Jumat, 9 Januari 2015, satu lagi jenazah korban kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501 teridentifikasi, yaitu seorang pria bernama Martinus Djomi (27). Ia dikenali dari cincin kawin yang dikenakannya, dan terutama dari hasil test DNA yang dicocokkan dengan DNA dari kedua orangtuanya. Cincin kawin yang dikenakan Martin itu berinisial “R”, singkatan dari nama istrinya Ria Ratnasari.
Martin, Ria, dan anak semata wayang mereka yang baru berusia 2 tahun, putri nan cantik dan sedang lucu-lucunya, Kaylee Djomi yang didampingi seorang suster, bersama-sama menumpang pesawat Air Asia itu hendak berlibur ke Singapura, pada hari naas itu, 28 Desember 2014. Ria dan Kaylee sampai saat ini belum ditemukan. Ria juga sedang mengandung anak mereka yang kedua. Usia kandungannya baru tiga bulan.
Martinus Djomi dan keluarganya berdomisili di Ruteng, Flores, Nusa Tenggara Timur. Dia juga punya keluarga di Surabaya, Jawa Timur. Di Ruteng, dia membuka usaha toko elektronika, “Pagi Electronic.”
[caption id="attachment_345826" align="aligncenter" width="320" caption="Martin Djomi dan Ria Ratnasari (sumber FB Martin)"][/caption]
[caption id="attachment_345827" align="aligncenter" width="332" caption="Kaylee (2), putri dari Martin dan Ria (sumber: FB Martin)"]
[/caption]
[caption id="attachment_345828" align="aligncenter" width="346" caption="Saat-saat berbahagia bersama si mungil (sumber: FB Martin)"]
[/caption]
Semasa hidupnya Martin dikenal sangat baik dan berbakti kepada kedua orangtuanya, juga sangat sayang dengan neneknya. Oleh karena itu, sebelum berlibur ke Singapura, dia bersama keluarganya menyempatkan diri singgah di Surabaya khusus untuk merayakan Natal bersama mereka. Setelah itu barulah mereka pada Minggu, 28 Desember 2014 itu bermaksud melanjutkan perjalanannya ke Singapura dengan menumpang pesawat Air Asia dengan nomor penerbangan QZ8501 itu.
Selain keluarga Martin, ada lagi Christian Fandi Santoso dan istrinya, Indriyani, yang juga sama-sama berdomisili di Ruteng, dan juga sama-sama menumpang pesawat Air Asia tersebut. Fandi dan istrinya juga termasuk yang belum ditemukan sampai hari ini. Mereka baru saja menikah pada September 2014, di Surabaya.
Saya pribadi tidak kenal dengan keluarga Martin, maupun Fandi, tetapi suami dari saudara perempuan istri saya, juga berasal dari Ruteng, NTT. Dia kenal dengan Martin, sedangkan Fandi adalah saudara sepupunya. Mertua saya juga kenal baik dengan orangtua Martin. Ternyata, salah satu keponakan saya, juga adalah teman dari Ria dan Martin.
Dari hubungan tersebut, ditambah informasi dari Face Book kerabat dari Ria dan Martin, maupun Face Book dari Martin dan Fandi sendiri, saya bisa menulis singkat tentang keluarga mereka, termasuk sumber foto-fotonya di sini.
[caption id="attachment_345829" align="aligncenter" width="432" caption="Christian Fandi Santoso (sumber: FB Fandi)"]
[/caption]
Dari situ juga diketahui bahwa ternyata di saat-saat terakhirnya, Martin sempat melakukan komunikasi dengan salah satu saudara iparnya, Margaretha Fei, yang tampaknya dilakukan dari Terminal 2 Bandara Juanda, sesaat sebelum boarding.
“Juanda Terminal-2 Air Asia ciamik …” tulis Martin dalam BBM-nya kepada Fe.
Sebelumnya, pada 21 Desember 2014, dalam komunikasi BBM-nya dengan Fe, dia mengajak Fe dan suaminya bersama-sama berangkat ke ke Singapura, supaya bisa menikmati liburan ramai-ramai di sana:
“Koko tgl 28 brangkat ke sgp aja fe”
“Fe ajak suami ke sgp aja”
“Rame2”
[caption id="attachment_345825" align="aligncenter" width="312" caption="Capture komunikasi BBM Martin dengan Fe (sumber: Margaretha Fei)"]
[/caption]
Keluarga Martin dan Fandi dan istrinya adalah dua di antara beberapa keluarga sekaligus yang menjadi korban jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 itu. Yang paling banyak korban dalam satu keluarga adalah keluarga dari The Meiji Thejakusuma (45), pemilik beberapa toko fashion “Planet One” di Surabaya. Kebetulan adik Meiji adalah teman dari istri adik saya.
Mereka satu keluarga besar yang terdiri dari tujuh orang sekaligus, sama-sama menjadi korban jatuhnya pesawat Air Asia itu. Selain Meiji, juga ikut bersama adalah suaminya, Jie Charliy Gunawan (48), dengan tiga anak mereka: Jie Stephanie Gunawan (28), Jie Steven Gunawan (19), dan Jie Stevie Gunawan (10), ditambah dengan ibu dari Meiji, Jo Indri (80), dan calon menantu Christianto Leoma Utama (20).
Dari mereka semua, baru jenazah Meiji dan ibunya saja yang ditemukan tim Badan SAR Nasional.
[caption id="attachment_345830" align="aligncenter" width="461" caption="Kenang-kenangan keluarga Martin Djomi dan Fandi Santoso. Kiri bawah: Pernikahan Fandi dan Indrijani, September 2014 (sumber: Margaretha Fe)"]
[/caption]
*
Kecelakaan pesawat kali ini yang terjadi pada pesawat Air Asia dengan nomor penerbangan QZ8501 ini memang terasa sangat tragis “melebihi” musibah-musibah serupa karena korban-korbannya berupa beberapa keluarga lengkap sekaligus, masih muda-muda, anak-anak, balita, dan bayi, seperti keluarga Martin Djomi, keluarga Christian Fandi Santoso, dan keluarga The Meiji Thejakusuma, yang disebutkan di atas.
Selain itu masih ada lagi korban yang lain, yang merupakan satu keluarga, seperti keluarga Hermanto Tanus (40), bersama dengan istrinya, Liangsih Indahju (38), dengan dua anak mereka, Geovanni Nico (17) dan Geovanni Justin (9). Mereka semua pergi selamanya meninggalkan Chiara Natasya (15) anak kedua, yang kini menjadi yatim piatu. Dari keluarga korban Air Asia ini, sampai saat sekarang, tinggal sang ayah saja yang belum ditemukan.
Chiara bersekolah di Metodhist Girls School (MGS), Singapura. Kedua orangtua dan dua saudara kandungnya itu sebenarnya hendak ke Singapura untuk merayakan Natal bersama di sana, dan rencananya tanggal 2 Januari 2015 mereka balik ke Indonesia.
Kebetulan pula Lingsih Indahju adalah teman dari kakak istri adik saya, dan Chiara satu tempat les dengan anak perempuan adik saya itu di Eduvisi, Galaxi Bumi Permai, Surabaya. Chiara adalah salah satu anak yang setahun yang lalu lolos dalam program seleksi bea siswa untuk bersekolah di Singapura.
*
Kehilangan satu anggota keluarga saja dengan cara seperti itu (kecelakaan pesawat terbang) sudah merupakan suatu pukulan yang maha berat, apalagi sampai merupakan satu keluarga lengkap, seperti keluarga-keluarga yang saya sebutkan di atas. Seberapa berat beban yang harus dipikul oleh sanak keluarga yang ditinggalkan mereka semua dengan cara yang sedemikian sangat tragis?!
Saya sendiri pernah merasakan pukulan bathin yang sangat berat ketika kakak kandung saya juga menjadi korban meninggal kecelakaan pesawat Merpati di Sorong, Papua Barat, pada 1 Juli 1993, sebagaimana pernah saya tulis di Kompasiana. Sampai sekarang, setiap kali ada kecelakaan pesawat lagi dengan jatuhnya korban jiwa di Indonesia, saya selalu teringat kembali dengan tragedi yang pernah terjadi di dalam keluarga kami itu. Padahal itu, sudah lama sekali, duapuluh satu tahun yang lalu.
Ini menunjukkan bahwa meskipun rasa duka yang sangat dalam itu pada akhirnya dapat disingkirkan oleh waktu, tetapi duka-nestapa yang terlalu dalam di hati itu terus terkubur di dalam sanubari yang dalam, tidak hilang-lenyap tanpa bekas. Sewaktu-waktu ia dapat muncul kembali, terutama di saat-saat kita menyaksikan kembali tragedi-tragedi serupa, meskipun tidak lagi disertai emosi kepedihan sebagaimana ketika peristiwa itu terjadi.
Saya yakin bagi siapa saja yang masih punya empati pasti hatinya akan sangat trenyuh mengikuti perkembangan berita dari kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501 ini. Menyaksikan ekspresi-ekspresi duka mendalam keluarga korban, melihat mereka menangis sekeras-kerasnya, berpelukan satu dengan yang lain sambil hujan air mata berderai-derai, sampai ada yang pingsan, air mata mengalir hampir setiap saat sampai seolah-olah terkuras habis, lelah lahir-bathin selama berhari-hari, dan masih terus berlanjut entah sampai kapan, membayangkan keluarga-keluarga itu telah tiada, meninggal secara sedemikian tragis, tak terasa air mata kita juga bisa ikut mengalir.
Saat ini mereka pasti sekeras-kerasnya berusaha setabah mungkin menerima kenyataan yang luar biasa pahit ini. Di dalam suasana duka selama ini tiga belas hari ini, di rumah duka Adi Yasa, Surabaya, terus diadakan kebaktian-kebaktian rohani penghiburan yang dipimpin oleh pendeta/pastor masing-masing keluarga, bagi mereka beragama Kristen. Semuanya berusaha setegar mungkin, meskipun bathin sulit menerimanya. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan hanyalah berserah diri semuanya kepada kekuasaan Tuhan.
Nats-nats Alkitab penghiburan bagi keluarga yang ditinggal pun dibaca dan direnungkan bersama-sama sedalam-dalamnya, antara lain:
2 Korintus 5:1: Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia.
2 Korintus 7-10: Sebab dukacita menurut kehendak Allah menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak akan disesalkan, tetapi dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian.
Wahyu 14:13: “Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini. "Sungguh," kata Roh, "supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka."
Dan, seperti nats Alkitab yang saya pilih untuk ditulis di pusara almarhum kakak saya yang meninggal dunia karena kecelakaan pesawat itu pada 1993, Rudy:
1 Tesalonika 4:14: Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus, akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia.
Meskipun dengan pertanyaan-pertanyaan kepada Yang Maha Kuasa: Kenapa Engkau membiarkan semua ini terjadi? Kenapa percobaan yang luar biasa berat ini Engkau timpakan kepada kami? Kenapa Engkau mengambil sekaligus seluruh keluarga itu? Dan seterusnya …
Semua pertanyaan itu pasti hanya akan terjawab di dalam keimanan kepada Tuhan, karena di dalam jawaban-jawaban itu tersimpan misteri-misteri kekuasaan dan kasih Tuhan kepada kita yang percaya. Bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini pasti tak selalu sesuai yang kita kehendaki. Sebaliknya, terkadang peristiwa-peristiwa yang menimpa kita, keluarga kita itu sangat bertolak belakang dengan apa yang kita kehendaki, termasuk ketika suatu musibah menimpa keluarga kita. Tetapi Tuhan juga pernah memberitahu kepada kita bahwa hanya Dia-lah yang mengetahui apa yang terbaik bagi kita semua, termasuk di dalam musibah-musibah yang terjadi. Pada waktunya kita akan menyadarinya. Semua itu bagian dari rahasa keimanan kepada Tuhan.
Tuhan Yesus di dalam doaNya di taman Getsemani, menjelang penyalibanNya, berkata, "Ya BapaKu, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari padaKu, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Matius 26:39).
Meskipun kita tak bisa sepenuhnya memahami misteri kasih Tuhan di dalam keadaan musibah seperti ini, orang yang sungguh-sungguh beriman tentu tetap percaya bahwa Tuhan tetap setia mengasihinya dan keluarganya, seperti syair di dalam sebuah lagu rohani yang berjudul: “Hatiku Percaya”, yang dinyayikan oleh Edward Chen. Syairnya sebagai berikut:
HATIKU PERCAYA
Saat ku tak melihat jalan-Mu
Saat ku tak mengerti rencana-Mu
Namun tetap pegang janji-Mu
Pengharapanku hanya pada-Mu
Hatiku percaya
Hatiku percaya
Hatiku percaya
S’lalu ku percaya
Lord I will trust in You
LORD I WILL TRUST IN YOU
LORD I WILL TRUST IN YOU
MY HEART WILL TRUST IN YOU
Dengarkan lagunya: …
Dengarkanlah juga lagu yang berjudul “Day by Day” yang sering dinyayikan di seluruh dunia di dalam kebaktian-kebaktian rohani Kristen sebagai penghiburan bagi mereka yang ditinggal pergi anggota keluarganya selamanya.
Lagu ini diciptakan pada abad XIX oleh seorang perempuan Swedia bernama Carolina Sandell, aslinya bejudul dalam bahasa Swedia: “Blott en dag”.
Berikut riwayat singkatnya (sumber):
Wanita yang memiliki nama lengkap Carolina Wilhelmina Sandell ini lahir 3 Oktober 1832 di pastori gereja Lutheran di Froderyd, Swedia. Pada waktu Carolina masih kecil fisiknya sangat lemah. Karena begitu lemah, dia sering tinggal di ruang belajar ayahnya, sementara teman-temannya bermain di luar. Carolina bahkan mengalami kelumpuhan dan harus terbaring di tempat tidur di usia 12 tahun. Para dokter sudah mengangkat tangan, tidak sanggup untuk menyembuhkan dia. Namun kedua orang tuanya dan Carolina sendiri percaya bahwa Allah akan memulihkan kembali kesehatannya. Lalu mereka berdoa dengan tekun.
Suatu saat, pada waktu keluarganya pergi ke gereja, Carolina membaca di Alkitab kisah tentang Yesus yang membangkitkan anak perempuan Yairus. Setelah membaca kisah itu, Carolina percaya bahwa sampai sekarang ini Yesus masih dapat membuat mujizat seperti itu juga untuk dirinya. Carolina kemudian berdoa dengan sungguh-sungguh dan penuh antusias. Dirinya kemudian dipenuhi dengan sukacita yang sangat besar dan dia bangkit dari tempat tidurnya, berganti pakaian kemudian berjalan menuju gedung gereja.
Dari pengalaman kesembuhannya yang luar biasa itu, Carolina bertumbuh imannya, dia begitu mengasihi Tuhan Yesus, mensyukuri selalu akan anugerah Allah bagi dirinya. Dan hal itulah yang memberikan kemenangan di waktu-waktu kemudian dalam kehidupannya, di saat dia mengalami berbagai kesulitan dan penderitaan.
Pada waktu usianya masih remaja, Carolina sudah senang menulis. Dan di usia 15 tahun dia menerbitkan buku kumpulan puisinya yang pertama. Dia juga kemudian menulis artikel-artikel untuk renungan rohani, majalah, maupun terbitan-terbitan berkala di masa itu. Namun sumbangsih dia yang terbesar adalah syair-syair lagu rohaninya. Lagu-lagu dia yang terkenal selain dari “Day by Day” adalah “Children of The Heavenly Father”, “Great Hills May Tremble”, “Come, Let Us Praise Him”, “Hide Not Thy Face”, “O My Savior”. Total semua syair-syair lagu yang dikarang oleh Carolina berjumlah banyak sekali, yaitu 650 buah.
Di saat Caroline berusia 26 tahun (tahun 1858), ayahnya meninggal ketika kapal yang ditumpanginya tenggelam di danau Vattern. Lagu curahan isi hati Caroline yang dibuat sebelum peristiwa naas itu terjadi rupanya menjadi kekuatan dan penghiburan tersendiri.
Jadi, lagu ciptaannya itu pertama kali dipakai sendiri oleh Caroline sebagai penghiburan bagi dirinya dan keluarganya ketika ayahnya tertimpa musibah dan mati tenggelam di danau Vattern itu.
Lagu ini kemudian digubah dan dibuat melodinya oleh beberapa penyanyi terkenal saat itu, dinyanyikan untuk orang lain yang tertimpa musibah ditinggal pergi anggota keluarganya. Dari Swedia menyebar ke seluruh Eropa, dan akhirnya ke seluruh dunia, diterjemahkan pula syairnya ke dalam berbagai bahasa, termasuk di Indonesia.
Inilah syair lagunya dalam bahasa Inggris:
DAY BY DAY
Day by day, and with each passing moment
Strength I find to meet my trials here
Trusting in my Father`s wise bestowment,
I`ve no cause, for worry or for fear,
He whose heart is kind beyond all measure,
Give unto each day what He deems best,
Lovingly it`s part of pain and pleasure,
Mingling toil with peace and rest.
Everyday the Lord Himself is near me
With a special mercy for each hour
In my cares He`ll gladly share and help me
He whose name is Counselor and Power
The protection of His child and treasure,
Is a charge that on Himself He laid.
"As thy days, thy strength shall be in measure."
This pledge to me He made.
Help me then in every tribulation,
So to trust Your promise, O Lord
That I lost not faith`s wise consolation,
Offered me within Your trustful Word.
Help me Lord when toil and trouble meeting,
E`re to take, as from a father`s hand.
One by one, the days, the moments, fleeting,
Till I reach the best, the promised land.
Inilah syair lagunya dalam bahasa Indonesia:
KEKUATAN SERTA PENGHIBURAN
Kekuatan serta penghiburan
diberikan Tuhan padaku
Tiap hari aku dibimbingNya
Tiap jam dihibur hatiku
Dan sesuai dengan hikmat Tuhan
Ku dib`rikan apa yang perlu
Suka dan derita bergantian
memperkuat imanku
Tiap hari Tuhan besertaku
diberi rahmatNya tiap jam
DiangkatNya bila aku jatuh
dihalauNya musuhku kejam
Yang namaNya Raja Mahakuasa
Bapa yang kekal dan abadi
Mengimbangi duka dengan suka
dan menghibur hati yang sedih
Dan, dengarkan lagunya, begitu menyentuh, begitu sejuk di hati, dan semoga dapat menjadi penghiburan rohani bagi semua keluarga korban musibah penerbangan Air Asia QZ8501. Tuhan memberkati kita semua, amin.
***
Artikel terkait:
Saya Dapat Merasakan Kepedihan Keluarga Korban, karena Saya Pernah Berada di Posisi Seperti Mereka