Lihat ke Halaman Asli

Tertahan di Tengah Tekanan: Burnout dalam Dunia Kedokteran

Diperbarui: 16 Desember 2024   09:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Burnout di kalangan tenaga medis dan mahasiswa kedokteran telah menjadi topik yang semakin diperhatikan dalam literatur medis. Burnout merupakan sindrom patologis yang dapat menyebabkan kelelahan fisik dan emosi sehingga menimbulkan perilaku maladaptif pada penderitanya akibat stres berkepanjangan. Mahasiswa kedokteran sering menghadapi tekanan akademik yang tinggi, ditambah dengan ekspektasi untuk tampil sempurna di lingkungan klinis. Perasaan kelelahan, kecemasan, dan depresi yang dialami oleh para profesional ini dapat memengaruhi kualitas perawatan pasien serta kesejahteraan pribadi mereka. Burnout memiliki 3 dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian prestasi pribadi. Prevalensi burnout pada mahasiswa kedokteran berkisar antara 45- 71% dan ditemukan meningkat sejak beberapa tahun terakhir.

Definisi Burnout dalam Konteks Kedokteran

Burnout adalah suatu sindrom yang ditandai dengan tiga komponen utama:

  • Kelelahan Emosional: Perasaan kosong, kehabisan energi, dan kelelahan yang berkelanjutan. Perasaan lelah secara emosional dan fisik akibat tuntutan pekerjaan.
  • Depersonalisasi: Sikap negatif, sinis atau tidak peduli terhadap orang lain, terutama mereka yang dilayani dalam pekerjaan
  • Penurunan pencapaian prestasi: Perasaan kurang kompeten dan tidak mampu mencapai hasil yang memuaskan dalam pekerjaan

Burnout dapat terjadi akibat ketidakseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan sumber daya yang tersedia, yang mempengaruhi kesejahteraan fisik, mental, dan emosional seseorang.

Penyebab Burnout pada Mahasiswa Kedokteran

Banyak faktor yang dapat memengaruhi timbulnya burnout akademik pada mahasiswa kedokteran. Faktor-faktor tersebut meliputi stres akademik yang tinggi, lingkungan pendidikan yang kompetitif, desain kurikulum yang menuntut, kurangnya waktu tidur, usia, jenis kelamin, serta karakteristik kepribadian mahasiswa (Dezee et al., 2012). Menurut Maslach et al. (2001), penyebab burnout akademik dapat dikategorikan menjadi dua kelompok utama, yaitu faktor situasional dan faktor individu:

Faktor Situasional

  • Beban Studi (Workload), burnout terjadi ketika beban studi melampaui kapasitas individu, mengakibatkan kelelahan emosional dan fisik.
  • Pengawasan (Control), hubungan yang tidak harmonis antara mahasiswa dan pengawas dapat memicu burnout.
  • Penghargaan (Reward), ketika penghargaan yang diterima, baik dari institusi maupun lingkungan sosial, dirasa tidak memadai.
  • Komunitas (Community), kurangnya dukungan sosial dapat membuat mahasiswa merasa tidak dihargai.
  • Keadilan (Fairness), ketidakadilan dalam lingkungan akademik menjadi salah satu faktor pemicu burnout.
  • Nilai (Values), ketidaksesuaian nilai antara mahasiswa dan lingkungan akademik dapat menimbulkan rasa frustasi.

Faktor Individu

  • Karakteristik Demografi, meliputi usia, jenis kelamin, dan jenjang pendidikan.
  • Karakteristik Kepribadian, termasuk tingkat daya tahan (hardiness), pengendalian diri (locus of control), gaya penanganan stres (coping styles), dan harga diri (self-esteem).
  • Respons terhadap Perkuliahan, reaksi mahasiswa terhadap tekanan akademik yang mereka hadapi sehari-hari.

Faktor-faktor ini menunjukkan bahwa burnout tidak hanya bergantung pada tekanan akademik, tetapi juga melibatkan interaksi kompleks antara karakteristik individu dan situasi lingkungan mereka.

Fisiologi Burnout: Respon Tubuh Terhadap Burnout

Dari sudut pandang fisiologi, burnout dapat dipahami sebagai respons tubuh terhadap stres kronis. Respons stres pada tubuh dimulai dari aktivasi sistem saraf simpatik (SNS) yang mempersiapkan tubuh untuk menghadapi ancaman melalui mekanisme fight-or-flight. Sistem ini merangsang pelepasan hormon stres utama seperti kortisol dan adrenalin. Dalam situasi stres akut, respons ini memberikan manfaat adaptif, memungkinkan individu untuk menghadapi tantangan sementara. Namun, pada stres kronis, seperti yang sering dialami mahasiswa kedokteran, aktivasi terus-menerus dari sistem ini justru berbahaya bagi tubuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline