting, apabila, misalnya, ada salah satu hakim MK yang tidak menyatakan pendapatnya, kemudian hasil votingnya sama kuat, 4:4, maka Ketua MK-lah yang menentukan putusan akhir tersebut. Hal ini pernah terjadi, ketika Akil Mochtar yang semula adalah Ketua MK, ditangkap KPK. Tersisa 8 orang hakim MK, dalam sebuah perkara Pilkada, pernah terjadi voting dengan hasil 4:4.

Pada pemeriksaan persidangan perselisihan hasil Pilpres 2014 ini, semua dari sembilan Majelis Hakim MK sepakat bulat menolak permohonan Pemohon, Prabowo-Hatta.

Berdasarkan UU No. 8 Tahun 2011 sebagai pengganti UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ditentukan bahwa persidangan di MK merupakan persidangan tingkat pertama dan terakhir, dan begitu putusan telah dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, maka sejak itu pula sifatnya final dan mengikat (final and binding) untuk para pihak, dan seluruh warga negara Indonesia. Tidak ada lagi upaya hukum lain yang bisa dilakukan.

Betapa Tinggi dan Mulianya MK

Dari uraian tersebut di atas, maka kita bisa merasakan begitu vital dan sangat pentingnya dan juga mulianya jabatan Hakim MK itu. Dalam konteks sidang perselisihan Pilpres 2014 ini, mereka secara tak langsung menentukan nasib bangsa dan negara ini karena memutuskan siapakah yang paling berwenang menjadi presiden dan wakil presidennya.

Semua putusan MK sifatnya final dan mengikat bukan hanya untuk para pihak, tetapi untuk semua warganegara Indonesia, di mana saja berada. Jadi, secara hukum, tidak ada satu warganegara pun yang bisa bersikeras menyatakan menolak dan tidak mau mengakui presiden dan wakil presiden yang telah diputuskan oleh MK itu dengan segala konsekuensi hukumnya.

Maka untuk menjadi hakim MK, apalagi Ketua MK, harus memenuhi syarat-syarat dan proses seleksi yang sangat ketat. Di antaranya yang bersangkutan selain mempunyai pengetahuan hukum yang sangat baik, juga harus mempunyai jiwa yang bijaksana sebagai seorang negarawan.

Begitu tinggi, penting, dan mulianya MK itu, sampai-sampai ada yang mengibaratkan MK itu sebagai wakil dari Tuhan di Indonesia!

Selama persidangan perselisihan hasil Pilpres 2014 (6-21 Agustus 2014) yang disiarkan langsung oleh beberapa stasiun televisi secara berkesinambungan itu kita bisa menyaksikan betapa anggun dan berwibawanya para Majelis Hakim MK itu. Yang paling menonjol tentu saja adalah Hamdan Zoelva sebagai Ketua MK dan juga sebagai ketua Majelis Hakim MK.

Hamdan Zoelva telah memimpin persidangan tersebut dengan sangat baik. Para pakar pun mengangkat jempol tinggi-tinggi buatnya. Boleh dikatakan sampai tahapan ini, Hamdan Zoelva telah mulai dapat memperbaiki kerusakan sangat parah di MK yang telah dilakukan oleh Ketua MK sebelumnya, Akil Mochtar.

Akil Mochtar yang Menghancurkan Kehormatan MK

Pada 2 Oktober 2013 malam, KPK menangkap basah Ketua MK Akil Mochtar di rumah dinasnya di Kompleks Widya Chandra Nomor VII, Jakarta Selatan. Dia tertangkap basah menerima suap Rp. 3 miliar dari pihak Bupati Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Hambit Bintih, dalam kaitannya dengan persidangan perselisihan hasil Pilkada di kabupaten itu di MK. Ketika itu, penangkapan Ketua MK Akil Mochtar benar-benar membuat gempar dunia hukum Indonesia. Kasus ini bahkan sampai menjadi pemberitaan dunia internasional. Seketika itu juga kepercayaan publik kepada MK merosot tajam.

Ternyata, kasus itu hanya awal dari terbongkarnya kerusakan moral dan keserakahan luar biasa dari seorang Akil Mochtar. Dari kasus Bupati Hambit Bintih itu terkuak pula kasus-kasus lainnya.

Di Provinsi Banten, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan adiknya Tubagus Chairi Wardana, ditangkap KPK. Kemudian menyusul rentetan kasus Pilkada lainnya yang semua bersumber pada penyuapan terhadap Akil Mochtar. Ternyata, Ketua MK itu bukan hanya menerima suap dari sejumlah kepala daerah, dia juga melakukan tindak kejahatan pencucian uang.

Dari hasil pemeriksaan dan persidangan terhadap Akil Mochtar, terkuak bahwa ada 15 kepala daerah yang juga telah menyuap Akil Mochtar sebagai Ketua MK!

Pada 30 Juni 2014, Pengadilan Tipikor Jakarta pun telah menjatuhkan vonis kepadanya, sekaligus memecahkan rekor hukuman paling berat kepada pejabat koruptor yang pernah ada selama ini: Akil Mochtar divonis penjara seumur hidup! Demikianlah akhir tragis dari seorang Akil Mochtar, yang semula berada di salah satu posisi paling tinggi dan paling disegani di dunia peradilan, jatuh terjerambab dengan cara yang begitu hina.

[caption id="attachment_320499" align="aligncenter" width="510" caption=" -- Dia divonis penjara seumur hidup. (Merdeka.com)"]

1408724394165597936

[/caption]

KPK pun bertekad bulat untuk terus memburu semua kepala daerah yang pernah menyuap Akil Mochtar, sampai hari ini. KPK menyatakan tak akan membiarkan satu pun kepala daerah yang pernah menyuap Akil Mochtar untuk terus memimpin daerahnya. KPK akan memburu terus, sampai semua dari 15 kepala daerah itu ditangkap dan dipenjarakan. Yang terbaru, KPK telah menetapkan Wali Kota Palembang Romi Herton (16/6/2014) dan Bupati Tapanuli Tengah Raja Bonaran Situmeang (20/8/2014) sebagai tersangka baru penyuap Akil Mochtar.

Ternyata selama itu MK telah dipimpin oleh seorang penjahat yang sejahat-jahatnya dalam dunia korupsi se-Indonesia. Sejauh ini, dialah pejabat paling tinggi yang pernah dipenjarakan KPK.

Lembaga peradilan MK yang seharusnya begitu dihormati, disegani, tinggi dan mulia – sejajar dengan Mahkamah Agung, runtuh di tangan Akil Mochtar. Padahal sebagai seorang Ketua MK, gajinya lebih dari Rp. 200 juta per bulan plus tunjangan-tunjangan lainnya. Oleh karena itu bisa dibayangkan betapa serakah dan rusaknya moral seorang Akil Mochtar, dan dia adalah Ketua MK! Sangat tragis!

Tak heran pada saat dia ditangkap KPK, semua orang luar biasa terkejutnya, termasuk Presiden SBY. MK seolah-olah telah dibuat kiamat olehnya, hancur-lebur reputasi dan kepercayaannya di mata publik.

Tugas Berat Hamdan Zoelva Mengembalikan Kehormatan MK

Maka itu, Hamdan Zoelva yang terpilih sebagai Ketua MK pada 1 November 2013 (akan menjabat sampai 2016), mengganti Akil Mochtar, mempunyai tugas yang sangat berat untuk memulihkan kembali nama baik, reputasi dan kepercayan publik kepada MK. Ujian yang paling berat dan menentukan itu adalah saat persidangan sengketa hasil Pilpres 2014 itu.

Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto sempat menyatakan optimismenya kepada MK yang dipimpin oleh Hamdan Zoelva itu. Dia bilang, putusan MK atas sengketa hasil Pilpres 2014 itu bisa mengembalikan marwah, kehormatan, dan kewibawaan MK yang sempat tercoreng karena kasus korupsi mantan Ketua MK, Akil Mochtar.

"KPK juga meyakini, putusan terbaik MK dalam sengketa ini dapat ditujukan sebagai rebound yang kelak akan dapat mengembalikan marwah, kewibawaan dan kehormatan MK sebagai the guardians of constitution and the guardian of justice for voters and election," kata Bambang melalui pesan singkat kepada Kompas.com, Kamis (21/8/2014), sebelum putusan itu dibacakan.

Menurut Bambang, selama persidangan sengketa Pemilu 2014, Majelis Hakim MK telah menunjukkan sikap profesionalnya.

Apa yang menjadi harapan dan optimisme Bambang Widjojanto itu pun terkabul. Majelis Hakim MK yang dipimpin oleh Hamdan Zoelva telah menyelasaikan sengketa hasil Pilpres 2014 itu dengan sangat baik. Mulai dari awal sidang pada 6 Agustus 2014, sampai putusan dibacakan pada 21 Agustus 2014 itu kita semua bisa menyaksikan, betapa elegan dan berwibawanya para Majelis Hakim MK itu. Sama sekali tidak terlihat adanya kejanggalan dan indikasi intervensi pihak manapun dari persidangan tersebut. Dua jempol pun diangkat tinggi-tinggi untuk Hamdan Zoelva dan delapan Hakim MK lainnya.

Dengan demikian mulai dari momen hasil persidangan sengketa hasil Pilpres 2014 itu, besar harapan Hamdan Zoelva akan benar-benar suskes mengembalikan kepercayaan publik kepada MK. Mengembalikan posisi MK sebagai lembaga hukum yang tertinggi dan mulia di bidang kewenangannya, sebagai the guardians of constitution and the guardian of justice for voters and election, bisa tercapai/terwujud.



Filosofi Hamdan Zoelva

Ketika diwawancara Susana Rita dari Harian Kompas, yang dimuat di Kompas, Jumat (22/08), Hamdan antara lain mengatakan, “Yang penting, sebagai hakim saya percaya ada kehidupan setelah kematian. Pada saat itu, kita akan diminta pertanggungjawaban terhadap apa yang kita putuskan sebagai penguasa, sebagai pejabat. Itulah yang paling saya takuti.”

“Walapun saya tahu ada pertanggungjawaban kepada negara, kepada rakyat, tetapi yang jauh lebih saya takuti adalah pertanggungjawaban kepada Tuhan. Karenanya, saya harus jernih, bening, dan memosisikan diri sebagai orang yang ada di tengah. Hal yang harus saya bunuh adalah perasaan saya kalau saya suka pada salah satu pihak,” lanjut Hamdan.

Ketika ditanya Susana, apakah ada beban psikologis (dalam memutuskan perkara sengketa Pilpres 2014)? Hamdan menjawab, “Bagi kami, seluruh hakim, hal yang paling penting adalah pertanggungjawaban dalam kebenaran karena putusan ini akan dibaca anak cucu kita dalam sejarah. Nanti dibuka file-file-nya, sembilan hakim ini apakah melakukan kesalahan atau tidak. Itulah yang kami jaga betul.”

“Dengan keyakinan itu, kami jalan lurus saja, dan pasti tentunya, ada yang senang dan ada yang tidak senang. MK itu tidak menjatuhkan putusan politik. MK menjatuhkan putusan hukum”.

Itulah pernyataan yang paling bijak dari seorang Hamdan Zoelva, dan itu sudah diabuktikan dalam prakteknya.

Ada pameo yang mengatakan, seseorang baru sungguh-sungguh bisa dikatakan bersih dan jujur jika dia mempunyai kesempatan untuk korupsi, manipulasi, dan lain-lain, tetapi dia tidak sudi melakukannya. Bukan karena takut ketahuan orang lain, atau takut dipenjara, tetapi karena dia menuruti hati nurani yang takut kepada Tuhan, dan takut akan pertanggungjawabannya kepada keluarga, kepada anak cucunya.

Mulianya Hamdan Zoelva, Hinanya Akil Mochtar

Hati yang bijaksana ini rupanya tidak ada pada seorang Akil Mochtar, -- entah bagaimana caranya sosok yang sedemikian kotornya bisa lolos seleksi di DPR. Rupanya, Akil Mochtar tidak mempunyai rasa takut kepada Tuhan, dia terbiasa melawan hati nuraninya, dia juga tak terpikirkan untuk bagaimana tanggung jawabnya kepada keluarganya yang harus ikut menanggung malu atas semua perbuatannya itu.

Saat ini kita menyaksikan betapa tragis dan kontrasnya posisi Hamdan Zoelva dibandingkan dengan Akil Mochtar. Betapa mulianya Hamdan Zoelva sebagai Ketua MK, dan betapa hinanya Akil Mochtar di penjara.

Hamdan Zoelva dalam kedudukannya sebagai seorang ketua MK saat ini begitu terlihat mulia dan berwibawanya, termasuk ketika dia memimpin sidang sengketa Pilpres 2014 itu, sebaliknya – bagaikan langit dengan bumi, nasib Akil Mochtar, dia harus menghabiskan sisa masa hidupnya di penjara. Mati secara hina sebagai salah seorang pejabat tinggi paling korupsi sepanjang sejarah. Akil Mochtar telah menyia-nyiakan dan sama sekali tidak menghargai kesempatan hidup mulia yang diberikan Tuhan kepadanya.

Semoga untuk seterusnya Hamdan Zoelva dan delapan orang Hakim MK lainnya bisa terus mempertahankan integritasnya, serta kelak para pengganti mereka akan mau belajar dengan kesungguhan hati dari sejarah hidup Akil Mochtar dan Hamdan Zoelva.

[caption id="attachment_320500" align="aligncenter" width="648" caption="Akil Mochtar sebagai tahanan KPK (Antaranews.com) / Hamdan Zoelva sebagai Ketua Majelis Hakim MK dalam sidang sengketa Pilpres 2014 (Tribunnews.com)"]

14087253811592331143

[/caption]

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline