[caption id="attachment_397242" align="aligncenter" width="558" caption="Diplomasi Soto Gading ala Jokowi untuk para elite KIH, Solo, 14 Februari 2015, akankah dapat menaklukkan kekerasan hati KIH pendukung Budi Gunawan, terutama Megawati? (Tempo.co.id)"][/caption]
Setelah memperingatkan Hakim Sarpin Rizaldi yang menyidangkan sidang praperadilan Budi Gunawan, di artikel saya di Kompasiana, yang berjudul Peringatan kepada Hakim Praperadilan Budi Gunawan, sekarang saya perlu mengingatkan Presiden Jokowi yang sedang menunggu putusan sidang tersebut, yang rencananya Senin ini, 16 Februari 2015, akan dibacakan oleh Hakim Sarpin Rizaldi.
Seperti yang sudah disebut-sebut pada artikel-artikel sebelumnya, sangat kelihatan Presiden Jokowi terus menunda-nunda putusannya tentang masalah calon kapolri, khususnya kepastian mengenai jadi-tidaknya Komisaris Jenderal Budi Gunawan itu dilantik sebagai Kapolri, karena dia ditekan atau bahkan dikendalikan para elite politik pembeking Budi Gunawan, yang diduga dipimpin oleh Ketua PDI-P Megawati Soekarnoputri itu.
Alasan yang digunakan Jokowi untuk terus mengulur-ulur waktu keputusannya tentang nasib Budi Gunawan itu adalah menunggu hasil putusan sidang praperadilan Budi Gunawan tersebut. Kenapa dia harus menunggu putusan praperadilan itu, apakah jika gugatan Budi Gunawan itu dikabulkan, maka Jokowi akan melantiknya sebagai kapolri, dan sebaliknya, kalau tidak? Dua-duanya akan membuat Jokowi harus menanggung akibatnya yang sangat besar. Tinggal dia memilih saja, melawan kehendak rakyat banyak, ataukah melawan kehendak para elite politik pendukungnya, termasuk DPR.
Dua minggu lalu, dia mengira, putusan itu sudah dibacakan oleh hakim dalam minggu lalu (antara tanggal 9-15 Februari 2015), oleh karena itu saat itu, dia memastikan akan mengumumkan putusannya tentang masalah Budi Gunawan itu dalam minggu lalu, ternyata putusan itu mundur lagi, sampai pada Senin ini. Maka, Jokowi pun ikut mundur putusannya mengikuti jadwal putusan hakim, dengan alasan taat hukum. Padahal tiada kewajiban hukum apa pun bagi Presiden Jokowi untuk terikat pada putusan sidang praperadilan itu, apalagi proses persidangan praperadilan itu pun sarat dengan keganjilan (baca artikel Peringatan kepada Hakim Praperadilan Budi Gunawan dan Inilah Kelebihan Jokowi daripada SBY).
Atas nama moral politik dan kehendak rakyat banyak, sejatinya dengan hak prerogatifnya Presiden Jokowi dapat membuat keputusannya untuk membatalkan pencalonan/pelantikan Budi Gunawan sebagai kapolri. Karena sudah terlalu telat, Jokowi pun harus menanggung akibat politik dan hukumnya, tetapi mau tak mau memang itu harus dia tempuh.
Atas dasar pertimbangan apa, Presiden Jokowi – yang diduga kuat atas arahan para elite partai politik yang bergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) – menunggu putusan hakim praperadilan itu?
Tentu mereka mengharapkan bahwa putusan hakim adalah mengabulkan gugatan kubu Budi Gunawan, dengan memutuskan penetapan tersangka terhadap Budi Gunawan oleh KPK adalah tidak sah, dengan demikian proses hukum terhadapnya tidak dapat dilanjutkan.
Maka atas nama hukum Presiden Jokowi akan melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. Maka, masalah Budi Gunawan sudah dapat diatasi dan diselesaikan. Mengingat juga putusan praperadilan tidak bisa banding atau kasasi. Benarkah demikian? Jawabnya, tidak! Jokowi akan sia-sia jika menggantungkan putusannya nanti itu tergantung pada apa hasil sidang praperadilan itu.
Selain Jokowi akan langsung berhadapan dengan kekuatan rakyat yang pasti akan berbalik melawannya, secara hukum kasus itu masih jauh dari selesai. Hukum tidak hanya sebatas peraturan-peraturan tertulis, dan hanya bisa ditafsirkan secara formalistis, atau sebatas teks tertulisnya yang tercantum di undang-undang. Karena di atas hukum tertulis sejatinya masih ada hukum moral, dan etika, yang dalam menghadapi persoalan hukum yang tak ada ketentuan tertulisnya maka pengadilan, dan Mahkamah Agung bisa menetapkan suatu putusan demi kepentingan rakyat banyak (publik).
Presiden Jokowi memang akan mendapat dukungan DPR baik dari KIH, dan para elite politik yang mengendalikannya, tetapi bersamaan dengan itu pula, ia akan mendapat stempel besar yang tak hengkang ditelan zaman, tercatat dalam sejarah sebagai presiden yang sangat tidak pro kepada pemberantasan korupsi, pembohong besar dengan Nawa Citanya, dan bertanggung jawab penuh atas semakin lemahnya atau mandulnya KPK.
Bukan tak mungkin akibat dari putusannya itu akan muncul people power! People power yang sebelumnya adalah para pendukung setianya, termasuk mereka yang dulu mengarak-araknya di saat pelantikannya sebagai presiden bersama dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dari Gedung DPR/MPR ke Istana Negara, akan berbalik melawannya dengan kekuatan yang lebih besar.
Jokowi juga akan dicatat salam sejarah sebagai presiden perusak tata hukum (negara), perusak moral politik dan etika hukum.
Ketika permohonan untuk menggelar sidang praperadilan itu dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dan dimulai sejak Senin, 2 Februari 2015, saat itu juga sebetulnya sudah menjadi suatu persoalan hukum, suatu penyimpangan hukum yang dilegalkan.
Seperti yang sudah diingatkan berkali-kali oleh banyak pakar hukum acara pidana, termasuk oleh dua mantan hakim agung, bahwa dalam ketentuan KUHAP tak ada pasal maupun ayat yang menentukan sidang praperadilan dapat digunakan untuk membatalkan status tersangka oleh penyidik. Oleh karena itu seharusnya Pengadilan Negeri Jakarta menolak untuk menyidangkan gugatan tersebut.
Pasal 77 KUHAP sudah secara definitif sehingga tak boleh ditafsirkan lagi mengenai apa saja yang boleh digugat di praperadilan. Secara ringkas definitif dapat disebut ada lima obyek sekaligus wewenang sidang praperadilan menurut KUHAP itu, yakni kewenangan menyidangkan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan tuntutan mengenai ganti rugi atau rehabilitasi akibat penahanan tersangka.Di luar dari itu tidak ada kewenangan hakim mana pun, dengan alasan apa pun untuk menyidangkan suatu gugatan praperadilan. Jika hendak mempersoalkan penetapan status tersangka, maka yang bersangkutan bisa mengajukan saat sidang peradilan biasa terhadapnya dimulai.
Tetapi janggalnya sidang praperadilan tersebut tetap bergulir sejak 2 Februari sampai nanti 16 Februari 2015 ini, tambah aneh lagi, Sarpin Rizaldi, hakim tunggal yang menyidangkan praperadilan tersebut adalah hakim yang punya rekam jejang tidak bagus. Apakah ada rekayasa hukum di balik sidang praperadilan ini? Kita lihat saja apa putusan hakim itu, dan bagaimana perkembangan selanjutnya, terutama apa yang akan diputuskan Jokowi tentang nasib Budi Gunawan.
Jika Jokowi dan para elite politik pendukungnya sekaligus pembeking Budi Gunawan itu berpikir bahwa jika hakim praperadilan mengabulkan gugatan Budi Gunawan, maka dengan tanpa beban, Jokowi dapat melantik Budi Gunawan sebagai kapolri, karena Budi Gunawan sudah bersih dari dugaan melakukan tindak pidana korupsi (penerimaan gratifikasi), maka saat ini juga dapat dipastikan bahwa pemikiran mereka itu sangat keliru.
Penantian Jokowi terhadap putusan hakim praperadilan itu hampir pasti akan sia-sia. Karena putusan hakim yang mengabulkan gugatan praperadilan tersebut besar kemungkinan akan dianulir oleh Mahkamah Agung.
Sudah ada beberapa yurisprudensi yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung akan membatalkan setiap putusan praperadilan yang obyek gugatannya di luar wewenang hakim praperadilan tersebut. Memang, di dalam KUHAP menyebutkan putusan hakim praperadilan tidak bisa banding atau kasasi, tetapi yurispridensi menyatakan putusan hakim praperadilan terhadap obyek gugatan yang berada di luar wewenangnya itu akan merusak tata hukum dalam negara, dan oleh karena itu Mahkamah Agung berwenang untuk membatalkannya, sehingga proses hukum terhadap tersangka wajib diteruskan di peradilan biasa. Sedangkan hakimnya sendiri berpotensi mendapat sanksi administrasi dari Mahkamah Agung.
Yurisprudensi yang paling baru adalah pada gugatan praperadilan Bachtiar Abdul Fatah, General Manager Sumatera Light South (SLS) Minas PT Chevron Pasific Indonesia (CPI) terhadap Kejaksaan Agung yang menetapkannya sebagai tersangka dan menahannya pada September 2012, karena terlibat korupsi proyek normalisasi lahan tercemar minyak (bioremediasi) di Riau tahun 2006-2011.
Bachtiar dengan kuasa hukumnya mengajukan gugatan praperadilan terhadap Kejaksaan Agung, bukan hanya karena penahanannya saja, tetapi juga karena penetapan statusnya sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. Hakim praperadilan mengabulkan gugatan praperadilan tersebut, termasuk menyatakan penetapan tersangkanya oleh Kejaksaan Agung itu tak sah.
Mahkamah Agung kemudian bertindak cepat, hakim praperadilan tersebut dikenai sanksi administrasi, dan putusan praperadilan itu dibatalkan.
Proses peradilan umum terhadap Bachtiar tetap dilanjutkan. Pada 17 Oktober 2013, Pengadilan Tipikor, Jakarta, memvonis Bachtiar terbukti secara sah dan meyakinkan telah menyalahgunakan wewenangnya dengan melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek normalisasi lahan tercemar minyak (bioremediasi) di Riau tahun 2006-2011, dengan dijatuhi pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan.
*
Mantan Ketua Mahkamah Agung Harifin Tumpa juga menegaskan hal yang sama, bahwa karena penetapan status tersangka Budi Gunawan oleh KPK itu seharusnya tidak bisa digugat praperadilan, jika hakim mengabulkan gugatan tersebut, maka Mahkamah Agung dapat dipastikan akan membatalkannya. Alasannya, karena putusan itu bukan wewenang hakim praperadilan, dan putuisan seperti itu jika dibiarkan terus ada akan merusak sistem dan tata hukum Indonesia.
"Dalam praktiknya, kalau MA menganggap putusan itu menyalahi, bisa dibatalkan," kata Harifin Tumpa, di Jakarta, Minggu (15/2/2015) (Kompas.com).
Harifin mengacu kepada praperadilan pada tahun 1998. Saat itu, ada seorang bankir yang kabur ke Australia, tetapi dia ditangkap oleh polisi di sana. Pengacaranya pun mengajukan praperadilan di Indonesia. Praperadilan itu dikabulkan karena hakim menilai penangkapan yang dilakukan polisi Australia melanggar ketentuan dalam KUHAP.
"Tapi, menurut MA, hakim (praperadilan) ini sudah keluar dari kewenangan yang diberikan undang-undang. Praperadilan tidak menjangkau penegak hukum yang ada di luar negeri. Jadi, oleh MA dinyatakan keliru, tidak sah," ujarnya.
Jadi, untuk apa Presiden Jokowi menunggu hasil putusan hakim praperadilan dalam perkara Budi Gunawan itu? Jika, Jokowi sengaja menunggu suatu “skenario” di persidangan praperadilan Budi Gunawan itu dengan hasil permohonan gugatan itu diterima – sesuai dengan keinginan para elite politik pembeking Budi Gunawan (menyatakan tidak sah penetapan tersangka oleh KPK), maka dapat dipastikan Mahkamah Agung pun – seperti kasus-kasus serupa sebelumnya – tak bakal tinggal diam.
Kalau dalam kasus-kasus biasa saja Mahkamah Agung bertindak sedemikian tegas terhadap penetapan praperadilan yang menyalahi hukum itu, maka apalagi dalam kasus praperadilan Budi Gunawan, yang begitu besarnya menarik perhatian secara nasional dengan dampaknya yang sangat serius begini.
Cepat atau lambat Mahkamah Agung pasti juga akan membatalkan putusan hakim praperadilan yang sekarang, dan sangat mungkin Hakim Sarpin Zaini juga akan dikenakan sanksi.
Jika sudah dibatalkan Mahkamah Agung, berarti proses hukum terhadap Budi Gunawan harus dilanjutkan di Pengadilan Tipikor di Jakarta. Ia pasti juga akan ditahan KPK. Kalau ini yang terjadi, sedangkan Jokowi sudah melantik Budi Gunawan sebagai kapolri, maka sulit dibayangkan kekisruhan sebesar dan sedestruktif apakah yang bakal terjadi kelak. Bayangkan saja, seorang Kapolri ditangkap dan ditahan KPK!
Budi Gunawan, masih sebagai calon kapolri saja perseteruan Polri dengan KPK sudah separah sekarang, apalagi jika ia sudah resmi sebagai kapolri, lalu KPK mau menahan atau menangkapnya! Bayangkan kapolri ditangkap KPK! Apakah tidak terjadi perlawanan dari polisi secara besar-besaran, sehingga bisa menimbulkan kondisi yang jauh lebih parah daripada sekarang.
Tanpa proses hukum terhadap Budi Gunawan saja, seandainya dia dilantik menjadi kapolri, maka pasti hubungan kelembagaan antara Polri dengan KPK yang selama ini relatif berlangsung baik akan terganggu. Bagaimana bisa akan ada sinerji yang baik jika kapolri-nya seorang yang pernah dijadikan tersangka oleh KPK, yang berdampak pada perseteruan hebat antara Polri dengan KPK itu?
Presiden Jokowi harus diperingatkan mengenai hal yang sangat krusial bagi bangsa dan negara ini!
Sebaliknya, jika Jokowi memutuskan membatalkan pencalonan/pelantikan Budi Gunawan sebagai kapolri, ia pasti akan mendapat serangan politik yang hebat juga dari para elite politik pembeking Budi Gunawan, plus dari DPR, baik dari KIH, maupun KMP. Ia juga berpotensi akan digugat oleh DPR yang merasa dilecehkan, selanjutnya ia juga akan diinterpelasikan oleh DPR.
Tetapi, sebaliknya, Jokowi akan mendapat dukungan dari sebagian besar rakyat, rakyat pendukungnya akan semakin solid dalam mendukungnya, kedudukan KPK pun akan semakin kuat, serta yang tak kalah sangat pentingnya, dengan mengangkat kapolri baru dari sosok yang punya integritas tinggi sebagai kapolri, maka kedudukan Polri sebagai lembaga penegak hukum pun akan berpotensi menjadi lebih kuat daripada sekarang, karena sudah dibersihkan dari oknum-oknumnya yang koruptor.
Presiden Jokowi, pilihan ada di tangan Anda!
Semoga dengan diplomasi makan Soto Gading bersama di Solo dengan para elite Koalisi Indonesia Hebat, termasuk dan terutama Megawati, Sabtu, 14 Februari lalu, Jokowi berhasil menaklukkan kekerasan hati mereka yang masih ngotot mempertahankan Budi Gunawan. Semoga, raut wajah Megawati yang tampak terus tanpa senyum, -- sebaliknya dengan Jokowi, -- bukan suatu pertanda tak baik dalam Jokowi mengambil keputusan pentingnya tentang masalah calon kapolri ini.
Hari ini adalah hari penentuannya! ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H