[caption id="attachment_346814" align="aligncenter" width="450" caption="(sumber: edisinews.com)"][/caption]
Terkait ditetapkannya Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK, kubu Presiden Jokowi, terutama dari PDI-P melontarkan beberapa tudingan kepada KPK. Dua di antaranya adalah tudingan KPK bermain politik, (berkonspirasi) dengan pihak tertentu untuk menjegal Budi Gunawan sebagai Kapolri, dan tudingan KPK diskriminatif, dengan membanding-bandingkan proses ditetapkannya Budi Gunawan sebagai tersangka dengan para tersangka di dalam beberapa kasus lainnya.
Terhadap tudingan pertama, dengan kata lain PDI-P hendak mengatakan bahwa sebenarnya Budi Gunawan itu tidak bersalah, bersih, tetapi oleh KPK direkayasa menjadi bersalah, supaya bisa menggagalkannya sebagai Kapolri. Entah demi kepentingan siapa. Yang artinya juga hendak menuding KPK bisa diajak berkonspirasi politik oleh pihak-pihak tertentu demi suatu tujuan politik tertentu pula dengan mengagalkan Budi sebagai Kapolri yang didukung PDI-P.
Tudingan tersebut harus bisa disertakan fakta, data dan indikator-indikator yang mampu mematahkan fakta, data dan indikator-indikator yang sudah diumumkan KPK berdasarkan Laporan Hasil Analisis (LHA) rekening gendut Budi Gunawan dari PPATK, dan laporan masyarakat itu.
Dari apa yang sudah dipublikasikan ke publik, kita sudah bisa mengetahui bahwa memang adanya kejanggalan-kejanggalan dari rekening yang di antaranya adanya transaksi keuangan mencapai 57 miliar itu, serta aset-aset benda tak bergerak berupa berhektar-hektar hektar lahan-lahan milik Budi Gunawan dan anaknya yang nilainya mencapai puluhan miliar sampai ratusan miliar rupiah itu.
[caption id="attachment_346813" align="aligncenter" width="447" caption="(sumber: Tempo.co)"]
[/caption]
Ketua PPATK Muhammad Yusuf pun sampai penasaran dengan kejanggalan transaksi keuangan yang bernilai Rp 57 miliar itu. Dia pun mengajukan tiga pertanyaan inti yang belum bisa dijawab, karena PPATK tidak bisa menindaklanjutinya sebab lembaga itu hanya berwenang melaporkan transaksi mencurigakan itu kepada penegak hukum. Pertanyaan Yusuf itu adalah, pertama, jika uang itu merupakan pinjaman dari pihak swasta di luar negeri, mengapa diberikan dalam bentuk rupiah. Kedua, pinjaman yang disebut untuk bisnis perhotelan itu diberikan tanpa agunan untuk anak Budi yang bernama Muhammad Herviano Widyatama, yang saat itu berusia 19 tahun.
“Pertanyaan ketiga, mengapa pinjaman yang begitu banyak itu diberikan dalam bentuk tunai,” tambahnya (Koran Kompas, Jumat, 16/01/2015).
Tudingan bahwa KPK terlibat dalam (konspirasi) politik pun harus mampu secara meyakinkan menyebutkan dan menjelaskan (konspirasi) politik macam apa yang dimaksud, dan siapakah yang diuntungkan dari ditetapkankanya Budi Gunawan itu sebagai tersangka.
Ada tudingan bahwa penetapan Budi sebagai tersangka itu dikarenakan dendam Abraham Samad kepada PDI-P karena batal dijadikan calon wakil presiden pendamping Jokowi. Tudingan seperti ini jelas ngawur, karena meskipun Abraham adalah Ketua KPK, segala keputusan KPK, terutama menyangkut proses hukum sampai ditetapkan seseorang sebagai tersangka itu bukan berada di tangan Ketua KPK seorang, tetapi harus diputuskan bersama dengan pimpinan KPK lainnya, sifatnya collective collegial, melalui proses yang ketat pula. Harus ada minimal dua bukti yang cukup untuk bisa menetapkan seseorang sebagai tersangka. Selain itu, bukan karakter Abraham yang sedemikian gila kuasanya sampai mau bertindak seperti itu.
Mampukah PDI-P mematahakan dalil-dalil KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka itu, agar bisa meyakinkan publik bahwa memang ada (konspirasi) politik di balik itu?
Terhadap tudingan kedua: KPK diskriminatif. Apa benar KPK diskriminatif? “Kenapa penetapan Budi Gunawan itu begitu tiba-tiba, dan begitu cepat, sementara tersangka lain, seperti Suryadharma Ali dan Jero Wacik bisa lebih lama?” “Kenapa KPK memprioritaskan Budi, padahal masih banyak kasus korupsi lainnya?” "Kenapa KPK baru sekarang menetapkan Budi sebagai tersangka untuk kasus yang sudah lama, sudah dipergunjingkan sejak 2010, atau 2008?" Itu tudingan berupa pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan kepada KPK oleh beberapa tokoh politik dari PDI-P.
Tudingan itu terdengar naif. Karena masa iya antara satu tersangka dengan tersangka lainnya, meskipun sama-sama kasus korupsi, proses lamanya dia ditetapkan sebagai tersangka, ditahan, dan sebagainya itu harus relatif sama durasi waktunya? Kan setiap kasus tersangka korupsi itu lain-lain kejadianya, ada yang tertangkap tangan, ada yang harus diinvestigasi sekian lama, disadap dulu, diintai dulu selama waktu tertentu, dokumen dan alat-alat bukti yang berhasil dikumpulkan, dan sebagainya. Tidak mungkin semua bisa sama, ada yang hanya dalam tempo relatif singkat, bisa dirampungkan, ada yang memerlukan waktu yang relatif lama.
Apakah pernah ada beberapa kasus korupsi yang penetapan para tersangkanya sampai ditahan itu semuanya relatif sama waktunya? Antara kasus korupsi impor daging sapi, kasus Hambalang, kasus korupsi di Kementerian ESDM, di Kementerian Pemuda dan Olah Raga, semuanya tidak ada yang sama durasi waktu penetapan para tersangkanya sampai ditahannya mereka satu per satu.
Bukan baru kali ini, bukan hanya Budi Gunawan, tetapi ada juga sebelumnya beberapa pejabat tinggi negara yang baru ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, untuk kasus lama, sekitar 10 tahun lalu, misalnya, Siti Fadila Supari, mantan Menteri Kesehatan, baru ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 4 April 2014 untuk kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan untuk kebutuhan (“buffer stock”) kejadian luar biasa di Kementerian Kesehatan tahun anggaran 2005.
Hadi Purnomo, mantan Ketua BPK/Dirjen Pajak, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 21 April 2014 untuk kasus dugaan korupsi pengurusan pajak yang diajukan Bank BCA pada 2003.
Selain itu, sampai sekarang tenaga penyidik dan anggaran yang dimiliki KPK itu sangat terbatas, tetapi harus menangani terlalu banyak kasus korupsi di seluruh Indonesia. Jelas KPK tidak sanggup. Untuk itulah KPK harus mempunyai skala prioritas penanganan kasus korupsi.
Seperti yang pernah dijelaskan oleh Ketua KPK Abraham Samad di dalam beberapa kesempatan, termasuk dalam pemaparannya di acara Kompasianival, 22 November 2013, di atrium Grand Indonesia, Jakarta.
Abraham menjelaskan karena minimnya tenaga penyidik dan anggaran yang dimiliki KPK, maka KPK tidak mungkin bisa menangani semua kasus korupsi di seluruh Indonesia yang berjibum-jibum banyaknya itu. Maka itu, KPK harus mempunyai skala prioritas, kasus mana yang ditangani oleh KPK. Dua di antaranya adalah KPK memprioritaskan kasus korupsi yang jumlahnya sangat besar dan/atau melibatkan pejabat tinggi negara, terutama yang memegang jabatan strategis, seperti kepala daerah, pimpinan lembaga negara, dan sebagainya (baca arsip artikel saya tentang ini di sini).
Untuk pejabat negara dengan jabatan strategis, meskipun jumlah yang dikorupsi relatif tidak terlalu besar, tetap akan menjadi prioritas utama KPK, karena penyalahgunaan jabatannya itu dengan melakukan korupsi berpotensi besar membawa dampak buruk yang sangat besar bagi bangsa dan negara.
Kriteria skala prioritas KPK yang dimaksud oleh Abraham Samad itu jelas termasuk dalam jabatan Kapolri, maka itu tak heran kalau KPK memang memprioritaskan penanganan kasus Budi Gunawan ini.
Dengan demikian jelas bahwa tudingan PDI-P terhadap KPK itu hanyalah merupakan tudingan asal bunyi hanya karena kesal dan sakit hatinya mereka kepada KPK yang “mengagalkan” idolanya menjadi Kapolri.
Sikap PDI-P yang menuding KPK melakukan (konspirasi) politik dan diskrimantif itu mengingakkan kita dengan sikap yang sama dari PKS ketika Presiden partainya, Luthfi Hasan Isaaq ditahan KPK karena terlibat kasus korupsi impor daging sapi.
Ketika itu juga para pentolan PKS menuding KPK telah melakukan konspirasi untuk menghancurkan PKS, dengan menahan Luthfi. Tidak tanggung-tanggung, KPK dituding berkonspirasi dengan agen-agen Yahudi Zionis untuk penghancuran PKS tersebut.
Selain itu, PKS juga menuding KPK bertindak diskrimantif, dengan membandingkannya dengan kasus Hambalang, yang pada saat itu KPK belum juga menahan Andi Mallarangeng.
Apakah PDI-P mau disamakan dengan PKS? ***
Artikel terkait:
Jokowi-lah yang Membuat KPK Mempercepat Status Tersangka Budi Gunawan
Pelantikan Budi Gunawan Pasti Batal
Strategi Jokowi dalam Kasus Budi Gunawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H