Lihat ke Halaman Asli

Silih Asih, Asah, dan Asuh dalam Membina Kerukunan, Membinasakan Perpecahan

Diperbarui: 16 Oktober 2018   17:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terorisme (Sumber: geotimes.co.id)

Masih segar di ingatan kita kasus teror bom Surabaya yang terjadi pada hari Minggu, 13 Mei 2018 di tiga rumah ibadah, yakni Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela (STMB), Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro Surabaya, dan Gereja Pentakosta di Jalan Arjuno Surabaya. Teror bom yang menewaskan 11 orang ini menimbulkan ketakutan, keresahan, serta kekhawatiran bagi masyarakat Surabaya lewat aksi terorisme yang dilakukan oleh kelompok radikal tertentu.

Belum lagi bom bunuh diri di Polrestabes Surabaya pada 13 -- 14 Mei 2018 yang seolah melengkapi rangkaian aksi teror yang dilakukan oleh kelompok separatis berbasis agama tertentu. Maraknya kasus teror bom ini menjadi alarm tersendiri bagi kita selaku masyarakat Indonesia dalam mempertanyakan fenomena yang ada. Apakah radikalisme dan terorisme ini terjadi secara spontan ataukah teror bom yang terjadi merupakan puncak dari gunung es yang belum kita ketahui dasarnya? Semua menjadi sebuah tanda tanya besar dalam kehidupan sosial masyarakat di Indonesia.

Menurut Elina Vuola, Profesor Fakultas Teologi di University of Helsinki mengatakan ada dua faktor besar yang mempengaruhi terorisme, yakni radikalisme agama dan kesejahteraan masyarakat. Kurangnya pemahaman terhadap dasar agama mendorong rentannya propaganda dan radikalisasi. Kemiskinan dan pendidikan menjadi faktor pendorong yang melatarbelakangi terjadinya aksi teror yang ada.

Mengingat bangsa Indonesia mempunyai kekayaan kearifan lokal yang beragam, maka radikalisme dan terorisme menjadi persoalan masyarakat yang harus disikapi dengan cara dan pendekatan yang berbeda berdasarkan kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Diharapkan melalui penerapan kearifan lokal mampu meredupkan api radikalisme dan terorisme secara aktif dan berkesinambungan.

Kearifan Lokal Sunda: Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh

Kearifan Lokal Sunda (Sumber: KajianPustaka.com)

Mengingat penulis lahir dan dibesarkan di tataran Sunda, maka falsafah Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh menjadi sebuah pedoman hidup yang diterapkan oleh masyarakat sehari-hari. Kearifan lokal atau local wisdom merupakan gagasan, nilai, dan pandangan yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diimplementasikan oleh anggota masyarakat yang ada didalamnya.

Kearifan lokal Sunda sendiri terdiri dari 3 prinsip utama, yakni terdapat dalam penggalan kata Sunda yang berasal dari kata Sun Da Ha. Sun bermakna diri, Da bermakna alam, serta Ha bermakna Tuhan. Sehingga dalam prinsipnya kearifan lokal mencoba membangun hubungan yang berkesinambungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, serta manusia dengan Tuhan.

Dalam kaitan dengan radikalisme dan terorisme, terdapat beberapa prinsip kearifan lokal Sunda yang dapat diterapkan. Hade ku omong, goreng ku omong (segala hal sebaiknya dibicarakan). Terkadang banyak sekali masalah sosial yang terjadi karena kurangnya komunikasi yang terjalin antarmasyarakat. Konflik yang terjadi antara kelompok A dengan kelompok B terjadi karena mereka lebih mempercayai hoax dibandingkan apa yang sebenarnya terjadi. Dengan kejujuran, empati, serta komunikasi yang baik, maka radikalisme dan terorisme dapat dibendung karena adanya rasa percaya dari anggota masyarakat untuk saling melindungi satu dengan yang lainnya.

Tentu hal tersebut tidaklah mudah ketika jemari lebih mudah menekan tombol Forward atau Send mengenai sebuah berita yang bombastis dibandingkan melakukan rembug terlebih dahulu mengenai apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat. Sebagai pribadi, jemari kita harus melakukan filter terhadap apa berita yang harus disebarluaskan dan berita yang sebaiknya tidak disebarluaskan guna meredam dampak radikalisme dan terorisme yang ada untuk menciptakan ketakutan dalam masyarakat, seperti foto korban, kondisi bangunan yang rusak parah, dan lain sebagainya.

Kearifan lokal lainnya yang dapat diterapkan adalah undur katingali punduk datang katingali tarang (pergi tampak tengkuk datang tampak pelipis). Dengan kata lain, setiap orang hendaknya mengenal satu dengan yang lain layaknya keluarga sendiri. Jangan sampai ketika kita hidup bermasyarakat, justru kita tidak mengenal siapa yang menjadi tetangga, ketua RT, ketua RW, dan tokoh masyarakat setempat. Melalui pengenalan yang baik antar anggota masyarakat, maka paham radikalisme dan terorisme dapat diredam dengan cepat oleh masyarakat.

Selain itu, prinsip Mun aya angin bula bali ulah muntang kana kiara, muntang mah ka sadagori (kalau ada angin puting beliung, jangan berpegang kepada pohon beringin tetapi pada rumput sadagori). Rumput sadagori adalah gambaran dari rakyat kecil yang mempunyai akar yang sangat kuat. Adanya kasus radikalisme dan terorisme menegaskan bahwa peran masyarakat menjadi sangat krusial dalam menjaga keamanan dan ketertiban yang ada di wilayah masing-masing.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline