Lihat ke Halaman Asli

Daniel EkaSaputra

SMA di Magelang

Parpol Bercorak Agama di Pemilu 2024, Politik Identitas, dan Intoleransi

Diperbarui: 24 Februari 2023   09:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam hitungan bulan, kita akan melaksanakan pemilihan umum 2024. Di Kompas, 15 Desember 2022 KPU sudah menetapkan 17 partai politik nasional dan 6 parpol lokal Aceh yang akan ikut serta dalam kontes pemilihan. Kontestasi pemilu 2024 diperkirakan akan semakin ketat karena jumlah partai yang lolos sebagai peserta pemilu bertambah. Dari yang semula di tahun 2019, ada 16 parpol nasional dan 4 parpol lokal Aceh.

Beberapa di antaranya adalah partai bercorak agama. Dari 23 parpol peserta pemilu 2024 ada 11 partai politik yang bercorak agama, 5 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal Aceh. Lima parpol nasional tersebut meliputi: empat partai politik lama (PKB, PKS, PBB, PPP) dan tambahan satu partai politik baru (Partai Gelora).

Yang paling senior ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai ini adalah gabungan dari Partai Islam Persatuan Tabiyah Islamiyah (PERTI), Partai Muslim Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSSI), dan Partai Nahdlatul Ulama (NU) yang dibentuk pada masa orde baru. Di mana kala itu Presiden Soeharto melalui Sidang Umum MPR tahun 1973 menetapkan 3 partai resmi dalam pemilihan umum tahun 1977 (PPP, Golkar, PDI).

Setelah masa orde baru selesai muncullah beberapa partai politik baru. Pada tahun 1998 lahir tiga partai bercorak Islam yang nanti akan ikut serta dalam pemilu 2024. Ada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan oleh Gus Dur, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang (PBB).

Partai bercorak agama yang terbaru yang muncul dalam daftar peserta pemilu 2024 adalah Partai Gelora. Partai ini baru didirikan pada tahun 2019 oleh Fahri Hamzah dan Anis Matta. Partai ini bercorakkan Islam sekaligus nasionalis.

Di masa orde baru memang ada sedikit pengekangan partai politik yang dibatasi hanya tiga. Padahal bangsa ini berjalan dalam pluralitasnya. Terbukti ketika masa reformasi dimulai muncul banyak partai politik baru. Menjelang pemilihan umum 1999, ada 141 partai politik yang mendaftar. Setelah diverifikasi KPU ada 95 partai dan yang berhak ikut pemilihan umum hanya 48 partai saja (Susanto Zuhadi, 2014).

Kenyataan bahwa di dalam pemilu terdapat partai-partai politik bercorak agama bukanlah suatu dosa dalam sistem demokrasi kita, sebab sejak zaman Presiden Soekarno bangsa ini sudah menetapkan sistem partai politik yang terbuka terhadap berbagai corak pandangan. Asalkan setiap partai dapat bersama-sama membangun bangsa dan tidak menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 sebagai arah dasar dan pedoman.

Malahan bila kita melihat pada pemilu-pemilu sebelum partai politik disederhanakan menjadi tiga, ada banyak partai politik dengan berbagai corak dan pandangan yang mereka bawa. Pada pemilu 1955 ada lebih dari 30-an partai politik yang ikut serta. Banyak di antaranya adalah partai bercorak agama. Ada Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSSI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Pergerakan Tabiyah Islamiyah (PERTI), Partai Politik Tarikat Islam (PPTI), dan Angkatan Kemenangan Umat Islam (AKUI).

Adanya partai politik bercorak agama memang sudah ada sejak zaman Indonesia lama. Ini membuat corak tersendiri yang khas dalam sistem demokrasi kita. Ini menunjukan bahwa sistem demokrasi kita tidak memisahkan secara keras antara kehidupan agama dengan kehidupan berbangsa, seperti di negara-negara barat-liberal. Kita juga tidak menjadikan suatu agama sebagai dasar utama dalam hidup berbangsa, seperti negara-negara di timur tengah. Kesadaran bahwa bangsa ini hidup dalam kebhinekaan membuat kita berada di jalan kita sendiri di mana kita mampu menciptakan bagaimana hidup berbangsa dan hidup nasionalis berjalan bersama dengan hidup beragama. Kita menempuh jalan in medio.

Namun yang cukup menjadi perhatian adalah kenyataan bahwa dengan adanya partai-partai bercorak agama ini malah sering dimanfaatkan menjadi kesalahpahaman. Kampanye-kampanye politik dari mulut ke mulut yang tidak sesuai/ sembarangan dapat menguatkan masalah tentang budaya politik identitas. Mereka memilih tidak lagi dengan melihat integritas calon pemimpin dan program-programnya, tetapi memilih dengan melihat latar belakang dan data diri pribadinya.

Ini bukan secara langsung salah dari partai-partai politik tersebut, tetapi lebih kepada budaya buruk yang berkembang di masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline