Lihat ke Halaman Asli

Daniel H.T.

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Perintah Jokowi, dan Janggalnya Kasus Bambang Widjojanto

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14221023871557900754

[caption id="attachment_347866" align="aligncenter" width="636" caption="Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ketika ditangkap dan diborgol polisi, Jumat, 23 Januari 2015 (sumber: Rimanews.com)"][/caption]

Dalam pernyataan persnya yang berlangsung sangat singkat, hanya sekitar 3-5 menit dengan beberapakali jedah, Jumat siang (23/01/2015), di Istana Bogor, terkait ditangkapnya Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, Presiden Jokowi berpesan kepada Polri dan KPK agar memastikan proses hukum yang ada harus obyektif dan sesuai aturan UU yang ada.

Sebagai kepala negara saya meminta kepada institusi Polri dan KPK, memastikan bahwa proses hukum yang ada harus obyektif dan sesuai dengan aturan UU yang ada," kata Jokowi di dalam konferensi pers yang dihadiri juga antara lain oleh Ketua KPK Abraham Samad, dan Wakil Kepala Polri Badrodin Haiti itu.

Selain itu, Jokowi juga meminta kepada media agar juga bersikap obyektif proporsional dalam menurunkan berita mengenai kasus tersebut.

Apa makna dari pesan Presiden Jokowi itu? Apakah berarti di dalam proses hukum penetapan tersangka oleh KPK terhadap Komisaris Jenderal Budi Gunawan itu telah berlangsung secara tidak obyektif? Jika itu ditanyakan kepada kubu Jokowi sendiri, tentu mereka segera menjawab, ya! Tetapi, fakta berbicara lain, bahwa penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka itu murni persoalan hukum, dan prosesnya sudah sangat obyektif (silakan baca argumen-argumen saya di beberapa artikel saya sebelumnya, yang saya sertakan link-nya di akhir artikel ini).

Dari berbagai media, terutama Majalah Tempo, juga dibeberkan mengenai harta kekayaan Budi Gunawan, lengkap dengan transaksi keuangan dari berbagai pihak, termasuk dari beberapa perwira polisi aktif yang masing-masing jumlahnya ratusan juta rupiah sampai miliaran rupiah. Semua itu tak sesuai dengan profil dari Budi Gunawan sebagai perwira polisi.

Apa yang diberita media seperti Tempo, menurut saya sudah cukup proporsional dan obyektif, karena juga antara lain mewawancarai Budi Gunawan sebagai penyeimbangberita itu, tetapi justru Budi sendiri meminta sebagian besar wawancara tersebut sifatnya off-the-record.

Apakah sikap Presiden Jokowi sendiri sudah obyektif dan proporsional? Bagaimana dengan proses penetapan tersangka oleh pihak Polri terhadap Bambang Widjojanto?

Kenapa Bambang Diperlakukan Seperti Teroris?

Dari awal proses penetapan tersangka itu saja sudah dimulai dengan kejanggalan-kejanggalan. Dimulai dari proses penangkapan paksa itu saja sudah menimbulkan berbagai tanda tanya besar. Kenapa Bambang yang nota bene adalah seorang pejabat tinggi negara harus ditangkap paksa di tengah jalan/ keramaian, diperlakukan seperti teroris, pakai diborgol segala?

Bukankah seharusnya sudah cukup dengan menyampaikan surat panggilan kepadanya untuk menghadap di Mabes Polri untuk diperiksa sebagai tersangka seperti maunya polisi? Bambang pasti kooperatif, dengan memenuhi panggilan tersebut.

Untuk menangkap Bambang, polisi sampai mengerahkan empat unit mobil, yang digunakan untuk memaksa berhenti dengan cara memepet mobil Bambang yang bersama putrinya, Izzat Nabila (20), baru saja selesai mengantar anak bungsunya, Muhammad Yataqqi (10) ke sekolahnya, SD Nurul Fikri, Cimanggis, Depok. Polisi juga menggunakan beberapa polisi bermotor, lengkap dengan senjata laras panjang.

Bambang langsung ditangkap, tangannya langsung diborgol. Ketika dia mempersoalkan proses penangkapannya seperti itu, salah satu polisi mengatakan kepada temannya, “Apakah ada plester?” Sebuah cara teror verbal yang sengaja dilakukan polisi, dengan kata lain, Bambang disuruh diam, kalau tidak mau mulutnya diplester.

Teror mental juga dilakukan polisi dengan menanyakan Izzat yang bersama ayahnya di mobil polisi itu hal-hal yang tidak berkaitan dengan kasus ayahnya itu.

Mobil Bambang dibawa ikut ke Mabes Polri dengan dikendarai oleh salah satu anggota yang ikut dalam penangkapan itu. Menurut pengakuan Izzat, waktu tempuh dari lokasi penangkapan ke Mabes Polri yang terletak di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan sangat cepat.

Padahal saat itu adalah pagi hari yang merupakan jam-jam padat lalu lintas karena bersamaan dengan jam masuk kantor. Ternyata, polisi menggunakan voorijder untuk mempercepat jalan mereka membawa Bambang ke Mabes Polri (Kompas.com).

Perlakuan “istimewa” proses penangkapan Bambang seperti menangkap teroris, atau penjahat kelas kakap berbahaya itu,  juga disaksikan oleh pemilik Toko Butik Rifa, Titin Supriatin (28), yang  mengaku melihat proses penangkapan itu di depan tokonya. Ia melihat sejumlah polisi yang naik motor dan bersenjata laras panjang, mobil yang memepet sebuah mobil untuk dipaksa berhenti, dan sejumlah polisi yang kemudian menangkap seorang bapak-bapak yang keluar dari mobil itu, yang saat itu belum diaketahui sebagai Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto (Tempo.co).

Terkesan kuat bahwa cara polisi-polisi itu memperlakukan Bambang seperti itu merupakan ekspresi dari dendam kesumat, amarah, dan kebencian yang teramat sangat terhadap Bambang sebagai salah satu pimpinan KPK, terkait dari penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus gratifikasi oleh KPK. Sangat sulit untuk percaya bahwa penangkapan Bambang itu tak terkait dengan kasus Budi Gunawan.

Proses Penangkapan Bambang Mirip Kasus Novel Baswedan

Kasus yang disangkakan kepadanya Bambang Widjojanto pun penuh dengan kejanggalan-kejanggalan hukum. Bambang diditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap itu berdasarkan tuduhan bahwa dia, pada 2010,  ketika menjadi pengacara salah satu pihak dalam sengketa Pilkada Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, telah menyuruh beberapa saksi menyampaikan kesaksian palsu di persidangan Mahkah Konstitusi.

Hasil Pilkada Kotawaringin, diumumkan KPU pada 12 Juni 2010, pemenangnya adalah pasangan Sugianto Sabran-Eko Sumarno. Lawannya, pasangan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto menggugat hasil tersebut ke MK, dengan salah satu kuasa hukumnya Bambang Widjojanto.

Dalam proses perdidangan di MK itu, tim sukses Ujang menghadirkan 61 saksi, salah satunya Ratna Mutiara. Mereka memberi kesaksian bahwa dalam Pilkada itu, pihak Sugianto Sabran telah melakukan politik uang secara sistematis, masif, dan terstrukur.

Tanggal 7 Juli 2010, MK mengabulkan permohonan Ujang dengan mengdiskualisifikasi kemenangan Sugianto.

Tanggal 16 Juli 2010, kubu Sugianto melaporkan sembilan saksi Ujang, salah satunya Ratna Mutiara, ke Bareskrim Polri dengan tuduhan memberi kesaksian palsu. Pada 9 Oktober 2010, Bareskrim menangkap Ratna Mutiara dengan tuduhan tersebut. Sedangkan delapan orang lainnya tidak ditangkap karena kurangnya bukti, pihak Sugianto kemudian mencabut gugatan mereka terhadap delapan orang itu.

Pada 16 Maret 2011 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengvonis Ratna bersalah dan dijatuhi hukuman lima bulan penjara.

Sejatinya kasus tersebut sudah selesai sampai di situ. Apakah kesaksian palsu Ratna itu berdasarkan perintah dari Bambang atau orang lain, tidak diperkarakan.

Tiba-tiba, pada tanggal 15 atau 19 januari 2015, Sugianto Sabran melaporkan kembali kasus kesaksian palsu ke Bareskrim Polri, kali ini dengan tuduhan kesaksian palsu yang disampaikan Ratna itu adalah karena disuruh Bambang Widjojanto.

Ternyata, Sugianto Sabran ini adalah kader PDI-P. Bahkan dia mengaku, sebelum menggugat Bambang, dia terkebih dulu melakukan konsultasi dengan beberapa petinggi PDI-P, meskipun menyangkal gugatan itu berdasarkan pesanan dari tokoh tertentu di PDI-P.

Siapakah yang percaya bahwa kejadian ini hanya merupakan suatu kebetuan belaka, dan bahwa tidak ada hubungan apapun dengan kasus Budi Gunawan?

Disebut tanggal 15 atau 19 januari, karena pengakuan Polri tentang waktu pelaporan itu pun membingungkan.

Polisi selalu menyebutkan laporan itu dibuat pada 15 Januari 2015, tetapi salinan berkas laporan yang dipegang Sugianto, tercatat laporannya dibuat tanggal 19 Januari 2015.  Saat Wakapolri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti mendatangi Istana Bogor, Jumat, 23 januari 2015, dia juga memperlihatkan berkas laporan tersebut kepada wartawan. Menurut Kompas.com, dalam surat tanda lapor itu terdapat coretan tangan di angka 19 yang diganti menjadi tanggal 15. Jadi terdapat perbedaan tanggal laporan antara yang dipegang pelapor (Sugianto) dengan yang ada di polisi (Kompas.com).



[caption id="attachment_347865" align="aligncenter" width="330" caption="Surat tanda lapor Sugianto, tercantum tanggal 19 Januari 2015. Empat hari kemudian polisi menangkap Bambang Widjojanto (Sumber: detik.com)"]

142210229626089960

[/caption]

Kenapa polisi mengganti tanggal 19 menjadi 15 itu? Kemungkinan besar karena polisi sendiri merasa rentang waktu tanggal 19 itu terlalu cepat dengan tanggal ditangkapnya Bambang itu (23 Januari), hanya 4 hari. Polisi khawatir ini akan membuat sangat kentara kasus tersebut merupakan hasil rekayasa.

Patut diduga tanggal tanda laporan kepada polisi itu yang benar adalah tanggal 19 Januari 2015, itu terbukti dari salinan surat laporan yang ditunjukkan Sugianto kepada wartawan, tertulis 19 januari 2015. Polisi hendak memberi kesan waktu lebih lama antara laporan itu dengan waktu penangkapan Bambang, maka itu mereka menyebutkan laporan mereka terima sejak tanggal 15 Januari. Tetapi, baik itu tanggal 15, ataupun tanggal 19, tetap saja tidak mengurangi pertanyaan penting: Bisa begitu super cepatkah, hanya membutuhkan waktu 4 hari proses penyelidikan dan penyidikan itu untuk menetapkan Bambang sebagai tersangka, kemudian langsung ditangkap itu? Kalau pun bisa, kelihatan juga begitu polisi sangat luar biasa mengistimewakan kasus ini. Masih adakah yang percaya bahwa ini hanya kebetulan, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan kasus Budi Gunawan?

Modus mengkriminalisasi Bambang ini mirip dengan yang pernah dilakukan polisi terhadap salah satu penyidik KPK dalam kasus korupsi simulator ujian SIM dengan tersangka utama Inspektur Jenderal (Pol) Djoko Susilo, Komisaris (Pol) Novel Baswedan.

Ketika itu juga berkas-berkas lama Novel dibongkar kembali, ditemukanlah kasus penganiayaan berat di Bengkulu pada 2004 yang dilakukan beberapa polisi anak buah Novel Baswedan terhadap para tersangka kasus pencurian sarang burung walet. Waktu  itu Novel menjabat sebagai Kepala Bareskrim Polda Bengkulu. Kasus ini pun direkayasa seolah-olah Novellah yang melakukan penganiayaan berat itu (menembak sampai cacat para tersangka). Kasus itu pun sebenarnya sudah selesai, sebagai atasan Novel telah dikenakan sanksi. Sedangkan para pelaku sudah dipidana.

Tetapi karena KPK menetapkan Djoko Susuilo sebagai tersangka korupsi, polisi pun mencari-cari kesalahan KPK, tumbalnya adalah Novel Baswedan karena dia juga merupakan salah satu penyidik kasus Djoko itu. Rekayasa kasus pun dibuat. Para korban kasus 2004 itu pun kembali dihubungi, dan dipaksa untuk membuat laporan penganiayaan itu kembali.

Hasil investigasi KPK, dan beberapa pihak termasuk wartawan Tempo, pun menemukan beberapa kejanggalan dari laporan itu. Antara lain ditemukan fakta bahwa laporan pihak korban terhadap Novel baru dibuat Polda Bengkulu pada 1 Oktober 2012, atau hanya empat hari sebelum Polda Bengkulu dibantu Polda Metro Jaya dan Mabes Polri berupaya menangkap Novel.

Pengacara korban juga menyangkal telah melaporkan Novel Baswedan ke polisi, yang benar, dia hanya mengirim surat permohonan minta keadilan kepala Kapolri (waktu itu dijabat oleh Timur Pradopo), agar polisi mau menanggung biaya pengobatan selanjutnya dari kliennya, karena kaki bekas luka tembakan yang dilakukan oleh anak buah Novel itu, masih sakit.

Waktu Bambang ditangkap Bareskrim Polri, Jumat pagi, 23 Januari 2015 itu, Wakil Kapolri yang juga menjabat sebagai plt Kapolri Badrodin Haiti ketika dikonfirmasi pertama kali oleh Johan Budi, mengaku tidak tahu kalau Bambang ditangkap anak buahnya. Hal ini sangat mirip dengan upaya penangkapan Novel Baswedan tempo hari (2012).

Kapolri ketika itu, Jenderal (Pol) Timur Pradopo pun mengaku tidak tahu adanya upaya penangkapan terhadap Novel oleh anggota Polda Bengkulu bersama Pola Metro Jaya yang menggepung Gedung KPK itu. Waktu itu, atas instruksi Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Kapolri pun memerintahkan anggota Polda Bengkulu yang dibantu Polda Metro Jaya itu meninggalkan Gedung KPK.

Informasi yang diterima Kompas.com waktu itu kemudian, menyebutkan, sehari sebelum pengepungan di kantor KPK itu, Kapolri Timur Pradopo melakukan pertemuan dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Komjen Sutarman dan Kadiv Propam Polri Irjen Budi Gunawan. Pertemuan tersebut diduga membahas rencana penangkapan Novel. Penangkapan sengaja dilakukan di Gedung KPK untuk memberikan pukulan kepada lembaga antikorupsi itu.

Modus itulah kini diulangi ketika polisi menangkap Bambang Widjojanto, yang diperlakukan seperti menangkap teroris, atau penjahat kelas kakap yang sangat berbahaya. Maksudnya adalah untuk memberi pukulan mental baik kepada bambang pribadi, maupun kepada KPK. Kadiv Propam Polri saat peristiwa Novel Baswedan itu, Inspektur Jenderal Budi Gunawan, kini berpangkat Komisaris Jenderal dan menjadi calon tunggal Kapolri, menjadi salah satu tokoh utama “cicak vs buaya” jilid 3 ini.

Kejanggalan-kejanggalan lain kasus Novel Baswedan dapat anda periksa kembali dengan bantuan Google. Salah satunya bisa di klik di sini.

Kepala Penyidik Kasus Bambang adalah Salah Satu Perwira Polisi yang Mangkir ketika Dipanggil KPK sebagai Saksi Kasus Budi Gunawan

Kejanggalan-kejanggalan kasus Bambang Widjojanto ini diperparah dengan ketidakobyektifan Mabes Polri menangani kasus ini.

Ternyata, Kepala Penyidik kasus Bambang ini adalah Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigadir Jenderal (Pol) Herry Prastowo. Padahal dia juga adalah salah satu dari perwira polisi yang pernah dipanggil KPK sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi Budi Gunawan (Metrotvnews.com).

Pada 20 Januari 2015, Herry Prastowo adalah salah satu dari lima perwira polisi yang tidak datang ketika dipanggil KPK untuk didengar keterangannya sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi Budi Gunawan. Ketidakhadiran Herry di Gedung KPK itu, tanpa memberi alasannya. Tiga hari kemudian giliran anak buahnya menangkap Wakil ketua KPK Bambang Widjojanto!

[caption id="attachment_347864" align="aligncenter" width="636" caption="Herry Pratowo, salah satu perwira polisi yang tidak datang ketika dipanggil KPK, pada 20 Januari 2015 (sumber: Harian Jawa Pos, Rabu, 21/01/2015)"]

1422102188296944844

[/caption]

Lebih sensitif lagi, karena berdasarkan data transaksi mencurigakan di rekening Budi Gunawan, salah satu transaksi itu berasal juga dari Herry Prastowo. Dari catatan PPATK yang berhasil didapat Majalah Tempo diketahui bahwa pada 4 Januari dan 22 Mei 2006 ada transaksi masuk dari Herry Prastowo ke rekening Budi Gunawan sebesar Rp. 300 juta. Transaksi itu diduga sebagai imbalan dari Herry untuk Budi atas mutasi dan jabatannya sebagai Direktur Reserse Kriminal Polda Kalimantan Timur. Jika kasus Budi Gunawan itu terus dilanjutkan oleh KPK, tidak tertutup kemungkinan Herry bersama beberapa perwira polisi lainnya pun akan ikut terseret sebagai tersangka. Ironisnya, sekarang, dia malah ditugaskan sebagai kepala penyidik kasus Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto!

[caption id="attachment_347863" align="aligncenter" width="626" caption="Catatan setoran Herry Prastowo ke rekening Budi Gunawan pada 2006 (Sumber: Tempo.co)"]

14221021061488945280

[/caption]

Apakah mungkin tidak akan ada terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) dalam penyidikan kasus Bambang tersebut?

Apakah perihal ini tidak diketahui oleh Presiden Jokowi, sehingga dia hanya berpesan kepada KPK dan Polri agar harus bersikap obyektif dalam menangani kasus masing-masing? Apa peran Komplonas dalam hal ini? Kenapa mereka hanya diam saja?

Terbukti sudah bahwa sampai saat ini pihak Polri-lah yang tidak obyektif dalam menangani kasus Bambang, ditambah dengan dugaan kuat adanya rekayasa kasus tersebut. Lalu, ketika pelanggaran itu telah terjadi, apakah yang akan dilakukan Presiden Jokowi, yang sudah berpesan: “Sebagai kepala negara saya meminta kepada institusi Polri dan KPK, memastikan bahwa proses hukum yang ada harus obyektif dan sesuai dengan aturan UU yang ada.” ***

Artikel terkait:

-Perbedaan “Cicak vs Buaya” Jilid 3 dengan Jilid 1 dan 2

-Mempertanyakan Slogan Jokowi

-Kasus Budi Gunawan, PDI-P Mau Seperti PKS?

-Jokowi-lah yang Membuat KPK Mempercepat Status Tersangka Budi Gunawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline