Indonesia dikenal sebagai negara dengan ragam kebudayaan. Tari, makanan, pakaian, adab dan etika, agama, kepercayaan, ras, suku, pencak silat dan masih banyak lagi. Indonesia sangat diuntungkan dengan adanya keberagaman tersebut. Terutama dalam budaya pencak silat. Indonesia telah bersaing di kancah regional, ASEAN, dalam perkembangan budaya tersebut. Bahkan, ajang pencak silat sudah dilombakan diberbagai event perlombaan antarnegara.
Saya, Danezee Erlangga Widiharmoko, juga turut serta dalam menjaga kebudayaan pencak silat, terutama di Kota Madiun yang dikenal sebagai Kota Pendekar. Disini terdapat beragam aliran pencak silat dan perguruan dengan anggota yang sangat masif. Salah satu perguruan pencak silat yang saya ikuti adalah Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT). Perguruan ini memiliki anggota sekitar 7 juta jiwa yang tersebar di pelosok nusantara bahkan di beberapa negara Asia dan Eropa. Beragam kejuaraan sering di ikuti oleh perguruan ini dan tidak jarang mendapatkan juara umum.
Setiap tahunnya, PSHT di Kota Madiun dapat mengesahkan sebanyak 3000 anggota baru dan 80.000 anggota bila dihitung dari semua cabang yang tersebar di provinsi Indonesia dan luar negeri. Namun, banyak masyarakat yang merasa dirugikan saat pelaksanaan prosesi penerimaan anggota (warga) baru ini. Bagaimana tidak, setiap adanya prosesi kecer (penerimaan warga baru) selalu ada bentrokan dengan perguruan lainnya yang meresahkan masyarakat di Kota Madiun. Tidak jarang juga bentrokan ini menimbulkan korban jiwa. Banyak factor yang melatarbelakangi kejadian tersebut. Salah satunya kurangnya penjagaan yang ketat dari pengurus PSHT di sekitar wilayah pengesahan tersebut. Banyaknya anggota yang ikut dalam meramaikan kegiatan tersebut mengendarai kendaraan roda dua juga melatarbelakangi terjadinya bentrokan.
Sebagai salah satu anggota PSHT saya memiliki beberapa solusi demi meminimalisir terjadinya bentrokan tersebut, yaitu membina anggota perguruan. Banyak cara untuk melakukan hal tersebut.
Pertama, menyeleksi anggota yang akan di kecer dengan ketat. Meskipun dalam AD/ART PSHT 2021 telah disebutkan bahwa syarat usia untuk dikecer minimal 16 tahun, masih banyak pelatih yang memalsukan usia untuk calon warganya tersebut. Tidak jarang remaja yang baru masuk SMP dengan umur belum mencukupi sudah diikutkan pengesahan warga baru. Secara umur belum cukup, sehingga belum cukup dewasa untuk memikirkan tentang efek yang ditimbulkan dari aksi bentrokan tersebut.
Kedua, memperbanyak wadah penyaluran bakat dan minat anggota. Sering terjadinya bentrokan disebabkan oleh kurangnya wadah untuk menyalurkan bakat dan minat mereka. Jarang sekali ada sebuah sasana pencaksilat di tempat latihan. Seharusnya pengurus pusat menganggarkan pembentukan sasana disetiap kecamatan atau kelurahan guna menyalurkan bakat dan minat para anggota. Sasana ini biasanya berupa pelatihan atlet seni dan tanding pencaksilat. Karena pada umumnya, remaja haus akan pengakuan, sehingga mereka melakukan bentrokan untuk menunjukkan kekuatan mereka. Bila dibuatkan sasana latihan atlet bakat dan minat mereka akan tersalur melalui kegiatan positif dan dapat mengurangi aksi bentrokan dengan perguruan lain
Ketiga, penyuluhan/ diklat pelatih pencaksilat. Saya sering melihat di tempat latihan, para pelatih mendoktrin siswanya untuk yen wani ojo wedi, yen wedi ojo wani wani. Memang kalimat tersebut secara makna baik namun sering disalah artikan untuk selalu menyelesaikan sesuatu dengan kekerasan. Dalam hal ini, yang harus dibina adalah pelatihnya, selaku pendidik calon anggota.
Keempat, sanksi tegas dari pengurus pusat. Bilamana memang sudah ketiga hal diatas tidak dihiraukan, sudah sepatutnya pengurus PSHT memberikan sanksi yang tegas. Seperti pembinaan dari pusat melalui Pengamanan Terate (pamter), membekukan keanggotaannya dalam waktu tertentu, melarang untuk ikut dalam event PSHT dalam waktu tertentu, hingga pencabutan keikutsertaan anggota
Dengan beberapa cara diatas, saya yakin dapat mengurangi timbulnya bentrokan antarperguruan. Namun, hal ini juga membutuhkan kesadaran dari pihak pengurus dan anggota demi menjauhkan citra jelek masyarakat yang sudah melekat di perguruan PSHT. Dengan begitu, PSHT dapat mengembalikan marwah nya sebagai perguruan pencaksilat yang unggul dalam segi prestasi dan manajemen organisasi. Layaknya semboyan kebanggaan para warga PSHT, "Selama matahari masih bersinar, selama bumi masih dihuni manusia, Persaudaraan Setia Hati Terate akan kekal, jaya, abadi, selama-lamanya."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H