Lihat ke Halaman Asli

Dania Sabrina Ziliwu

Mahasiswa Hukum President University

Persamaan Hak Perempuan dalam Hukum Waris Masyarakat Patrilineal

Diperbarui: 16 Maret 2021   12:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Anotasi ini ditulis berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2826 K/Pdt/2017 yang didaftarkan oleh Prof. Dr. Hj. Made Sadhi Astuti alias Ni Made Astuti, Ni Nyoman Sarini, Ni Luh Gede Sawitri, Ni Ketut Sukarini, dan Ni Made Suyatni untuk melawan I Gede Sadha. Sebelumnya, para pemohon dan termohon sudah terlebih dahulu berperkara di Pengadilan Negeri Banyuwangi yang tercatat dalam Putusan Nomor 55/Pdt.G/2015/PN.Bwi, serta di Pengadilan Tinggi Surabaya yang tercatat dengan Putusan Nomor 620/PDT/2016/ PT.SBY. Ketiga putusan tersebut memutus perkara mengenai sengketa hak waris.

Majelis hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi dalam putusannya menyatakan bahwa I Gede Sadha merupakan ahli waris satu-satunya dalam sengketa hak waris ini. Putusan di Pengadilan Negeri Banyuwangi ini pun semakin dikuatkan dengan putusan di Pengadilan Tinggi Surabaya, dengan 'memenangkan' I Gede Sadha sebagai satu-satunya ahli waris dati alm. I Wayan Nardo. Para tergugat hanya diakui haknya sebagai anak-anak kandung dari alm. I Wayan Nardo atau Wajan Nardo Pak Gede Ardo. Lantaran anak-anak perempuan dari alm. I Wayan Nardo tidak mendapatkan status sebagai ahli waris, maka permohonan atas pembatalan terhadap Putusan Nomor 55/Pdt.G/2015/PN.Bwi didaftarkan ke Mahkamah Agung.

 Melalui tulisan ini, penulis akan membahas setidaknya 3 (tiga) permasalahan mengenai sengketa waris diatas. Pertama, penulis akan memaparkan perkembangan hak waris perempuan dalam adat Bali. Kedua, jurnal ini akan membahas mengenai penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang berperkara jika suatu saat terjadi sengketa hak waris. Ketiga, tulisan ini juga memuat penjelasan mengenai implikasi putusan Mahkamah Agung ini terhadap pemohon, termohon, dan juga masyarakat.

 Tulisan ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan menjadikan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2826 K/Pdt/2017 sebagai objek kajian. Penulis juga menggunakan data hukum primer berupa peraturan perundang-undangan seperti UU Nomor Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga Yurisprudensi dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 179 K/SIP/1961. Data hukum sekunder juga digunakan dalam tulisan ini untuk mendukung argument penulis dalam membangun tulisan ini. Data hukum sekunder yang digunakan berupa jurnal-jurnal nasional dan juga artikel online.

Posisi Kasus

Melalui musyawarah majelis hakim Mahkamah Agung tanggal 11 Desember 2017, diputuskan bahwa majelis hakim Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang dilayangkan oleh Prof. Dr. Hj. Made Sadhi Astuti alias Ni Made Astuti, Ni Nyoman Sarini, Ni Luh Gede Sawitri, Ni Ketut Sukarini, dan Ni Made Suyatni untuk melawan I Gede Sadha dalam perkara sengketa hak waris.

Permohonan dan Pokok Permohonan

Pemohon kasasi dalam perkara sengketa hak waris ini terdiri dari 5 (lima) orang, yaitu Prof. Dr. Hj. Made Sadhi Astuti alias Ni Made Astuti (beragama Islam), Ni Nyoman Sarini (beragama Hindu), Ni Luh Gede Sawitri (beragama Hindu), Ni Ketut Sukarini (beragama Islam), dan Ni Made Suyatni (beragama Hindu) yang merupakan anak-anak kandung dari alm. I Wayan Nardo untuk melawan I Gede Sadha (beragama Hindu) yang juga merupakan anak kandung dari alm. I Wayan Nardo.

Para pemohon mengajukan kasasi sebab merasa dirugikan dengan adanya putusan sebelumnya, baik di Pengadilan Negeri maupun di Pengadilan Tinggi. Dalam memori kasasinya, pemohon menuliskan bahwa para pemohon juga termasuk ahli waris dari alm. I Wayan Nardo, bahwa objek yang disengketakan merupakan sebuah tanah dengan SHM No. 941 di Desa Watukebo, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi seluas 21.910 meter persergi atas nama Pak Gede Ardo serta tanah dengan SHM No. 942 di Desa Watukebo, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi seluas 21.950 meter persergi atas nama Pak Gede Ardo, dan bahwa sudah ada pengaturan terbaru tentang pembagian hak waris yang diatur dalam Keputusan MUDP Bali Nomor 01/KEP/PSM-3/MDP/ MDP Bali/X/2010 dan baik Pengadilan Negeri Banyuwangi maupun Pengadilan Tinggi Surabaya telah lalai dalam memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam keputusan tersebut.

Atas dasar alasan-alasan diatas, maka para pemohon meminta Mahkamah Agung untuk membatalkan putusan-putusan yang telah ada sebelumnya.

Amar Putusan Mahkamah Agung

Kewenangan Mahkamah Agung dalam membatalkan suatu putusan atau penetapan dari pengadilan, diatur dalam Pasal 30 ayat (1) tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yaitu: "Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena: tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku, lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan."[1] 

Pertimbangan hakim dalam mengadili perkara ini adalah alasan-alasan yang diberikan oleh para termohon tidak dapat dibenarkan sebab Pengadilan Negeri Banyuwangi dan dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tidak salah menerapkan hukum. Yang mana kedua pengadilan tersebut sama-sama menggunakan pertimbangan berdasarkan hukum adat Bali, hanya anak laki-laki lah yang bisa memperoleh status sebagai pewaris dan mendapatkan objek waris, semua anak perempuan alm. I Wayan Nardo telah melakukan kawin keluar[2] bahkan tergugat I dan IV telah berpindah agama, dan pertimbangan terakhir adalah hukum waris Bali juga mengatur tentang hal-hal yang menghalangi anak laki-laki untuk menjadi ahli waris, diantaranya durhaka terhadap orang tua, kawin nyentana[3], memiliki penyakit kejiwaan, dan tidak beragama Hindu. Sedangkan I Gede Sadha tidak satupun melanggar ketentuan tersebut, sehingga hal ini menjadikannya satu-satunya pewaris atas harta peninggalan orang tuanya. 

Mengacu pada pemaparan diatas, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan untuk melakukan pembatalan ataupun menolak melakukan pembatalan atas putusan pengadilan sebelumnya. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Prof. Dr. Hj. Made Sadhi Astuti, dkk. Selain itu, Mahkamah Agung juga menghukum para pemohon kasasi untuk membayar perkara di tingkat kasasi ini sebesar Rp 500.000.

Kedudukan Perempuan dalam Hukum Waris Masyarakat Adat Patrilineal

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline