Saat itu tahun 726 Masehi, Leo Isaurus telah genap 9 tahun duduk di atas tahta Kekaisaran Romawi Timur atau Kekaisaran Bizantium sebagai Kaisar Leo III.
Situasi politik kekaisaran berhasil ia pulihkan dari ketidakstabilan selama 20 tahun sejak penggulingan Kaisar Justinianus II dan diikuti periode kekuasaan para kaisar yang bergantian memerintah dalam waktu yang amat singkat. Masa ketidakstabilan itu kemudian disebut oleh sejarawan sebagai "Anarki Dua Puluh Tahun" yang menandakan kacaunya situasi yang dihadapi rakyat Bizantium kala itu.
Asal mula ikonoklasme
Masih dalam waktu yang sama, jauh di barat daya ibu kota Konstantinopel tepatnya di laut Aegea, pulau Thera dan Therasia yang kini berada di kawasan bernama Santorini dilanda letusan hebat gunung berapi. Sang kaisar saat itu merasa ada sesuatu yang tidak beres, barangkali pertanda dari sang Khalik.
Ia pun bolak-balik berdoa, kemudian membuka dan membaca kitab suci untuk menenangkan kegelisahan hatinya hingga ia menemukan sebuah ayat yang dianggapnya merupakan bagian dari Dasa Titah, kurang lebih berbunyi:
"Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apa pun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya....." dan ia menganggapnya sebagai sebuah bentuk pelarangan.
Kekaisaran Romawi Timur yang merupakan pecahan Romawi Barat saat itu memang tak lepas dari kebudayaan dan karya seni peninggalan ribuan tahun pendahulunya itu termasuk ikonografi, sebuah seni yang menjadikan figur atau orang sebagai objek ke dalam ikon berupa lukisan atau patung. Maklum saja bila kebudayaan ini turut berlanjut namun objek karya seni berubah menjadi figur-figur keagamaan.
Konstantinopel dan kota-kota lain di Bizantium kala itu telah dipenuhi oleh ikon-ikon dari para figur suci, suatu bentuk akulturasi dari budaya seni romawi dan unsur agamawi. Awalnya hanya sebagai hiasan, namun kelamaan malah menjadi pelengkap ritual peribadatan.
Tak jarang ikon terdapat di dalam rumah peribadatan dan diberi dupa oleh biarawan, dicium oleh para tentara ketika akan berperang, serta masyarakat secara luas menganggap bahwa melalui ikon, para tokoh suci dalam sejarah ditampilkan kembali dengan maksud memberikan gambaran rohani.
Sang kaisar pun lantas menafsirkan bahwa bencana di laut Aegea adalah murka Tuhan yang didalilkan oleh ayat tadi. Ia pun mengutuk aktivitas ikonografi serta menyatakan ikon adalah berhala.
Akhirnya turunlah serangkaian dekrit kekaisaran yang memulai sebuah masa kontroversial berupa pembersihan 'bi'dah' yakni pemusnahan gambar dan patung orang-orang suci yang kelak dikenang sebagai masa kegelapan seni Bizantium dengan nama masa "Ikonoklasme" (bahasa Yunani: eikonomakhia, artinya tindakan memerangi atau menghancurkan gambar/ikon).
Oleh sebagian pihak, hal ini dianggap sebagai tindakan politis Leo III untuk melakukan pembersihan pengaruh politik para agamawan di kekaisaran yang memiliki peran yang kuat karena mendapat penghormatan luas dari masyarakat kekaisaran yang mayoritas adalah para jemaat mereka.