Lihat ke Halaman Asli

Daniel H.T.

TERVERIFIKASI

Wiraswasta

Jika BG Tidak Tersangka, Apakah KPK Juga Tidak “Dihabisi”? (Bagian Kedua)

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14236471421783142279

[caption id="attachment_350615" align="aligncenter" width="620" caption="Wakil Presiden (Wapres) Megawati Soekarnoputri bersama ajudan Kolonel Pol. B Gunawan pada sidang kabinet di Bina Graha, Jakarta, 11 Januari 2001. [TEMPO/ Rully Kesuma"] "][/caption]

Perlawanan Jokowi

Latar Belakang Pencalonan Budi Gunawan

Presiden Jokowi bukan tanpa perlawanan menghadapi desakan-desakan yang sedemikian masif kepadanya, yang justru dilakukan orang-orang dekat di sekelilingnya, bahkan termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Buktinya ketika dia menyatakan kehendaknya untuk membatalkan pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri, Jokowi tidak menyampaikan kepada para Ketua Umum partai politik di KIH ketika mereka bersama-sama menemuinya, pada Selasa, 3 Februari lalu, tetapi hal itu justru disampaikan kepada ketua tim independen Syafii Maarif. Kepada Syaffi, lewat telepon, Jokowi mengatakan pertemuannya dengan para ketua umum parpol KIH itu tidak menghasilkan solusi, malah tambah kacau.

Pada tahapan ini sekali lagi, Jusuf Kalla menunjukkan sikapnya yang seolah-olah menentang Presiden Jokowi. Ketika ditanya wartawan, Kalla menjawab, seharusnya Jokowi menunggu sidang praperadilan yang sedang berlangsung. Ia juga mengkritik Syafii yang mengumumkan pernyataan Jokowi yang hendak membatalkan pencalonan Budi Gunawan itu.

"(Jokowi) harus tunggu praperadilan," kata Jusuf Kalla di kantornya, Kamis, 5 Februari 2015.

"Tidak selayaknya tentu pembicaraan pribadi itu (tersebar), juga menjadi bagian dari pada informasi.” Apakah benar Jokowi menyatakan hal itu kepada Syafii? “Yang tahu hanya mereka berdua,” jawab Kalla (Tempo.co).

Apa dasar hukumnya Kalla mengatakan, Jokowi harus menunggu hasil sidang praperadilan? Dengan hak prerogatif yang ada padanya, sebagai Presiden Jokowi berwenang untuk memutuskan kapan saja dia mau membatalkan pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri itu, tidak perlu menunggu sidang praperadilan, apalagi sidang praperadilan “aneh tapi nyata” itu (baca: Peringatan kepada Hakim Praperadilan Budi Gunawan).

Tak heranlah Kalla berkata demikian, karena kuat dugaan dia adalah salah satu “dalang” dari praperadilan tersebut (baca Ketika JK Berhadapan dengan KPK, Membela Budi Gunawan).

Presiden Jokowi juga pernah menunjukkan perlawanannya secara tak langsung, khususnya kepada Megawati, saat dia melantik Luhut Binsar Panjaitan sebagai Kepala Staf Kepresidenan.

Pada hari itu, Sabtu, 31 Desember 2014, Luhut yang baru saja pulang berlibur dari Bali bersama keluarganya, sedang berada di rumahnya, di Jakarta. Tiba-tiba dia ditelepon Menteri Sekretaris Negara Praktikno, Presiden memanggilnya segera datang ke Istana dalam tempo satu jam.

Ketika tiba di istana, Luhut baru diberitahu langsung oleh Jokowi bahwa dia akan diangkat sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Setelah mengukuhkan Laksamana Madya Ade Supandi sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL), Jokowi segera melantik Luhut Panjaitan pada hari itu juga. Di lembaga setingkat menteri itu, Luhut bertugas memberi masukan kepada Presiden dan mengkomunikasikannya dengan lembaga-lembaga negara.

Rupanya, Jokowi tidak memberitahu orang-orang dekatnya tentang rencana pelantikan Luhut tersebut. Mereka yang hadir di acara pengukuhan KSAL itu, tidak ada yang tahu pada hari itu juga, seusai pengukuhan KSAL,  Jokowi akan melantik Luhut sebagai Kepala Staf Kepresidenan.

“Saya baru tahu sejam sebelum pelantikan,” ujar Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto. Demikian juga Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku terkejut adanya pelantikan itu.

Ketika dikonfirmasi Tempo, Jokowi secara diplomatis menjawab, “Hadir semua, kok. Tidak tahu bagaimana?” Semua hadir, tapi kan semua baru tahu saat pelantikan itu, kan, Pak Jokowi?

Kenapa Jokowi tidak memberitahu sebelumnya tentang rencana dia melantik Luhut itu? Inilah cara Jokowi memberi perlawanannya kepada orang-orang dekatnya yang cenderung memaksa kehendak mereka kepadanya, khususnya kepada Megawati.

Luhut adalah sahabat lama Jokowi. Sejak 1998, saat Jokowi masih sebagai pengusaha mebel di Solo, Luhut sudah menjalin hubungan bisnis dengannya. Saat Pilpres 2014, Luhut rela melepaskan jabatannya di Golkar sebagai Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Golkar demi mendukung Jokowi. Maka, itu tak heran, mengingat juga kemampuan dan reputasinya, saat hendak menyusun kabinet, Jokowi memasukkan nama Luhut sebagai salah satu calon menterinya, yaitu calon Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan. Tetapi, karena campur tangan dan desakan Megawati, nama Luhut terpental dari daftar calon itu. Kenapa? Rupanya karena Mega masih menyimpan dendamnya kepada Luhut. Dendam itu sudah disimpan sejak 2001!

Ketika itu presidennya adalah Abdurracham Wahid (Gus Dur), Luhut menjabat sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Lewat rekayasa politik oleh Poros Tengah pimpinan Amien Rais, Gus Dur dilengserkan sebagai presiden. Sebagai gantinya, Megawati naik menjadi presiden. Presiden Megawati kemudian memanggil kembali Luhut agar bersedia bergabung bersamanya di kabinet yang baru dibentuknya, tetapi sebagai tanda kesetiaannya kepada Gus Dur, Luhut menolak ajakan Megawati itu. Sejak itu hubungan keduanya memburuk.

Rupanya Mega memang tipe pendendam tulen, tak heran dia tak pernah mau berdamai kembali dengan SBY, sejak hubungan keduanya memburuk pada 2004, dikarenakan menurut Mega, SBY  tidak jujur kepadanya ketika hendak mencalonkan diri sebagai presiden di Pilpres 2004. Dendam Mega kepada SBY terus berlanjut sampai hari ini. Ajakan damai SBY, tak pernah direspon.

Demikian pula rupanya terhadap Luhut Binsar Panjaitan. Mungkin karena merasa tak dihargai karena ajakannya kepada Luhut untuk bergabung bersamanya sebagai salah satu menterinya, ditolak, pada 2001 itu, sejak itu Mega menaruh dendamnya kepada Luhut. Dendam itu disimpan terus sampai sekarang, dilampiaskan saat Presiden Jokowi hendak menyusun kabinetnya, dan memasukkan nama Luhut sebagai salah satu calon menterinya. Meskipun itu jelas-jelas merupakan hak prerogatif Presiden, Megawati yang masih merasa Jokowi adalah petugas partainya mengintervensinya, mendesak Jokowi mengeluarkan nama Luhut dari daftar calon. Jokowi menurutinya, tetapi “melawan” di lain kesempatan.

Lain kesempatan itu adalah secara diam-diam Jokowi menyusun rencananya untuk mengangkat Luhut Panjaitan sebagai Kepala Staf Kepresidenan itu. Jokowi sengaja tidak memberitahu siapapun atas rencananya itu, termasuk dan terutama kepada Megawati. Karena kalau rencana itu sampai diketahui Megawati, pasti dia akan mendapat desakan lagi untuk membatalkan rencana tersebut. Kalau Jokowi bersikeras, pasti ia akan mengalami kesungkanan yang menyulitkannya bersikap terhadap Megawati. Jokowi masih terlalu sungkan dan hormat kepada Megawati sampai-sampai merasa sulit untuk bersikap sebagai seorang negarawan sejati.

Pemikiran Jokowi, setelah Luhut sudah dilantik, semua itu sudah terjadi, tak mungkin lagi dibatalkan. Itulah cara jitu Jokowi melawan intervensi Megawati. Megawati pun tersinggung atas tindakan Jokowi itu, hubungan dia dengan Jokowi pun menjadi renggang.

Untuk mencairkan kembali hubungan Megawati dengan Jokowi, Hasto Kristiyanto menyarankan agar Jokowi mau bertemu dengan Megawati. Pertemuan itu dilakukan di rumah Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, pada 8 Januari 2015.

Dalam pertemuan itulah nama Komisaris Jenderal Budi Gunawan, ajudan Megawati sewaktu dia menjadi Presiden (2001-2004), disebutkan untuk diajukan sebagai calon tunggal Kapolri. Kesalahan besar Jokowi dimulai di sini, dia menuruti kehendak Megawati untuk menjadikan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, padahal saat hendak menyusun kabinetnya, ia mencoret nama Budi Gunawan karena ada rekomendasi dari KPK, yang bersangkutan punya catatan merah.

(sumber data: Majalah Tempo, 9-15 Februari 2015)

*

Sadar bahwa sesungguhnya Budi Gunawan bermasalah dengan rekening gendutnya, diam-diam rencana menjadikan dia sebagai calon tunggal Kapolri pun dipercepat secepat mungkin. Mereka berpikir, proses itu harus dibikin secepat mungkin, diikuti dengan pelantikan secepat mungkin, agar bisa menghindari penolakan publik sebelum pelantikan. Maka itu, pada hari yang sama, 8 Januari 2015, nama Budi Gunawan dimasukkan sebagai salah satu dari sembilan nama calon Kapolri oleh Kompolnas untuk diajukan kepada Presiden Jokowi.

Hal yang sebelumnya tak direncanakan itulah yang rupanya ketika Tempo bertanya kepada Jokowi, pada 7 Januari 2015, apakah dia sudah menentukan pengganti Kapolri, dan apakah penggantian Kapolri akan dipercepat? Jokowi menjawab kedua pertanyaan itu dengan: “Belum, saya belum memikirkannya.” (Majalah Tempo, 12-18 Januari 2015). Rupanya hari itu, memang Jokowi belum punya rencana mempercepat pengajuan nama calon Kapolri, termasuk nama Budi Gunawan. Rencana mempersecpat proses pengajuan calon Kapolri, dan nama Budi Gunawan baru muncul setelah Jokowi bertemu dengan Megawati pada keesokan harinya, atau pada  8 Januari 2015 itu.

Pada 9 Januari 2015, Jokowi  langsung memilih Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, dan pada hari yang sama pula mengirim surat persetujuan kepada DPR. Tanggal 12 Januari, Komisi III Bidang Hukum DPR sepakat akan mengadakan uji kelayakan dan kepatutan kepada Budi Gunawan.

Semuanya tampak akan berlangsung lancar-lancar saja, sampai KPK membuat kejutan besar bagi kubu Jokowi dan Budi Gunawan: pada 13 Januari, mengumumkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka penerima gratifikasi!

Pada momen inilah sebenarnya Jokowi punya kesempatan untuk membatalkan pencalonan tersebut, dengan menarik kembali suratnya yang dikirim ke DPR itu,  tetapi rasa sungkan dan hormatnya kepada Megawati mengalahkan rasionalitasnya. Ia membiarkan proses itu terjadi di DPR. Saat itu rupanya Jokowi mengharapkan, DPR-lah yang akan menolak Budi Gunawan dengan alasan yang bersangkutan sudah berstatus tersangka. Jokowi bermaksud meminjam tangan DPR untuk membatalkan pencalonan Budi Gunawan itu.

Ketika Tempo bertanya kepadanya: “Anda mengharapkan Dewan menolaknya?” Jokowi menjawab: “Nah, … kan. Logikanya kan harus seperti itu (Majalah Tempo, 208 Februari 2015).

Jokowi salah perhitungan, DPR justru melanjutkan irasionalitas proses pencalonan Budi Gunawan itu, dengan menyetujui Budi Gunawan sebagai Kapolri baru, mengganti Sutarman. Dengan status tersangka korupsi, DPR menyetujui Budi Gunawan menjadi Kapolri!

Bola api kembali dilemparkan DPR ke Jokowi. Jokowi semakin tertekan oleh kesalahan fatal yang dibuatnya sendiri, prinsip-prinsip kenegarawaannya, program Nawa Cita-nya seolah mulai dilupakan, yang diingatkan adalah bagaimana meladeni kehendak kuat para pembeking Budi Gunawan, terutama kepada orang yang dihormatinya, dan saat ini sekaligus berpotensi justru menjadi penyebab kehancuran reputasinya, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.

Direstui Megawati

Penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK itu membuat Megawati cs murka besar kepada para pimpinan KPK itu. Mereka merasa KPK memotong kehendak mereka, dan mungkin juga skenario besar di balik itu. Mereka mendesak Jokowi akan terus mempertahankan Budi Gunawan, sementara mereka mulai menyusun serangan balasan sekaligus mematikan kepada semua pimpinan KPK, terutama sekali kepada Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.

Maka, terjadilah seperti yang kita saksikan sedang terjadi sekarang ini: Jokowi terus mengulur-ulur waktu untuk menuntaskan permasalahan yang semakin ruwet ini, sampai hari ini, sementara itu serangan demi serangan balik kepada KPK pun dilakukan, terutama oleh Polri dan PDI-P.

PDI-P tidak tanggung-tanggung dalam melakukan serangan itu, pelaksana tugas Sekretaris Jenderal-nya Hasto Kristiyanto langsung yang turun tangan dengan menebarkan informasi adanya pertemuan-pertemuan politik rahasia antara Abraham Samad dengan beberapa petinggi PDI-P, termasuk dia, dan A.M Hendropriyono, yang bukan orang PDI-P, tetapi sangat dekat dekat Megawati.

Menurut laporan Tempo, yang dbantah Hasto, saat Jokowi mengumumkan penundaan pelantikan Budi Gunawan pada 16 Januari, Hasto berada dari pagi sampai sore hari di kantor Budi Gunawan, bersama dengan beberapa penyidik Polri. Diduga mereka sedang membahas langkah-langkah yang perlu dilakukan setelah itu.

Seolah merupakan sekuel yang telah disiapkan sebelumnya, pada 22 Januari Bambang Widjojanto ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi, dan pada hari yang sama,  Hasto Kristiyanto mengadakan jumpa pers khsusus untuk membongkar aib Abraham Samad sesuai dengan versinya itu.  "Sekali tepuk dua nyawa melayang!"

Seperti yang saya sudah katakan sebelumnya, sulit sekali untuk percaya bahwa tindakan Hasto yang adalah orang ketiga setelah Ketua Umum dan Wakil Ketua Umum di PDI-P itu bertindak atas nama sendiri (pribadi), dan PDI-P sama sekali tidak ikut-ikut. Lebih masuk akal justru tindakannya tersebut sudah direstui sebelumnya oleh Megawati. Kalau tidak demikian tentu tindakannya yang  menyulitkan PDI-P itu karena publik kini memandang PDI-P ikut memusuhi dan ingin menghancurkan KPK itu, pasti sudah mendapat teguran keras dari Megawati. Kenyataannya itu tak terjadi, bahkan Hasto seolah-olah memang dibiarkan terus untuk melanjutkan serangan tersebut kepada KPK, sampai menjadi saksi di sidang praperadilan kemarin (Selasa, 10/02).

Hasto mengaku sebelum jumpa persnya itu, dia tak memberitahu Megawati karena pasti Mega tidak setuju. Setelah jumpa pers itu pun dia tak melaporkan kepada Megawati, tetapi hanya meminta maaf karena sudah melakukan jumpa pers itu, tanpa sepengetahuan Mega. Tapi, kata Hasto, Mega tidak marah, hanya bilang kepadanya, yang penting segala sesuatu sesuai dengan mata hati atau keyakinan. Jadi, dengan kata lain serangan Hasto kepada Abraham Samad itu memang direstui Megawati.

Kelihatannya, kali ini serangan-serangan terhadap KPK itu tidak akan dihentikan sebelum KPK benar-benar lumpuh sesuai dengan maksud dan tujuan mereka. Apa itu maksud dan tujuan mereka? Itulah yang akan menjawab juga pertanyaan: Jika Budi Gunawan tidak tersangka, apakah KPK Juga tidak dihabisi?

Bersambung pada bagian ketiga (terakhir).

Artikel terkait:

Baca Bagian Pertama artikel ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline